Dedikasi Seorang Pak Alwi untuk Jurnalistik

  • Bagikan

Praktek “penerapan” otonomi daerah dalam arti luas sesungguhnya sudah lebih dulu dimulai sejak tahun 1980-an jauh sebelum kita mengenal Undang-Undang Otonomi Daerah yang berlaku tahun 2002. Sang pelopor itu tak lain duet Pak Dahlan Iskan dan Pak HM.Alwi Hamu.

Pak Alwi Hamu yang dimaksud di sini adalah Founder PT Media Fajar Group. Tokoh pers nasional asal Sidrap, kelahiran 28 Juli 1944 di Parepare, Sulawesi Selatan, yang wafat, Sabtu,18 Januari 2025, pukul 06.50 WIB di RS. Puri Indah Jakarta Barat, ini tentu menyisakan banyak cerita sukses dan suka-duka dalam membangun industri surat kabar.

Melalui payung Jawa Pos Grup kedua tokoh pers ini sukses menerapkan otonomisasi melalui media berjaringan Jawa Pos News Network (JPNN) ke seluruh pelosok Tanah Air: Dari Aceh hingga Papua, dari Miangas hingga Rote.

Berkantor pusat di Surabaya, duet Pak Dahlan Iskan dan Pak Alwi Hamu inilah menjadi pioner. Peran keduanya seolah membalik logika kita terkait paradigma media nasional yang selama ini hanya berpusat di Jakarta berubah menjadi media nasional yang bertumpu di daerah.

Sebagai Kepala Badan Pengembangan Perusahaan (BPP) JPNN, setiap saat Pak Alwi selalu mengunjungi anak perusahaan di daerah yang bernaung di bawah payung Jawa Pos itu. Termasuk yang ada di Ambon yakni Koran Ambon Ekspres dan Koran Rakyat Maluku.

Saban hari ia terbang dari dan antarkota. Saat itulah Pak Alwi mengecek dan memberi motivasi. Selain mengontrol ia juga harus mengetahui perkembangan media di daerah dari soal keredaksian, mesin, gedung, hingga strategi usaha.

Jika di triwulan pertama ada anak perusahaan tidak meraih laba maka Pak Alwi memberi dorongan agar triwulan berikutnya harus meraih untung. Pada triwulan keempat disusul rapat evaluasi akhir tahun barulah ditutup RUPS pada awal tahun berikutnya.

Bila dari sisi keuangan mencapai BEP (Break Even Point) maka otomatis pendapatan untuk gaji, bonus, deviden, dan tantim bisa dibagi. Tapi, bilamana setelah dihitung ada penurunan pendapatan atas biaya produksi maka otomatis kinerja perusahaan mengalami perlambatan. Itu berarti terjadi penurunan kinerja karyawan dan staf.

Begitulah tugas Pak Alwi. Selain dikenal sebagai sosok yang ramah dan mudah senyum, Pak Alwi adalah seorang jurnalis yang punya dedikasi sangat tinggi pada dunia jurnalistik.

Selain melakukan evaluasi kinerja anak perusahaan di daerah, ia juga memberikan spirit agar teman-teman di daerah bisa memacu diri dan tekun mengelola koran dengan baik.

Dengan semangat untuk maju itu, selain bisnis koran bisa berkembang juga akan mempengaruhi pendapatan sehingga laba perusahaan bisa bertambah. Dengan memperbaiki usaha dan bisnis yang sehat akan ikut mempengaruhi gaji dan kesejahteraan wartawan dan karyawan.

Cerita sukses bagaimana di tangan Pak Alwi dan Pak Dahlan Iskan melebarkan sayap sehingga membuat grup JPNN berada di bawah ratusan grup surat kabar dan televisi itu menjadi media yang disegani di Tanah Air tentu bukan datang begitu saja tapi dengan kerja keras.

Suatu ketika Pak Alwi pernah bercerita di awal tahun 1990-an saat berkunjung ke Palangkaraya, ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Kunjungan Pak Alwi ke Pulau Kalimantan ini tak lain untuk membuka koran baru di sana.

