Stigma Pada Penderita Kusta dan Akibatnya

  • Bagikan

Oleh dr. Prilly Pricilya Theodorus

Kusta merupakan salah satu penyakit tertua di dunia dan juga tercantum pada kitab suci Alkitab sebagai penyakit yang dianggap kutukan. Kusta merupakan momok tersendiri bagi penderita dan orang sekitarnya, dan menjadi stigma. Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma membuat orang-orang sekitar penderita, bahkan keluarganya merasa malu berada di sekitar penderita dan cenderung dikucilkan.

Mengapa kusta masih sulit diberantas? Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian yaitu stigma, kurangnya pengetahuan dari masyarakat, ketidakmerataan sumber daya manusia yang terampil dalam mendeteksi kusta, masih terbatasnya akses fasilitas kesehatan di wilayah pelosok, dan ketersediaan obat. Hal ini menyebabkan pasien yang datang berobat ke rumah sakit rujukan sudah sampai di tahap kecacatan/ disabilitas, seperti jari-jari tangan/kaki yang membengkok (clawing fingers/hand), ketajaman penglihatan dan/atau pendengaran yang berkurang.

Menurut beberapa studi baik luar maupun dalam negri, stigma umumnya dilakukan oleh individu-individu yang mempunyai tingkat pengetahuan dan/atau pendidikan yang rendah. Sebuah penelitian yang dilakukan di kampung Sitanala, Banten tahun 2018 menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang membuat stigma melekat pada lingkungan penderita kusta, yakni; persepsi tentang kusta, tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, nilai-nilai kultur di daerah tersebut, dan juga tingkat disabilitas dari penderita kusta. Sebuah studi di India mengemukakan terdapat tiga pihak dalam perihal stigma kusta, yaitu pasien, orang-orang terdekat pasien, dan juga lingkungan komunitas pasien kusta tersebut. Perspektif dari pasien sendiri menyatakan bahwa efek dari mengidap kusta memunculkan masalah di kehidupan pernikahan, pekerjaan, dan juga interaksi sosial. Hal ini terutama kepada pasien-pasien yang mengalamai disabilitas pada bagian tubuhnya. Sehingga setelah sembuh dari kusta, orang yang pernah menyandang kusta (OYPMK) ini lebih memilih tinggal di kawasan yang banyak dihuni oleh penderita atau OYPMK karena merasa lebih diterima. Untuk perspektif kerabat/komunitas sosial menganggap bahwa penyakit kusta yang dialami merupakan akibat kutukan, perbuatan-perbuatan jahat pasien, dan masih banyak lagi. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, dan negara-negara lain yang masih banyak pasien kusta. Ini menyebabkan penurunan kualitas hidup dari pasien kusta dan OYPMK, seperti tidak dapat bekerja dan tidak dapat berbaur dengan lingkungan sosialnya, dan kemudian terkucilkan dan menarik diri dari masyarakat.

Penyakit kusta di Provinsi Maluku hingga saat ini masih berjalan berdampingan dengan stigma, salah satunya bahwa penyakit ini terjadi oleh karena kekuatan gaib (santet) atau karena dosa. Stigma ini merupakan salah satu penghambat penderita kusta di Maluku untuk memulai pengobatan atau bahkan berhenti pada saat pengobatan. Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Kesehatan per tanggal 24 Januari 2022 tercatat sebesar 13.487 kasus dengan 7.146 penemuan kasus baru Kusta dengan proporsi kasus Kusta anak sebesar 11% di tahun 2021. Dan sampai dengan tahun 2022 masih terdapat 6 provinsi di wilayah Indonesia bagian Timur yang belum tercapai status eliminasinya termasuk Maluku di urutan ke-4 setelah Provinsi Papua, Papua Barat, dan Maluku Utara.

Secara Global, Indonesia menempati tempat ke-3 untuk kusta setelah negara India dan Brazil. World Health Organization (WHO) sendiri di bulan Januari 2023 telah menyatakan bahwa Kusta merupakan salah satu penyakit tropis yang terabaikan (Neglected Tropical Disease). Strategi program kusta nasional dari Kementrian Kesehatan adalah menemukan kasus Kusta baru sedini mungkin tanpa cacat dan mengobati sampai sembuh dengan obat yang terstandarisasi secara global dengan prinsip Multi Drug Therapy (MDT).

