7 Saksi Bentrok Trikora dan Pembacokan Diperiksa

  • Bagikan

Kapolres: Biar Ada Efek Jera

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Polresta Pulau Ambon dan Pp Lease mulai melakukan pemeriksaan terhadap tujuh orang saksi dalam bentrok antara warga di kawasan Tugu Trikora Kota Ambon dan pembacokan dua warga Hitumessing di perbatasan Negeri Hitu-Wakal, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, yang terjadi pada Minggu, 12 Januari 2025, kemarin.

“Sudah ada tujuh saksi yang diperiksa. Ini termasuk saksi terkait pembacokan warga Hitumessing,” kata Kapolresta Pulau Ambon dan Pp Lease, Kombes Pol Driyano Andri Ibrahim, kepada Rakyat Maluku, Senin, 13 Januari 2025.

Pihaknya, lanjut Kapolresta, terus mengembangkan dua kasus yang terjadi pada waktu bersamaan, sehingga menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal yang melanggar hukum.

“Biar jadi efek jerah bagi yang lain. Kami akan usut kedua kasus ini,” tandasnya.

Terkait hal itu, Plh. Kepala Perwakilan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Maluku, Djuliyati Toisuta, meminta Polresta P. Ambon dan Pp Lease untuk menindak tegas oknum-oknum yang melakukan tindakan pengrusakan terhadap beberapa bangunan milik warga, rumah ibadah, bangunan perkantoran, kendaraan roda dua dan roda empat, serta kekerasan bersama terhadap orang sesuai mekanisme hukum yang berlaku.

Komnas HAM Perwakilan Maluku, sambung Toisuta, juga mengimbau warga Kota Ambon untuk tidak termakan isu provokatif yang tidak bertanggung jawab, dan bersama-sama menjaga kamtibmas, sebagai bentuk penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak atas rasa aman di Kota Ambon Manise.

“Kepada semua pihak, Komnas HAM Perwakilan Maluku juga meminta untuk tidak menggunakan narasi-narasi kerusuhan atau isu sara dalam setiap postingan di sosial media, yang dapat menimbulkan multitafsir dan reaksi negatif,” pintanaya, melalui keterangan pers yang diterima Rakyat Maluku.

Dia menjelaskan, balapan liar dan peredaran miras diketahui menjadi akar permasalahan terjadinya bentrok antar warga di Kota Ambon akhir-akhir ini. Olehnya itu, harus menjadi perhatian semua pihak, baik pemerintah daerah, aparat keamanan, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, maupun seluruh warga Kota Ambon.

“Setiap orang berhak atas rasa aman, tentram, dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Ini adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 30 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” jelasnya.

Terpisah, Direktur Lembaga Antar Iman Provinsi Maluku, Dr. Abidin Wakano, juga menegaskan bahwa meskipun pemicu utama bentrokan tersebut adalah balapan liar dan minuman keras, namun ada pekerjaan rumah besar yang perlu diselesaikan bersama untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.

Menurut Wakano, polarisasi masyarakat yang tersegmentasi berdasarkan agama menjadi salah satu faktor yang memperburuk konflik.

“Kita ini masih hidup dalam segregasi, baik wilayah maupun mental. Ketika terjadi insiden, konsentrasi massa langsung terbentuk berdasarkan agama. Ini pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan,” ujarnya.

Wakano lantas menguraikan tiga faktor utama penyebab konflik. Pertama, segregasi wilayah dan mental pola pemukiman masyarakat yang terpisah antara komunitas muslim dan kristen memicu reaksi cepat berbasis identitas agama saat terjadi konflik.

Kedua, memori kolektif konflik masa lalu
lokasi bentrokan di Tugu Trikora memiliki sejarah sebagai medan perang saat konflik terdahulu, yang membangkitkan memori kolektif masyarakat.

Ketiga, adanya pengusaha konflik.
Wakano juga menyoroti adanya pihak-pihak yang memanfaatkan konflik untuk kepentingan politik, ekonomi, atau pribadi.

“Dari politisi hingga tokoh lokal yang ingin mencari panggung, semua bisa menjadi pengusaha konflik,” ungkapnya.

Di tengah tantangan ini, Wakano mengapresiasi kesadaran masyarakat Maluku dalam mencegah eskalasi konflik. Ia mencontohkan upaya komunitas dan media sosial yang menyuarakan pesan damai serta masyarakat yang tetap beraktivitas normal tanpa terpengaruh provokasi.

“Ini menunjukkan kita sudah belajar dari konflik masa lalu,” tambahnya.

Namun, Wakano juga menekankan pentingnya keberanian masyarakat untuk terus berinteraksi lintas komunitas.