Di tengah kunjungan ke Kalimantan itu, ia menyusuri sungai-sungai dan belantara hutan. Sesekali ia naik perahu sampan di sungai, lalu beranjak naik mobil. Kemudian naik perahu lagi. Lalu menyusuri sungai lagi. Begitu seterusnya. Sampailah beliau di Palangkaraya. Tibanya malam hari.

Di sana Pak Alwi menemukan suasana Kota Palangkaraya bak kota mati. “Kok baru pukul 20.00 WITA tak ada aktivitas. Padahal ini ibukota provinsi,” ujarnya suatu waktu.

Namun, besoknya saat jalan pagi di sepanjang jalan dan pasar ia menemukan aktivitas pasar begitu hidup. Obsesinya untuk mendirikan koran di sana yang tadinya redup kembali bergairah. “Saya temui sang gubernur Pak Suparmanto. Saya sampaikan niat baik untuk membuka koran baru di Kalimantan Tengah,” ujarnya.

Sang gubernur pun menyambut positif ide Pak Alwi. Insting bisnis Pak Alwi pun tergerak. Pak Alwi langsung merespon dan mengontak Pak Dahlan di Surabaya sekaligus menyiapkan tenaga dan mesin percetakan untuk dikirim ke Palangkaraya. Salah satu tenaga wartawan yang dikirim dan kemudian menjadi pelopornya adalah sohib saya di Koran Fajar Makassar bernama Chairul Akbar.

Naluri bisnis Pak Alwi tergerak tentu setelah melihat aktivitas pasar di sana. “Kalau semakin banyak telapak kaki orang yang lalulalang di pasar pertanda kota itu akan hidup. Ya, begitulah falsafah orang Bugis bila mau mengembangkan usaha pasar selalu menjadi ukuran,” ujar Pak Alwi.

Dari tangan dingin Pak Alwi dan Pak Dahlan inilah menjadi pelopor koran berjaringan pertama di daerah dengan pangsa pasar terbesar di seluruh Indonesia. Termasuk di Kalimantan Tengah.

Tiga tahun setelah Kalteng Post terbit Pak Alwi kembali lagi ke Palangkaraya. Ketika bertemu sang gubernur, penguasa Kalimantan Tengah itu merasa berterima kasih ke Pak Alwi.

Gubernur mengaku ikut terbantukan setelah Kalteng Post terbit dan menghidupkan event pasar malam. Kota yang tadinya pukul 20.00 WITA sunyi senyap menjadi kota yang “hidup”.

“Koran itu agen perubahan. Kalau industri persnya hidup, daerahnya akan berkembang,” ujarnya.

Di tengah upaya memperluas jaringan media itulah, Pak Alwi selalu menanamkan prinsip manajemen bertema “kebersamaan” di lingkungan Fajar Grup melalui jargon: Tumbuh Bersama Dalam Kebersamaan.

Untuk mengembangkan sayap usaha di daerah ia selalu menjadikan putera daerah sebagai motor utamanya. Adapun soal manajemen hanya bisa diback-up oleh rekan-rekan dari Harian Fajar dan baru bisa dilepas setelah media tersebut dianggap mandiri.

Prinsip inilah yang diterapkan oleh Pak Alwi tanpa kecuali di Kota Ambon, ibukota Provinsi Maluku, tempat dimana surat kabar yang didirikannya berkiprah.

Sebagaimana di Palangkaraya, di Kota Ambon ia juga menemukan hal yang sama. Di Kota Manise ini ternyata banyak “telapak” kaki yang ia temukan di pasar. Pasar itu bernama Pasar Mardika. Pasar yang berada di pusat Kota Ambon ini sangatlah hidup. Dari subuh hingga ketemu subuh tak pernah sepi.

Kota Ambon sendiri bagi Pak Alwi sudah tak asing. Sejak tahun 1967 ia sudah memulai usahanya di Kota Manise. Bisnis pertama Pak Alwi saat itu bergerak di bidang sekolah musik.