Kusta merupakan penyakit yang disebakan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang menginfeksi saraf terlebih dahulu baru kemudian bermanifestasi ke kulit. Gejala yang disadari oleh pasien kusta umumnya ialah bercak kemerahan atau putih yang disertai mati rasa, dan keluhan umumnya baru disadari setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian. Pasien cenderung mengobati diri sendiri tetapi tidak kunjung sembuh, dan hal ini juga

menimbulkan kegelisahan, hilangnya kepercayaan diri, hingga frustasi dan menimbulkan masalah kesehatan mental. Oleh karena itu, dukungan dari keluarga, teman dan lingkup sosial penderita kusta sangat dibutuhkan, bukan stigma dan penghakiman.

Untuk proses perjalanan penyakitnya sendiri kusta tidak mudah menular, karena dibutuhkan kontak erat yang konsisten sampai penyakit tersebut menular, seperti beberapa bulan hingga tahun tinggal bersama dengan pasien kusta yang tidak diobati. Jadi sejatinya, kusta tidak menular hanya dengan duduk berdekatan atau bersalaman dengan penderitanya. Contoh penularan kusta yang lebih beresiko ialah bagi orang yang tinggal serumah dengan pasien yang tidak diobati.

Gejala yang jarang diperhatikan ialah rasa kesemutan terus-menerus pada kaki/tangan, kebotakan pada alis, bercak kemerahan yang makin besar dan bertambah banyak di sekujur tubuh, kemunculan benjolan-benjolan kecil pada bagian telinga dan/atau sekitar tangan atau tubuh. Hal ini kadang disalah artikan dengan penyakit lain, seperti penyakit jamur kulit atau penyakit vitiligo.

Prinsip progam pengobatan di negara-negara endemis kusta ialah secepat mungkin dideteksi dan diobati agar tidak timbul disabilitas fisik. Hal ini diupayakan agar kualitas hidup pasien juga baik, dan ketika sembuh pasien dapat kembali bekerja dan bersosialisasi kembali dengan masyarakat dengan percaya diri. Para pasien kusta yang sudah terkonfirmasi melalui pemeriksaan fisik dan penunjang (slit skin smear) dapat menerima obat program kusta di puskesmas terdekat. Pengobatan kusta belangsung mulai dari 6-18 bulan bergantung dari jenis kusta yang diderita pasien dan pengobatan ini gratis. Hal ini merupakan salah satu bentuk kebijakan dan kepedulian pemerintah untuk membantu memberantas penyakit kusta. Teruntuk orang yang mempunyai riwayat kontak erat dengan penderita kusta juga dapat diberikan terapi pencegahan, dan tentu saja perlu diperiksakan lebih dahulu di fasilitas kesehatan.

Perlu diingat, hingga hari ini di Indonesia masih banyak yang perduli dengan pasien-pasien kusta, mulai dari pemerintah, para relawan, support group OYPMK, organisasi non-pemerintah, ilmuwan dan juga para tenaga kesehatan yang bahu-membahu untuk memberantas kusta. Mari bersama-sama membuat lingkungan yang ramah untuk penderita kusta dan OYPMK. Jangan lelah mendukung mereka untuk memeriksakan diri, berobat, kontrol rutin hingga dinyatakan sembuh, dan sertakan dalam kegiatan sosial lainnya. Jangan ragu berkonsultasi kepada dokter umum atau dokter spesialis Dermatologi dan Venereolgi di fasilitas kesehatan terdekat (d/h Kulit dan Kelamin) bila menemukan gejala yang mirip dengan kusta.

Akhir kata, penulis teringat pada masa pandemi COVID-19, pemerintah Provinsi Maluku punya banyak semboyan yang menghimbau masyarakat untuk memutus rantai penularanya. Berangkat dari itu, penulis juga ingin membagikan semboyan yang sama untuk penyakit kusta; “Mari katong menggurebe potong pele kusta”. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi kita semua, dan sebarkan kasih bukan stigma. Salam sehat par katong semua.

  • Bagikan

Exit mobile version