Selamat Jalan Pak Atma

  • Bagikan

Dunia pers kembali berduka. Tokoh pers nasional Pak Atmakusumah Astraatmadja telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

Kabar duka itu beredar di medsos yang menyebutkan kalau Ketua Dewan Pers pertama itu telah pergi mendahului kita di usia 86 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, pukul 13.05 WIB, Kamis, (2/1/25).

Kepergian Pak Atmakusumah ini membuat dunia pers Indonesia merasa kehilangan sosok pejuang kebebasan pers dan jurnalisme berkualitas.

Menyebutkan nama Pak Atmakusumah mengingatkan saya 23 tahun lalu dalam sebuah pertemuan bersama 31 wartawan se-Maluku dan Maluku Utara di Hotel Salak, Bogor, 25 Februari s/d 1 Maret 2001 yang difasilitasi AJI Indonesia dan Dewan Pers.

Hadir saat itu Kapuspen TNI Gratio Usodo, Gubernur Maluku M.Saleh Latuconsina, aktivis HAM/Ketua KONTRAS Munir, Sosiolog Ul Pak Imam Prasodjo, Pak Dahlan Iskan, dan Pak Atmakusumah sebagai Ketua Dewan Pers.

Pertemuan ini merupakan ajang “konsolidasi” antarpengelola media, pemerintah, akademisi, aktivis HAM, dan pengamat media sebagai bagian dari upaya penanganan masalah resolusi konflik.

Pak Atmakusumah adalah sosok panutan dalam mendukung kerja-kerja jurnalistik di Tanah Air. Pandangannya selalu penuh wibawa membela kepentingan kemerdekaan pers.

Di tengah menghadapi konflik komunal di Ambon 26 tahun lalu berbagai upaya terus dilakukan untuk menengahi konflik. Pers yang kerab dituduh menjadi bagian dari upaya memperuncing dan mempertajam segregasi sosial acap disalahkan.

Langkah untuk meredam konflik diikuti upaya rekonsiliasi oleh pihak pemerintah pun terus dilakukan. Salah satunya menyatukan insan pers dan pengelola media di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara untuk menyatukan visi media pada kedua daerah konflik ini untuk sama-sama menghentikan pertikaian komunal.

Dewan Pers yang dipimpin Pak Atmakusumah dipercaya sebagai pihak yang menjembatani pertemuan Bogor itu berhasil mendatangkan 31 wartawan dari kedua daerah tersebut. Termasuk pimpinan media.

Bos saya Pak Dahlan Iskan yang adalah CEO Jawa Pos Grup ikut diundang dan menjadi pembicara di forum itu. Pak Dahlan sengaja diundang dan menjadi pembicara untuk mendengar keterangan terkait tuduhan atas dirinya oleh banyak pihak termasuk para aktivis HAM dan LSM asing karena ada anggapan bahwa Pak Dahlan sengaja memperpanjang konflik dengan menerbitkan dua koran di Ambon: Koran Suara Maluku dan Koran Ambon Ekspres.

Meski dalam berbagai kesempatan Pak Dahlan dan Kepala Badan Pengembangan Perusahaan (BPP) Jawa Pos Grup Pak HM.Alwi Hamu telah menjawab tuduhan itu mereka para aktivis masih tetap menaruh curiga.

Di pertemuan di Hotel Salak Bogor itulah Pak Dahlan “diadili”. Tapi bukan Pak Dahlan kalau hanya menjawab tuduhan semacam itu sebagai upaya pembenaran.

Ia menolak spekulasi tersebut dan menganggap penerbitan dua koran yang sengaja untuk memperpanjang konflik karena mencari keuntungan bisnis tidaklah tepat.

“Loh, di zaman perang kemerdekaan para pejuang kita berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan cara sembunyi-sembunyi menerbitkan koran. Kalau sekarang kita sudah merdeka masa tidak bisa mendirikan koran,” ujar Pak Dahlan.

Kisah bersama almarhum Pak Atmakusumah juga diceritakan Pemred Radio Gema Hikmah FM Alwi Sagaf Alhadar di Ternate, Maluku Utara.

Radio ini sempat diperkarakan untuk dimejahijaukan lantaran berita soal isu yang beredar terkait gerakan separatisme Republik Maluku Selatan (RMS) yang menyusup ke Tobelo nun di Halmahera Utara. Berita ini sempat heboh setelah Radio KBR 68H Jakarta memberitakan.

Walau sudah memenuhi unsur cover both side namun atas perintah Jakarta Pemred Alwi Sagaf Alhadar harus “diadili” dan berurusan dengan Penguasa Darurat Sipil Maluku Utara Brigjen Muhyi Efendi di depan Kapolres serta Dandim. Kasus ini kemudian diancam untuk dibawa ke meja hijau sebab Alwi dkk dianggap telah menyebarkan kabar bohong.