“Ketakutan hanya akan menciptakan ketegangan diam yang mudah meledak,” ujarnya.

Untuk mencegah konflik serupa, Wakano mengusulkan beberapa langkah konkret. Yakni, melawan provokasi. Di mana, stakeholder, termasuk media dan tokoh masyarakat, harus aktif menyuarakan pesan damai.

Aparat keamanan juga perlu bertindak tegas terhadap perilaku yang meresahkan, seperti balapan liar dan konsumsi alkohol.

Selanjutnya harus ada kolaborasi bersama
Sekolah, terutama di tingkat SMA, harus bekerja sama dengan aparat untuk memberikan edukasi dan pengawasan kepada siswa.

Begitupun pemerintah diminta untuk memastikan pembangunan yang adil dan mengintegrasikan nilai-nilai perdamaian dalam kurikulum lokal.

Wakano juga menekankan perlunya penguatan ikatan sosial seperti “Pela Gandong” lintas komunitas, serta menanamkan nilai-nilai hidup orang basudara kepada generasi muda.

“Anak-anak sekarang tidak punya pengalaman kolektif hidup bersama seperti dulu. Ini harus jadi perhatian pemerintah,” tegasnya.

Wakano berharap pemerintah daerah, tokoh agama, dan masyarakat dapat bekerja sama untuk menciptakan solusi jangka panjang yang membawa perdamaian dan keadilan bagi seluruh masyarakat Maluku.

Hal senada juga disampaikan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Hetu Upu Ana (HUA) dan DPP Hena Hetu sebagai paguyuban adat masyarakat jazirah, yang mendesak pihak kepolisian untuk segara mengungkap dan menangkap oknum pelaku kejahatan yang mengakibatkan bentrokan antar pemuda Negeri Hitu dan Negeri Wakal.

“Kami mendesak kepolisian kejar dan tangkap oknum-oknum pelaku kejahatan untuk dapat melahirkan kesan baik di tengah-tengah masyarakat jazirah soal penegakan hukum yang transparan dan seadil-adilnya dalam penanganan bentrok Hitu dan Wakal,” desak Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Hena Hetu, Alteredik Sabandar, Senin, 13 Januari 2025.

Menurut Alteredik, hampir sebagian besar konflik yang terjadi di kawasan Jazirah Leihitu tidak memiliki kepastian hukum dalam penyelesaian konflik. Di mana, pihak keamanan dinilai gagal mengungkap dan menangkap para pelaku kejahatan.

“Penegakkan hukum yang kabur itulah menyebabkan pihak-pihak yang menjadi korban menjadi kecewa dan menyimpan dendam. Dan bila sewaktu-waktu ada gesekan, maka akan melebar menjadi konflik dengan skala antar negeri,” ungkapnya.

Selain itu, sambung Alteredik, upaya mitigasi konflik juga terkesan terabaikan oleh pihak pemerintah daerah (Pemda), dalam hal ini Pemerintah Maluku Tengah (Malteng) sebagai penanggungjawab wilayah otonomisasi.

“Pemerintah Daerah Maluku Tengah Jangan hanya tinggal diam, segera lakukan upaya-upaya mitigasi konflik yang sering berulang terjadi di tanah jazirah,” pintanya.

DPP Hena Hetu dan Hetu Upu
Ana juga mengimbau kepada seluruh masyarakat Jazirah Leihitu untuk tidak terprovokasi dan atau terpancing dengan ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung.

“Harapan kami juga dari DPP Hena Hetu dan Hetu Upu Ana kepada pihak-pihak terkait untuk segerah selesaikan masalah ini,” harapnya.

Dijelaskan, bentrokan antar warga Hitu dan Wakal yang kerap terjadi, bahkan peristiwa terakhir pada 12 Januari 2025 merupakan bentrokan yang sudah terjadi berulang kali.

DPP Hena Hetu, kata Alteredik, tidak ingin menyebutkan masalah ini sebagai bentrokan antar ke dua negeri/desa. Tetapi ini hanya perbuatan oknum yang tidak bertanggung jawab.

“Konflik yang kerap terjadi di Jazirah Leihitu Kecamatan Leihitu dan Salahutu dalam kacamata Hena Hetu kerap dipicu oleh kepentingan pribadi lalu digiring dan melibatkan antar negeri. Contoh kasus yang pernah terjadi konflik antara Ureng-Usilulu, Hitu-Wakal, Negeri Lima-Seith dan konflik-konflik internal dalam negeri seperti di Liang dan Tulehu,” bebernya. (AAN-CIK-MON)h

  • Bagikan

Exit mobile version