Berapa persenkah perilaku para penonton film kita di Tanah Air yang tidak sesuai usia?
Pertanyaan ini sempat mengemuka dari seorang peneliti dari Lembaga Sensor Film (LSF) RI Titin Setiawati, M.IKom dalam materi yang disampaikan pada acara Sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri di Provinsi Maluku, di Swissbell Hotel, Ambon, Selasa, (29/10/24).
Titin Setiawati memang bukan orang baru di LSF. Sebelum dilantik menjadi anggota LSF RI Agustus 2024 lalu ia telah berkecimpung dalam penelitian terkait pengaruh medsos terhadap perilaku penonton film yang tidak sesuai umur.
Dari hasil penelitian terbaru 2023 lalu pada empat kota di Tanah Air yakni Jakarta, Medan, Surabaya, dan Makassar diketahui sekitar 70 persen perilaku para penonton film kita saat ini tidak sesuai umur.
Justeru dari angka sebanyak itu mereka yang nonton film tidak sesuai umur tersebut adalah berusia di bawah 17 tahun. Mereka ini sangat rentan terhadap perilaku negatif akibat dampak yang ditimbulkan dari menonton film berbau horor dan pornografi.
Di sini pentingnya sosialisasi pemberdayaan budaya sensor mandiri baik melalui orang tua, lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan dan semua stakeholder yang peduli terhadap masa depan anak-anak kita. Mereka ini harus punya tanggung jawab yang sama untuk melakukan pemberdayaan budaya sensor mandiri terhadap setiap film yang ditayangkan melalui kanal-kanal media sosial dengan segala platform digital yang berbau horor dan pornografi.
Dari hasil penelitiannya itu para pengguna medsos ini umumnya menyadari kalau film yang ditontonnya itu tidak sesuai umur. “Jadi, angka sebanyak 70 persen responden itu mereka tahu kalau film yang ditonton tersebut dilarang dan masuk kategori film horor atau pornografi,” ujarnya.
Persoalan saat ini semua konten film digital sulit diawasi dan dilacak karena belum ada undang-undang atau regulasi yang mengatur dan mengawasi. LSF RI sebagai lembaga sensor film sesuai Peraturan Pemerintah Pasal No.18 Tahun 2014 Pasal 7 belum punya kewenangan untuk program film khususnya konten digital. Yang ada saat ini baru pada tahap pengawasan dan izin untuk penggunaan film-film yang beredar di bioskop dan televisi.
Pada pasal ini disebutkan fungsi LSF RI yakni melindungi masyarakat dari dampak negatif yang timbul dari peredaran dan pertunjukan film dan iklan film.
Kedua, melakukan sosialisasi secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film dan iklan film. Berikut membantu pemilik film dan iklan film dalam memberi informasi yang benar dan lengkap kepada masyarakat agar dapat memilih dan menikmati film yang bermutu. Juga menyusun pedoman penerbitan dan pembatalan surat tanda lulus sensor.
Memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memilih dan menikmati pertunjukan film dan iklan film. Berikut memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan iklan film.
Sebagai sarana budaya, fungsi perfilman tidak lain sebagai wahana pendidikan, hiburan, informasi, pendorong karya kreatif dan ekonomi.
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 disebutkan bahwa film dan iklan film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Begitu pun iklan film adalah bentuk publikasi dan promosi film.
Dari penelitian Titin Setiawati yang kini sedang dalam penyelesaian program studi doktoral Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA), Jakarta, itu ia temukan sebanyak 70 persen dari mereka yang nonton film di bawah usia 17 tahun tersebut mengaku sadar kalau yang ditontonnya itu tidak sesuai umur dan bukan di tempat umum tapi justeru di kamar tidur.
Pengawasan yang dilakukan orang tua untuk anak-anak boleh dikata tidak mempan, karena program film digital saat ini sudah merasuk ke semua lini melalui handphone.
Itulah yang membuat persoalan pemberdayaan untuk pengawasan sensor mandiri ini tidak cukup hanya dibebankan kepada orang tua dan yang diperlukan saat ini yakni regulasi yang mengatur hal itu.
Menurut istri dari Herry Indarto ini, untuk menghindari dampak buruk generasi kita saat ini langkah awal kita semua perlu membangun tanggung jawab bersama untuk mendukung program Sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri yang diprakarsai LSF RI guna menyelamatkan generasi kita dari bahaya pornografi.
Ia mengakui problem pengawasan penggunaan kanal digital memang sulit dikontrol. Orang tua sebagai pilar utama justeru menghadapi hal yang sama. Bagaimana orang tua kita mau mengawasi mereka saja sulit membaca history (perjalanan) dari sebuah kanal milik anaknya di handphonenya. Yang terjadi malah sebaliknya, orang kita justeru yang meminta bantuan anaknya ketika handphone mereka bermasalah.
