Musuh Bersama

  • Bagikan

Insiden baku lempar antarpembalap motor yang melibatkan para remaja di Kawasan Tugu Trikora, Ambon, dinihari kemarin, itu selain menimbulkan keresahan juga memicu antipati. Beragam komentar yang muncul tersebut meng­ingatkan kita bahwa semua peristiwa kekerasan apapun bentuknya adalah musuh bersama.

Tak kurang tokoh agama, ustad, pendeta, akademisi, dan birokrat menilai ajang baku lempar di jalan raya di pusat Kota Ambon, Minggu pagi, (12/1/25), itu sebagai langkah mundur.

Tidak pada tempatnya bila ada upaya provokasi untuk mengulangi masa kelam konflik Ambon 26 tahun dengan mempetakonflikkan masyarakat melalui peristiwa baku lempar pada ajang balap liar tersebut.

Di laman medsos itu tak sedikit mereka yang menetap diluar Ambon juga mengecam dan menyesalkan insiden ini. Rasa cintanya itu mereka sampaikan pada akun mereka dan mengajak warga Ambon untuk tak terpancing melalui upaya-upaya provokasi.

Saya menyimak pesan damai dengan menggunakan diksi Ambon itu disampaikan Habib Rifqi Alhamid, S.Kom, M.Si, di laman medsos. Pun Pendeta Dr. Rudy Rahabeath melalui videonya juga melakukan hal yang sama mengajak warga untuk tidak terprovokasi dan menjadikan Kota Ambon/Maluku yang damai.

Saya menghubungi Pdt Rudy Rahabeath tadi malam, (12/1/25), mengaku terkesan atas ajakan damai Ketua Yayasan Ar Rahmah Ambon itu, sebab di sana ada pesan kemanusiaan menggunakan bahasa lokal untuk para remaja Ambon seperti penggunaan kata “nyong dan kamong.”

Itulah yang menarik hingga membuat doktor sosiolog jebolan UI ini merasa terpanggil membagikan pesan damai sang habib. Ia mengapresiasi hal itu karena penggunaan diksi lokal Ambon yang dipakai oleh habib ini tidak terkesan elitis hingga memaksa dirinya memviralkannya.

Ia melihat penggunaan idiom-idiom lokal oleh Habib Rifqi lantaran di sana ada ungkapan damai dan pesan kemanusiaan universial yakni agama dan kemanusiaan. “Pesan-pesan damai itu berlaku umum untuk semua. Apapun agamanya,” ujarnya.

Pesan damai Habib Rifqi seperti yang dibagikan Pendeta Dr.Rudy Rahabeat di akunnya itu mengingatkan para remaja dan generasi muda agar tetap menjaga suasana damai di Kota Ambon dan juga Maluku.

Keberpihakan para tokoh yang menolak tindakan kekerasan dengan dan alasan apapun sebagaimana disampaikan Habib Rifqi Alhamid patut diapresiasi. Menjadikan kekerasan atas nama kelompok untuk memancing keributan dan kekacauan di tengah kehidupan heterogenitas masyarakat Kota Ambon yang cinta-damai tentu merugikan kita semua.

Dalam suasana dimana semua orang hidup rukun dan damai tiba-tiba dikejutkan oleh keributan tentu menjadi tanda tanya: ada apa. Sebagaimana daerah lain di Tanah Air maka sebagai warga kota yang baik mestinya juga punya kewajiban yang sama menjaga dan memelihara Kota Manise ini dari segala bentuk kekerasan dan provokasi oleh pihak manapun melalui tangan-tangan tersembunyi (invisible hand).

Jangan sampai ada upaya terselubung untuk mengacaukan suasana kedamaian kota ini melalui ajang adudomba untuk mencari kambing hitam di tengah kita baru saja menyelesaikan pesta demokrasi Pilgub dan Pilwakot yang sebentar nanti tinggal menunggu pelantikan. Tentu hal ini jangan sampai membuat ajang politik lima tahunan ini menjadi alasan kemudian mencari-cari kesalahan dan mengkambing-hitamkan terhadap para pendukung calon yang kalah melalui upaya adudomba untuk menciptakan suasana chaos dan kebencian antarsesama orang Ambon dan Maluku.