Ia melihat industri musik akan hidup di Kota Ambon karena orang Ambon banyak yang senang menyanyi. “Dengan sendirinya alat-alat musik berupa gitar, piano, atau drum akan laku terjual,” ujarnya.

Sayang, usaha untuk membangun sekolah musik tak berlangsung lama, hingga kemudian ia memilih banting setir ke bisnis percetakan. Lama di bisnis percetakan, ia kemudian menggabungkan industri surat kabar miliknya Koran Fajar bersama JPNN “mengtakeover” sejumlah koran lokal di Indonesia Timur termasuk di Ambon.

Sama di Palangkaraya dengan koran lokal Kalteng Post, di Ambon dengan koran Suara Maluku. Namun setelah sekian tahun Suara Maluku menjadi bagian dari Grup JPNN hingga kemudian “berpisah”.

Pak Alwi selanjutnya mengembangkan koran baru bernama Ambon Ekspres. Dengan motto: Kerja Keras Tumbuh Bersama Dalam Kebersamaan, koran yang lahir pada 12 Juli 1999 di tengah konflik komunal itu menjadi pasar baru industri surat kabar di Tanah Manise hingga kemudian melahirkan anak perusahaan bernama Koran Rakyat Maluku dan terbaru Koran Berita Kota Ambon.

Munculnya era digital dengan aneka platform saat ini tentu tidak membuat Pak Alwi keder. Media surat kabar yang pernah menjadi salah satu sarana komunikasi paling populer selain radio dan tivi tentu menghadapi ancaman perkembangan digitalisasi namun Pak Alwi tetap tegar.

Di tengah banyak yang pesimistis terhadap masa depan koran seiring perubahan zaman ditandai oleh semakin mudahnya orang menerima informasi, Pak Alwi tidak putus asa atas ancaman itu.

Dalam suatu kesempatan saat mengikuti Pelatihan Manajemen Keuangan untuk Manager Non Keuangan oleh LPM Fajar 2001, di Kampus NITRO, Makassar, di hadapan peserta, Pak Alwi termasuk orang yang tidak percaya bahwa koran akan mati.

Ia bercerita kekhawatiran sebagian orang bahwa koran akan redup setelah ia kembali dari lawatannya ke beberapa negara di Eropa, Jepang, dan AS. Bahkan saat itu banyak yang meramalkan lima atau 10 tahun lagi industri surat kabar akan hilang nyatanya tidak. Justeru masih banyak yang bertahan.

Keyakinan Pak Alwi terbukti sampai saat ini masih ada koran yang terbit walau dari sisi pendapatan dan ekspansi pasar terjadi penurunan. Syarat agar industri surat kabar tidak mati, kata Pak Alwi, kita harus kreatif, inovatif, dan kemampuan menyesuaikan kemajuan teknologi dengan membuat inovasi baru baik berupa konten atau isu yang dikemas semenarik mungkin agar menarik pembaca.

Dalam memberikan motivasi kepada teman di daerah, Pak Alwi kerab memberikan contoh bagaimana industri surat kabar tetap bertahan sejak mesin cetak ditemukan ribuan tahun silam. Setelah koran berkembang disusul kemudian industri radio menjadi sektor andalan banyak yang memperkirakan surat kabar akan lenyap. Pun ketika televisi menjadi sarana komunikasi dan hiburan banyak orang menduga industri surat kabar akan hilang. Nyatanya koran masih tetap hidup.

Salah satu kiat agar koran bisa eksis perlu membangun kolaborasi dengan semua platform media dan membangun kerja sama agar menjadi sebuah kekuatan baru.

Pengalaman dan suka-duka mengelola surat kabar membuat Pak Alwi tidak menyerah pada tantangan. Sejarah mencatat, jauh sebelum kita mengenal media berjaringan dan datangnya internet dan era digitalisasi ini duet Pak Alwi dan Pak Dahlan Iskan justru sudah memulainya.

Dua sosok wartawan inilah menjadi pelopor dalam sejarah pers kontemporer melalui koran berjaringan. Keduanya berhasil mengubah image arus utama pers nasional dari sebuah kemapanan yang beranggapan bahwa paradigma pers nasional yang menjadi arus utama dan bertumpu di Jakarta tidak lagi diandalkan.

