Transisi Energi Berkeadilan di Tangan Prabowo-Gibran: Mampukah Pemerintahan Baru Mewujudkan Masa Depan Energi Bersih Indonesia?

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — JAKARTA, — Pemerintahan Prabowo-Gibran resmi menjadikan ketahanan energi dan transisi ke energi bersih sebagai salah satu fokus utama mereka. Dalam pidato inaugurasinya pada 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo menegaskan komitmennya terhadap pemanfaatan energi bersih sebagai pilar utama untuk memperkuat ketahanan energi nasional. Namun, lambatnya pengembangan dan investasi energi bersih dalam lima tahun terakhir menjadi tantangan serius yang harus diatasi jika Indonesia ingin memenuhi target ambisius net zero emissions (NZE) pada 2060.

Peluang dan Tantangan yang Dihadapi
Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia telah membuka beberapa peluang penting untuk mempercepat transisi energi. Komitmen seperti penetapan target NZE 2060 dan pengurangan penggunaan PLTU batu bara memberikan landasan untuk mempercepat transformasi ini. Pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan bisa memanfaatkan inisiatif global seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Belt Road Initiative (BRI) untuk mendorong investasi energi terbarukan.

Namun, meski peluang terbuka lebar, lambatnya kemajuan pengembangan energi bersih di masa lalu menimbulkan kekhawatiran. Dalam diskusi bertema “Memimpin Perubahan: Transisi Energi dan Emisi Nol Bersih dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran 2025-2029,” lembaga-lembaga seperti Climateworks Centre dan Institute for Essential Services Reform (IESR) menggaris bawahi bahwa percepatan transisi energi yang berkeadilan akan membutuhkan komitmen kebijakan yang kuat serta peningkatan ambisi terkait iklim.

Rekomendasi untuk Akselerasi Transisi Energi
Guntur Sutiyono, Direktur Climateworks Centre, menyampaikan sembilan butir rekomendasi penting untuk mempercepat transisi energi Indonesia. Rekomendasi ini mencakup:

  1. Reformasi subsidi energi agar lebih tepat sasaran, terutama untuk daerah terisolasi.
  2. Pemisahan peran regulator dan operator guna meningkatkan efisiensi dan adopsi energi bersih.
  3. Peningkatan kapasitas energi terbarukan melalui investasi jangka panjang di teknologi baru.
  4. Standar lingkungan yang ketat untuk industri ekstraktif, guna memastikan pertumbuhan ekonomi tidak merusak ekosistem.
  5. Pendekatan transisi yang inklusif dan adil, memastikan seluruh lapisan masyarakat terlibat.

Salah satu rekomendasi utama adalah penegasan komitmen jangka panjang untuk mencapai NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat. Guntur menegaskan bahwa upaya ini akan membutuhkan reformasi kebijakan yang mendalam, terutama dalam hal subsidi energi yang sering kali tidak tepat sasaran.

Menjaga Kepercayaan Investor dan Mengatasi Kendala Kebijakan
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Sistem Energi dari IESR, menyoroti masalah penurunan ambisi dalam RPP Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang berisiko menurunkan kepercayaan investor. Hal ini mengancam pengembangan energi terbarukan yang merupakan salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Menurut Deon, pemerintah harus merombak kerangka aturan yang ada untuk mendukung pengembangan energi terbarukan. Selain itu, perlu ada pengakhiran operasional dini PLTU batu bara agar Indonesia bisa mencapai target emisi rendah dan meningkatkan daya saing ekonomi hijau di pasar global.

Perlunya Komitmen Tegas dalam Target Iklim
Kuki Soejahmoen, Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), menekankan bahwa hingga kini Indonesia belum menunjukkan komitmen tegas terkait kontribusinya pada target iklim global. Meski telah berkomitmen pada berbagai inisiatif, Indonesia belum sepenuhnya mengimplementasikan langkah-langkah konkrit seperti pelipatgandaan kapasitas energi terbarukan dan efisiensi energi. Pada akhir tahun 2023, porsi energi baru terbarukan di Indonesia baru mencapai 13,1 persen, jauh dari target yang ditetapkan untuk tahun 2024.

  • Bagikan