“Orang tua tidak bisa mengetahui history anaknya di Hp, tapi sebaliknya sang anak justeru bisa mengetahui history Hp orang tua mereka. Jadi, siapa mengawasi siapa. Di sini problemnya,” ujarnya.
Karena itu menghadapi kemajuan digitalisasi media sosial dengan segala dampak negatif yang mengikutinya, kita perlu terus membangun sebuah kesadaran baru untuk menyaring setiap film yang ditayangkan dan menontonnya sesuai usia.
Dari data yang diperoleh peredaran film di Indonesia saat ini sebanyak 50 persen didominasi film asing terutama film Korea. “Sisanya film India,” ujarnya.
Saat ini dampak negatif yang ditimbulkan akibat kemajuan transformasi digital itu telah terjadi filtrasi secara massif. Tidak saja soal film, fenomena cara berpakaian saat ini juga ikut terasa. “Dari mana mereka dapatkan fenomena perubahan itu? Tidak lain dari medsos,” ujarnya.
Ini semua menjadi PR kita bersama untuk menjaga nilai-nilai budaya kita dari hal-hal negatif. Yang perlu diperhatikan adalah persoalan pornografi yang ditayangkan melalui film dan kanal-kanal digital lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian pada empat kota besar itu ada fenomena menarik di kalangan generasi muda soal defenisi pornografi dan kekerasan.
Dulu, defenisi pornografi ketika kita berbicara tidak sesuai norma sudah dianggap pornografi. Tapi, sekarang ini pornografi itu identik jika ada unsur seksualnya. Kalau tidak ada seksualitas bukan pornografi.
Pun kekerasan kalau tidak ada darah yang mengalir bukan dianggap sebagai kekerasan. “Zaman berkembang defenisi soal pornografi dan kekerasan pun ikut berubah,” ujarnya.
*
LAHIR dan besar di Kota Temanggung, Provinsi Jawa Tengah, 27 Desember 1979, Titin Setiawati, M.IKom menyelesaikan S1 pada Program Studi Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM, Jogya, tahun 2003.
Ia kemudian melanjutkan S2 pada Ilmu Komunikasi di Universitas Mercu Buana, Jakarta, tahun 2014.
Saat ini ibunda tercinta dari Arkadani dan Rania Arkadewi ini tengah menyelesaikan Program Doktor untuk studi yang sama di bidang Ilmu Komunikasi.
Titin Setiawati sehari-hari adalah dosen Ilmu Komunikasi pada FISIPOL UHAMKA Jakarta sejak 2019.
Ia bergabung dan menjadi anggota LSF RI sejak 2022. Saat itu ia ditugaskan sebagai peneliti untuk film. Dari pengalamannya itu pada 2023 lalu ia telah menyelesaikan sebuah penilitian menarik tentang dampak film dan digitalisasi medsos pada empat kota besar yakni Jakarta, Medan, Surabaya, dan Makassar. Penelitiannya itu kini menjadi bahan studi oleh LSF RI.
Istri dari Herry Indarto ini baru saja menjadi pembicara tentang Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri yang diselenggarakan LSF RI di Kota Ambon, (29/10/24).
Bersama Wakil Ketua LSF RI Noorca M Massardi dan tim selama tiga hari berada di Kota Manise selain melakukan kegiatan sosialisasi mereka juga melakukan kunjungan kebudayaan ke beberapa objek wisata di kota ini.
Ada sejumlah tempat objek budaya dan warisan peninggalan sejarah mereka datangi yakni Benteng Amsterdam, Gereja Tua, dan Mesjid Tua Wapaue di sebelah utara Pulau Ambon tepatnya di Desa Kaitetu, Kabupaten Maluku Tengah. Mereka juga melakukan kunjungan serupa di Benteng Neuw Victoria di pusat Kota Ambon.
Selama kunjungan ke objek wisata itu, mereka mengaku kagum akan kebesaran sejarah dan budaya yang ada di Pulau Ambon.
Kota Ambon oleh mereka dianggap sungguh indah dan mengesankan. Tak salah jika kemudian daerah ini dulu menjadi pusat perebutan oleh bangsa asing. “Kota Ambon sungguh Manise. Cantik dan mengesankan,” ujar Titin Setiawati.
Karena keindahan alamnya, laut, pantai dan gunung, daerah ini pernah menjadi pusat hegemoni dan pergumulan rempah-rempah selama berabad-abad oleh dunia luar.
“Tidak heran jika kemudian karena kekayaan alamnya berupa pala dan cengkeh hingga Pulau Run yang ada di Kepulauan Bandaneira harus ditukarguling dengan Kota Manhattan, New York, Amerika Serikat,” ujarnya.(AHMAD IBRAHIM)