Dari Haul Ulama di Ambon

  • Bagikan

Mengapa banyak pelajaran, ilmu, dan hikmah yang telah diwariskan oleh para ulama, habaib, dan orang-orang saleh ratusan tahun silam masih bisa dipelajari oleh generasi kita saat ini?

Adalah Habib Muhammad Bin Ahmad Assagaf mengemukakan pertanyaan itu di hadapan ratusan undangan saat menyampaikan tauziah dalam rangka Haul Akbar Habib Ali Bin Muhammad Alhabsyi dan para ulama se-Maluku di kediaman Said Isa Al Habsyi, Jalan Permi No. 8, Waihaong, Ambon, Minggu, (10/11/24).

Lalu, apa yang membuat ilmu dari para guru kita, ulama, dan habaib bisa berbekas hingga mampu bertahan dan dilanjutkan oleh generasi kita sampai sekarang itu?

Menurut Habib Assagaf, salah satunya karena akhlak dan perilaku yang diajarkan oleh mereka itu tidak bersandar pada materi tapi murni karena diikuti oleh nawaitu (niat) yang ikhlas.

Itulah membuat mereka selalu dikenang disamping karena karomah atau kelebihan-kelebihan khusus yang mereka miliki. Haul yang dilakukan ini pada hakikatnya untuk mengenang jasa mereka juga meneladani akhlak mereka.

Haul Akbar Habib Ali Bin Muhammad Alhabsyi ke-133 ini adalah peringatan tahunan yang ditujukan untuk mengenang jasa dan ajaran seorang ulama atau tokoh agama. Lebih dari sekadar mengenang, haul akbar yang ketiga tahun ini juga memiliki makna spiritual yang dalam.

Haul ketiga ini juga memiliki makna strategis di tengah menurunnya spiritualitas akibat kemajuan, sekaligus menjadi momentum untuk merefleksikan keteladanan hidup yang telah diberikan oleh para guru kita itu untuk memperkuat hubungan dengan mereka.

Mereka ini seperti dikutip Habib Assagaf termasuk yang oleh Al-Quran dalam Surah Fussilat Ayat 30 disebutkan sebagai orang-orang yang teguh dalam pendirian.

Dalam surah ini disebutkan: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”

Salah satu contoh dari karomah para auliyah itu melekat pada tokoh pendidik dan pendiri Lembaga Pendidikan Yayasan Al-Khairaat Kota Palu Alhabib Idrus Bin Salim Aljufri.

Karena keikhlasan dan semangat jihad dalam mengembangkan dunia pendidikan sang guru ini bisa membangun lebih 400 lembaga pendidikan yang tersebar di Kota Palu dan Indonesia Timur.

Ia satu-satunya pelopor pendidikan yang telah ditorehkan oleh sejarah sebagai sosok pengembangan sumber daya manusia yang hingga kini telah dirasakan oleh lintas generasi.

Keikhlasan dan jihad itu tertanam kuat dalam dirinya dan dibuktikan ketika Alhabib Salim Aljufri mengawali pembukaan lembaga pendidikan di pelosok desa tanpa bekal uang yang cukup. Tapi didorong oleh keikhlasan ia mampu melahirkan generasi berilmu di sejumlah pelosok kampung.

Kehadiran para auliyah atau orang-orang saleh di suatu tempat selamanya akan diikuti oleh perubahan. Dengan bekal ilmunya itu mereka mampu membangun sebuah peradaban ilmu pengetahuan.

Sejarah mencatat, keberadaan ulama-ulama kita dulu kalau masuk dan keluar di suatu kampung selamanya selalu menyelesaikan masalah, bukan membawa masalah. Motivasinya cuma satu yakni menjadikan orang bodoh menjadi orang pintar dan orang bingung menjadi tenang.

Mereka para ulama kita itu adalah orang-orang yang jihad dan pejuang yang niatnya semata-mata ikhlas karena Allah. Dari tangan para ulama inilah mereka yang tadinya di kampung tidak tahu-menahu sebuah peradaban bisa menjadi orang sukses.

Kisah Alhabib Salim Aljufri di sini tentu tidak saja sebagai guru dan pendakwah, ia juga seorang pedagang kain sarung. Ulama, habaib, dan orang-orang saleh kita dulu selain mengajar mereka juga adalah pedagang di pasar, penjual kain sarung, kemeyan, dan penjual minyak wangi. Pagi mereka membuka usaha setelah itu barulah mereka mengajar dan berdakwah.

Sambil berdakwah ke kampung-kampung Alhabib Salim Aljufri membawa kain sarung untuk dijual. Begitu selesai berdakwah dan kembali ke Palu ia menagih hasil jualannya yang dititipkan pada pedagang di sepanjang kampung yang telah dilewatinya itu.

“Uang hasil jualan itu ia gunakan untuk membantu membiayai kebutuhan belajar mengajar dan sisanya untuk pembangunan pesantren dan keluarga,” ujarnya.

Di Ambon kita juga mengenal banyak ulama, habaib, dan orang-orang saleh yang juga berjihad pada jalan yang sama. Salah satunya Imam Mesjid Raya Al-Fatah KH.Asyarie.

Kiyai asal Wakatobi, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, yang namanya diabadikan pada sebuah gedung bernama Gedung Asyarie di areal Mesjid Raya Al-Fatah Ambon itu harus ikhlas meninggalkan kampung halaman dan anak/istri di tanah kelahirannya.

Semangat jihad yang tertanam dalam dirinya mengharuskan ia harus sabar untuk pergi berlayar ke Ambon berdakwah. Saat yang sama ia harus menghadapi resiko ancaman oleh pasukan Belanda kemudian dihukum dan dianiaya hingga berdarah karena melawan dalam berdakwah.