Peristiwa ini kemudian diberitakan beberapa media nasional dan sampai di telinga Pak Atmakusumah. Malamnya Alwi Sagaf Alhadar ditelepon langsung oleh Pak Atmakusumah dan mengatakan akan mengirim tim jika Alwi dkk dimejahijaukan.

Atas perjuangan almarhum Pak Atmakusumah akhirnya persoalan ini berakhir damai hingga membuat Penguasa Darurat Sipil semakin paham tentang kerja-kerja jurnalistik.

Di sini, mestinya dipahami bukan saja soal media yang harus disalahkan negara juga harus bertanggungjawab mengapa konflik tersebut bisa terjadi begitu massif.

Bukan angka yang sedikit jika negara kemudian harus mengirimkan 25.500 pasukan ke Maluku dan Maluku Utara atau setara dengan 12 batalion hanya untuk meredam konflik. Meski telah dikirim begitu banyak tentara namun toh situasi keamanan tak kunjung reda.

Pertanyaan kita kemudian adalah siapa yang harus disalahkan? Pers atau negara?

Aktivis HAM Munir tampak menggeleng-geleng kepala setelah mendengar penjelasan Pak Dahlan kala itu.

“Cak Dahlan…Cak Dahlan orang di sana pada perang, penjelasan sampeyan pragmatis sekali,” ujarnya usai memberikan materi.

Tak kurang, Pak Atmakusumah ketika itu bergeming. Setelah pemaparan yang disampaikan Pak Dahlan diikuti penjelasan dari pemateri yang lain Pak Atmakusumah mengaku puas.

Di hadapan para pembicara itu, Pak Atmakusumah merasa lega atas kehadiran Pak Dahlan. “Setelah dua tahun dicari-cari, syukur Pak Dahlan bisa hadir,” kata Pak Atmakusumah.

Ketua Dewan Pers Atmakusumah mengakui bahwa tudingan keberpihakan media di Maluku sesungguhnya tidak ada. Yang ada hanyalah upaya media menyuarakan aspirasi kelompoknya.

Dengan jawaban Pak Dahlan diikuti oleh penjelasan Pak Atmakusumah itu terjawab sudah tudingan miring para aktivis dan pegiat HAM selama ini. Anggapan bahwa adanya kesengajaan Pak Dahlan dengan menerbitkan dua koran di Ambon untuk mengadu-domba masyarakat tidaklah benar.

***

Untuk diketahui, Pak Atmakusumah merupakan Ketua Dewan Pers pertama sejak Mei 2000 sampai Agustus 2003.

Pak Atmakusumah adalah jurnalis Indonesia ketiga yang mendapatkan Penghargaan Magsaysay sebuah penghargaan bergengsi internasional untuk wartawan terbaik pada 2000. Sebelumnya penerima pertama Mochtar Lubis pada 1958, dan penerima kedua diraih oleh Pramudya Ananta Toer.

Hingga menjelang wafat almarhum dikenal sebagai pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), pusat pendidikan dan pelatihan jurnalistik praktis di Jakarta, sejak 1992 sampai sekarang, dan anggota Dewan Pakar LPDS sejak Maret 2003.

la adalah mantan Direktur Eksekutif LPDS (1994-2002) dan Ketua Tim Ombudsman Harian Kompas (2000-2003). Sebelumnya, ia bekerja sebagai press assistant, kemudian information specialist, pada U.S. Information Service (USIS) (1974-1992), dan redaktur, kemudian redaktur pelaksana, Harian Indonesia Raya (1968-1974).

Seperti dalam sejarah Indonesia, Pak Atmakusumah tercatat sebagai Ketua Dewan Pers independen pertama. Sebab, sejak dibentuk pada 1968, Ketua Dewan Pers selalu dijabat oleh Menteri Penerangan yang ditugasi untuk membina pertumbuhan pers nasional bersama pemerintah.

Hal tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang ditandatangani Presiden Soekarno. Aturan itu kemudian dirombak dengan UU No 40/1999 tentang Pers oleh Presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie.

Pak Atmakusumah dikenal sebagai redaktur di harian Indonesia Raya bersama Mochtar Lubis, redaktur di LKBN Antara, dan redaktur di Pers Biro Indonesia (PIA), Jakarta. Dia juga pernah menjadi penyiar radio Australia, ABC, di Melbourne, Australia, dan radio Jerman, Deutsche Welle, di Koeln, Jerman. Selain itu, ia juga pernah menjabat Ketua Tim Ombudsman Kompas (2000-2003).

Pria pemegang Kartu Pers Nomor Satu (Press Card Number One/PCNO) dari komunitas Hari Pers Nasional (HPN) 2010 ini meninggal karena sakit.

Almarhum meninggalkan seorang istri Sri Rumiati bersama tiga putranya yakni Kresnahutama Astraatmadja, Rama Ardana Astraatmadja, dan Tri Laksmana Astraatmadja.

Selamat jalan Pak Atmakusumah. Semoga husnul khatimah, diluaskan alam kuburnya, dan dimaafkan segala salah dan khilaf.(*)

  • Bagikan