RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Dampak kemajuan teknologi komunikasi diikuti perkembangan digitalisasi dengan segala dampaknya membutuhkan tanggung jawab semua pihak. Tidak kurang ada satu juta konten yang beredar setiap hari dalam dunia maya dengan aneka jenis film berbau horor, pornografi, gambar, atau konten yang beredar saat ini membutuhkan kepedulian semua pihak tanpa kecuali orang tua.
“Kami punya 17 anggota pada Lembaga Sensor Film (LSF) RI tidak cukup melokalisir dampak negatif yang ditimbulkan akibat kemajuan digitalisasi. Sebagai benteng pertahanan kebudayaan, akhlak dan moral yang diamanahkan oleh undang-undang kami harus terus berjuang melalui program sosialisasi sensor mandiri untuk tidak menimbulkan dampak negatif akibat perkembangan digitalisasi,” demikian dikatakan Wakil Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) RI Noorca Massardi pada pembukaan Sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri di Provinsi Maluku, di Swissbell Hotel, Ambon, Selasa, (29/10/24).
Ikut menjadi pembicara dari LSF RI yakni kandidat doktor dan juga dosen Universitas HAMKA Jakarta Titin Setiawati serta praktisi dan pembuat film dokumenter dari Ambon Piet Manuputty. Acara ini dipandu oleh moderator dari LSF RI Hairus Salim.
Menurut Noorca Massardi, selain belum adanya regulasi yang mengatur untuk sensor film pada konten digital untuk LSF RI oleh undang-undang saat ini baru pada film yang ditayangkan pada bioskop dan televisi selebihnya yang dilakukan hanyalah melalui sosialisasi sensor mandiri.
Melalui program LSF ini, ujar mantan Pemred Majalah Forum Keadilan, ini kita harus sama-sama melakukan upaya meminimalisir dampak negatif dari konten dan film berbau pornografi, horor, maupun konten dan gambar-gambar negatif yang ditimbulkan akibat perkembangan teknologi digital.
Sambil menunggu proses perubahan undang-undang, program sosialisasi sensor mandiri oleh LSF RI perlu terus didukung dan digalakkan ke semua lapisan masyarakat termasuk dunia pendidikan.
Ia mengatakan, saat ini ada 50 ribu judul film setiap tahun ditayangkan di Tanah Air. Sebagai penanggung jawab, katanya, pihaknya tetap menjaga agar peran LSF RI bisa lebih maksimal.
“Di Asia seperti Thailand dan di Eropa seperti Prancis punya lembaga sensor film,” ujarnya.
Di Prancis, ujar mantan wartawan yang pernah mewawancarai Presiden Iran Ayatullah Khomeini, itu punya lembaga sensor film.
Negara asing saja punya lembaga sensor film yang mengatur dan menjaga anak-anak mereka tidak bebas menonton film baik yang berbau pornografi atau film horor.
“Di Perancis ada undang-undang yang membatasi anak-anak mereka menonton film sesuai usia. Ada klasifikasi untuk anak mereka dilarang bila belum mencukupi usia di atas 13 tahun menonton film orang dewasa,” ujarnya.
Saat ini, kata Noorca Massardi, LSF RI telah bekerjasama 60 kampus di Tanah Air melalui program Sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri. “Kami juga bekerjasama dengan KPI dan KPID untuk program sosialisasi di daerah,” ujarnya.
Walau sudah dilakukan program kerjasama, namun program LSF RI ini belum bisa menyentuh semua pihak. Karena itu kita butuh kerjasama semua lapisan masyarakat tanpa kecuali lembaga pendidikan, lembaga kebudayaan di daerah untuk mendukung program ini.
LSF RI sendiri, kata dia, diangkat sesuai SK Presiden melalui menteri. Dari 17 anggota mereka telah diberi amanah dan tanggungjawab menjadi benteng penjaga budaya, moral dan akhlak bangsa.
Inilah yang membuat orang-orang yang duduk di LSF RI oleh Noorca Massardi kerab dianggap sebagai manusia sakti karena harus menjadi salah satu pilar atau benteng pertahanan budaya, moral, dan akhlak untuk 270 juta rakyat Indonesia.(DIB)