Kita tentu tidak berharap hal itu terjadi. Tapi, dalam konflik kekerasan hal itu bisa saja menjadi alasan dengan memanfaatkan segala cara untuk menciptakan suasana tidak nyaman, saling curiga, dan kambing hitam. Dan, upaya adudomba itu tidak harus dengan alasan minuman keras melalui ajang balap liar segala.

Di sini peran aparat keamanan sangat diperlukan. Lagian, fenomena ajang balap liar dan minuman keras bukan hal baru di kota ini. Banyak informasi dan fakta di lapangan ditemukan saban malam di akhir pekan ajang balap motor liar di jalan raya ini kerab terjadi di hadapan kita dan terkesan ada pembiaran.

Beberapa saat sebelum peristiwa bakulempar di Tugu Trikora dinihari itu, kejadian serupa juga pernah menimpa seorang pengendara motor berusia remaja di Kawasan Jalan Jend.Sudirman. Saat itu ia sempat dianiaya oleh sekelompok remaja lain saat menyaksikan ajang balap liar. Entah mengapa seketika ia dianiaya dan sempat viral setelah diunggah oleh para follower.

Menjadikan kekerasan sebagai alasan untuk mengadu-domba masyarakat tentu tidaklah pada tempatnya. Pun, dengan alasan apapun kita harus menolak setiap bentuk konflik sosial karena resikonya terlalu mahal yang harus dibayar.

Kita tentu mendukung sikap responsif para tokoh sebagaimana yang diperlihatkan dua pemuka agama Kota Ambon yakni Habib Rifqi Alhamid dan Pdt Rudy Rahabeath di atas yang tanpa komando mereka seketika bereaksi mengeluarkan pesan-pesan damai dan kemanusiaan untuk umatnya di kota tercinta ini.

Langkah mereka ini patut diapresiasi sebagai wujud kebersamaan kita untuk sama-sama menjadikan kekerasan dan konflik sosial sebagai musuh bersama agar tidak ada pihak manapun yang sengaja memanfaatkan atau menciptakan kondisi Kota Ambon dan Maluku sebagai arena konflik.

Tentang penggunaan istilah musuh bersama ini mengingatkan saya pada mantan Kapolda Maluku Brigjen Pol Firman Gani. Sehari setelah dilantik pada tahun 2000 oleh Kapolri Roesmanhadi di hadapan wartawan, Firman Gani memunculkan sebuah gagasan menarik. Ia meminta pers agar membantu aparat keamanan memulihkan situasi.

Untuk menghilangkan dikhotomi kelompok dan upaya meredam aksi-aksi kekerasan dan menjadikan musuh bersama, dia meminta agar pers menggunakan istilah pengacau atau perusuh terhadap siapapun yang mencoba melakukan penyerangan.

Kapolda Firman Gani tentu paham situasi saat itu dan karena itu dia mencoba melakukan langkah-langkah persuasif untuk sama-sama menghilangkan stigma antarkelompok agar tidak ada lagi pemetaan di masyarakat.

Untuk meredam aksi-aksi balap liar hingga berujung baku lempar sebagaimana yang terjadi Minggu dinihari di Kota Ambon ini kita tentu harus menolak dan menjadikan semua bentuk kekerasan sebagai musuh bersama.

Dan, kita tentu berharap aparat keamanan di daerah ini harus tanggap dan bersikap responsif setiap bentuk kekerasan. Melalui perangkat intelijen mereka mestinya harus punya kemampuan dini mendeteksi setiap persoalan yang berpotensi menimbulkan kekacauan di masyarakat.

Pengalaman konflik komunal 26 tahun silam di daerah ini mestinya membuat kita harus lebih tanggap dan sensitif konflik pun harus punya kepekaan sosial dan kemampuan cegah dini terhadap segala bentuk kekerasan. Dan, menjadikan kekerasan dan konflik sebagai musuh bersama tentu adalah sebuah keharusan. Ini penting bagi kita untuk menjadikan Kota Ambon dan Maluku yang sama-sama kita cintai ini terhindar dari segala prahara sosial.(AHMAD IBRAHIM)

  • Bagikan

Exit mobile version