Tidak sedikit para pejuang dan tokoh pergerakan di Indonesia termasuk yang dibuang oleh Belanda dari Jawa dan Sumatera ke Ambon/Maluku sebagian besar mereka adalah ulama dan orang-orang saleh.

Kita mengenal makam keluarga Pangeran Diponegoro di Kota Ambon adalah bukti pejuang kemerdekaan kita adalah pahlawan dan keluarga orang-orang saleh. Sampai kini anak, cucu, dan cicit Pangeran Diponegoro telah beranak-pinak di Ambon/Maluku.

Begitupun dengan para habaib dan auliyah. Mereka ini datang jauh-jauh dari Yaman untuk menyebarkan risalah Nabi Muhammad SAW di Maluku tidak lepas dari keikhlasan dan semangat jihad dalam diri mereka untuk menyampaikan dakwah. “Jadi, kemuliaan mereka itu karena didasarkan pada semangat jihad dan keikhlasan,” ujar Habib Assagaf.

Ia mengingatkan agar motivasi para santri dan pendakwah di daerah ini tidak semata-mata mengembangkan kemampuan berdakwah saja, tapi mereka juga harus menjadi seorang pedagang sukses untuk membantu dakwah mereka.

Ia mengaku miris jika ada anggapan para santri dan dai kita tidak mau bekerja cukup hanya sebagai pendakwah saja. Kelihatannya hebat tapi sesungguhnya ini adalah kemerosotan.

Sejarah mencatat orang-orang saleh kita dulu selain sebagai pendakwah mereka juga adalah saudagar. Orang-orang saleh itu tidak menjadikan dakwah sebagai sarana mencari nafkah, tapi mereka juga bekerja sebagai pedagang. Mereka adalah orang-orang yang gigih dalam berjihad. Di pagi hari mereka bekerja, berdagang, dan berjualan di pasar kemudian berdakwah.

Kalau kita menjadikan medan dakwah sebagai lahan mencari nafkah maka kita hanya mendapat makannya saja. Tapi sir (rahasia) atau kehebatannya tidak tampak, karena motivasi atau niat kita hanya mencari nafkah.

“Ketika pulang ke rumah kita hanya mendapat uang yang banyak untuk membeli rumah atau baju dll hanya itu yang kita dapat. Tidak lebih. Tidak ada rahasia (kehebatan) atau ster yang kita dapat dari dakwah tersebut,” ujarnya.

Di sini bedanya ustad-ustad kita dulu karena mereka tidak mencari nafkah dengan mengajari orang. Tidak banyak retorika dan bahasanya sederhana tapi justeru inilah yang terus terpendam dalam hati sanubari setiap orang yang diajarkan.

Itulah tanda kemuliaan guru-guru, habaib, auliyah dan orang-orang saleh kita dulu karena keikhlasannya dalam berdakwah.

*
Haul akbar yang digelar Minggu, (10/11/24), itu merupakan kali ketiga yang diadakan oleh Majelis Ratib dan Maulid Al Husaini Ambon bersama DPC Rabithah Alawiyah Ambon untuk mengenang Habib Ali Bin Muhammad Alhabsyi asal Yaman dan para ulama se-Maluku.

Acara ini diikuti sejumlah majelis taklim se-Kota Ambon, juga dihadiri para habaib se-Kota Ambon. Ada pula Imam Besar Mesjid Raya Al-Fatah KH.RR.Hassanusi, Ketua Yayasan Masjid Raya Al-Fatah Ambon DR.Hadi Basalamah, Guru Besar IAIN Ambon Prof DR Muhammad Attamimi, serta sejumlah undangan.

Menurut Ketua Panitia Gamal Mukadar, haul ini tidak hanya untuk mengenang Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi, tetapi juga para ulama se-Maluku lainnya seperti Habib Abdullah Bin Husein Alhabsyi, Ustadz Abdul Qadir Hatala, Ust. Tan, dan banyak lagi.

Ia berharap melalui Haul ini, umat Islam di Maluku bisa meneladani keteguhan iman dan pengabdian yang telah dicontohkan oleh para ulama.

Haul akbar ini selain menjadi refleksi spiritual juga sarana untuk memperkuat solidaritas pun menyatukan masyarakat dalam nilai-nilai keislaman yang lebih mendalam.

“Haul Akbar Habib Ali Bin Muhammad Alhabsyi ini bukan sekadar untuk diperingati saja, tetapi juga sekaligus untuk mempererat ukhuwah Islamiyah,” ungkap Gamal.

Acara haul ini diawali pembacaan Surah Yasin dan fahlil, diikuti oleh Maulid Simthudduror dan dilanjutkan dengan tausiyah.

Dari 150 nama imam dan ulama besar yang dihaulkan hari itu antara lain Ustad Muhammad Bahweres, Ustad Ahmad Abdurrahman Oei, Ustad Abdul Syukur Rahimi, Ustad K.H. Ahmad Bantam, Ustad Abdul Qadir Hatala, Ustad Ahmad Bin Abdul Qadir Hatala, Ustad Tan, Habib Abdullah Bin Husein Alhabsyi.

Ustad K.H. Muhammad Ash’ary, Ustad Tuan Guru Haji Ali Marasabessy, Ustad Abdurrahman Basyarahil, Ustad Abu Bakar Al-Idrus, Ustad Ja’far Bin Awad Bin Kude Alkatiri, Ustad Abdurrahman Bahweres, Ustad Ahmad Madras, Ustad Ahmad Bahsoan, Ustad Husein Bamatraf, Ustad Muhammad Bandjar, Ustad Salim Hatapayo, dan Ustad Aziz Arby.(AHMAD IBRAHIM)

  • Bagikan