Melalui JPNN Pak Alwi dan Pak Dahlan dalam arti luas telah menjadi pioner otonomi daerah yang berhasil mengubah kemapanan media nasional yang selama ini hanya bertumpu di Jakarta kini tidak lagi. “Sebab, saat ini di daerah juga sudah punya media yang tidak kalah menarik dengan media di Jakarta,” ujarnya.

Pak Alwi kerab mengingatkan teman-teman wartawan di daerah untuk menjadi sebuah kekuatan baru sebagai pembentuk opini agar intens mengangkat isu lokal. Salah satu “doktrin” yang kerab disampaikan yakni bagaimana pers di daerah harus “melokalkan isu nasional di daerah” atau sebaliknya mengangkat “isu lokal untuk dinasionalkan”.

“Banyak tokoh lokal, intelektual, tokoh masyarakat yang punya pemikiran atau gagasan tak kalah hebat dengan orang Jakarta. Sebaliknya, kalau ada orang daerah yang hebat di Jakarta harus kita wawancara dan meminta pendapat mereka untuk dilokalkan,” ujarnya.

Tugas pers di daerah, kata Pak Alwi, selain menjadi sarana komunikasi, hiburan, dan pendidikan, juga menjadi media pembelajaran. Pers di daerah harus mengangkat gagasan para intelektual di dunia kampus/universitas, pemikir, tokoh masyarakat, tokoh agama, aktivis mahasiwa, dan kaum muda.

Sebab di antara mereka ini banyak punya potensi dan kemampuan serta bakat yang terpendam. Tugas media mengidentifikasi lalu membuat wawancara. Uraikan gagasan-gagasan mereka di surat kabar sehingga menjadi sebuah isu menarik.

“Media harus mengangkat dan menokohkan mereka itu. Dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak pintar menjadi pintar. Dari tidak cerdas menjadi cerdas,” ujarnya.

Pak Alwi adalah sosok wartawan nasional dari Sulawesi Selatan yang sukses. Melalui surat kabar Harian Fajar yang terbit di Makassar 1 Oktober 1981, itulah banyak melahirkan wartawan hingga orang-orang sukses.

Semenjak duduk di bangku kuliah, Pak Alwi sudah menjadi seorang aktivis mahasiswa dan sempat memimpin gerakan mahasiswa di Sulawesi Selatan pada 1966.

Bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Pak Alwi bersama Pak Jusuf Kalla mereka kemudian membagun surat kabar KAMI. Dan, pada 1981 Pak Alwi Hamu kemudian mendirikan Harian Fajar.

Setelah bergabung dengan Jawa Pos Grup menjadi harian, sejak itu Harian Fajar telah memasuki era baru dalam industri pers di Tanah Air. Kala itu, Harian Fajar yang sebelumnya terbit mingguan dan bermarkas di Jalan A.Yani, Makassar, itu berkembang menjadi surat kabar terkemuka di Indonesia Timur.

Pak Alwi tak sendiri. Tapi bersama Pak Dahlan Iskan mereka berhasil mengibarkan sayap JPNN ke seluruh pelosok Tanah Air dari Aceh hingga Papua. Banyak cerita di balik kesuksesan putera Bugis asal Sidrap ini menjadikan Grup Fajar sebagai salah satu grup media yang diperhitungkan.

Dari Pak Alwi kita tentu belajar banyak hal selain semangat juga kerja keras. Kemampuan dan motivasinya yang kuat tak saja membuat sosok yang murah senyum itu mampu membangun sebuah jaringan industri surat kabar di Tanah Air, tapi dari tangan dingin Pak Alwi pula telah melahirkan begitu bayak orang sukses.

Dari Tanah Manise, Kota Ambon, kukirimkan doa untuk almarhum ayahanda dan guru kehidupan kami Pak Alwi. Terima kasih atas jasa, dedikasi, dan motivasinya. Semoga semua amal usaha ini menjadi ladang amal jariyah.(AHMAD IBRAHIM)

  • Bagikan

Exit mobile version