Fenomena Pilkada yang kini memasuki masa kampanye masih berkutat pada persoalan tokoh atau figur bukan soal visi misi. Sedikit di antara kandidat kita, timsus, dan warga pendukung para calon kepala daerah mengedepankan gagasan sebagai ajang pertarungan. Itulah membuat setiap kali pesta Pilkada digelar kita temukan yang menonjol selalu saja berputar pada sosok figur atau tokoh bukan pada visi misi.
Pendapat itu disampaikan akademisi pada Program Studi Pemikiran Politik Islam IAIN Ambon DR.Saidin Ernas. Meski disibukkan sebagai akademisi, DR. Saidin Ernas tidak absen mengikuti dinamika politik lokal dan nasional yang berkembang saat ini.
Pikirannya tetap menerawang membaca situasi politik kontemporer dengan segala dampaknya. Bulan depan ia telah berencana menerbitkan sebuah buku karyanya berjudul: Arsitektur Perdamaian, Belajar dari Ambon-Maluku. Selain sebagai akademisi IAIN diluar sana ia juga terlibat aktif dalam Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Maluku yang diketuai DR. H.Abdul Rauf, itu.
Saya memang janjian bertemu DR. Saidin Ernas di sebuah kafe di Kota Ambon. Saat yang sama ia juga dalam persiapan rapat bersama pengurus FKPT Maluku, Sabtu lalu, (28/9/24).
Itulah untuk kali kedua persis setahun yang lalu, Sabtu, (30/9/23), saya mewawancarai doktor yang pernah mengambil Program Post Doktoral di Universitas Leiden Belanda, terkait kondisi politik Tanah Air menghadapi Pilpres dan Pileg 14 Februari 2024, dimuat Rakyat Maluku, Senin, (2/10/23), dengan judul: Tidak Perlu Cemas.
Terkait Pilkada serentak di seluruh Tanah Air yang akan digelar 27 Nopember 2024 yang diawali pelantikan Presiden Prabowo dan Wapres Gibran Rakabuming, (20/10/24), ia melihat dampak kekerasan yang kerab dikhawatirkan menghadapi momentum politik hampir pasti tidak akan terjadi di Maluku karena tingkat kesadaran yang semakin membaik.
Ia berasumsi pada data terbaru yang direlease oleh BNPT bahwa faktor kekerasan di Maluku berada di bawah rata-rata tingkat nasional yang mencapai angka di atas 10 persen.
Untuk Maluku sendiri angka kekerasan berada di urutan enam dari angka nasional. Itu berarti tingkat kerawanan terkait kekerasan di daerah ini relatif kecil. Maluku pernah berada di urutan tiga dan itu masuk kategorikan rawan.
Meski relatif aman namun dosen yang mengkhususkan studi S3 untuk Kajian Agama, Lintas Budaya, Sosial dan Politik pada UGM Jogya, ini mengingatkan kita untuk tetap waspada dari semua kemungkinan yang bisa memicu kekerasan menggunakan invisible hand (tangan-tangan tersembunyi) melalui tangan provokator.
Mereka ini bisa menjadikan isu-isu lokal sebagai triggle untuk memicu terjadinya gesekan. Persoalan itu bisa diawali oleh orang mabuk, batas tanah atau pengrusakan tanaman di kebun lalu menjadi konflik antarkampung. Dan, di balik kepentingan politik upaya
mengadu-domba antarpendukung dan antartokoh bisa pula dengan mudah menjadi pemicunya.
Untuk Provinsi Maluku sendiri sampai sejauh ini potensi konflik terkait penguasaan lahan tambang sebagai pemicu konflik antarpekerja pendatang dan penduduk lokal hampir pasti tidak ada. Selain tidak ada lahan tambang yang menonjol, konflik antarpendatang dan penduduk lokal berikut kepentingan elite politik dengan cukong justeru mudah meletup di Provinsi Maluku Utara bila ada pihak yang berkepentingan dengan sengaja memanfaatkan kondisi tersebut untuk membenturkan warga.
Menurut DR.Saidin Ernas, Provinsi Maluku punya potensi pengelolaan gas bumi Blok Masela tapi sejauh ini tidak ada pekerja yang bisa menjadi sumber konflik. Yang dikhawatirkan justeru penguasaan lahan dan tanah-tanah adat yang kini telah dikuasai oleh cukong. “Ini yang harus diwaspadai dan diantisipasi,” ujarnya.
Untuk meraup kantong-kantong suara antarelite politik haruslah kita menghindari namanya polarisasi. Sebab, tidak saja soal perebutan pengaruh terkait penguasaan lahan, tapi melalui statemen seorang elite politik yang tidak tanggap juga bisa memicu kekerasan bila ini tidak disikapi dengan arif oleh masyarakat. Dan, bukan tidak mungkin bisa menjadi gesekan yang mudah dimanfaatkan untuk meraup kantong-kantong suara.
Kita tentu tak ingin hal itu terjadi, tapi sebagai langkah ikhtiar dalam hal dukung-mendukung terhadap sosok figur yang berlaga dalam Pilkada/Pilgub kita harus antisipasi terhadap semua kemungkinan jangan sampai ada upaya untuk mempetakonflikkan masyarakat melalui tangan para tokoh dan elite politik.
Karena itu fokus utama persoalan pemilihan kandidat kepala daerah kedepan adalah bagaimana mereka bisa membangun sebuah konsep visi misi yang mengakar pada kepentingan masyarakat.
Pertarungan gagasan itu tidak saja lewat penyampaian visi misi yang digelar KPU, tapi melalui forum-forum non-formal seperti diskusi lepas yang disampaikan di hadapan komunitas-komunitas masyarakat seperti akademisi, LSM, dan media merupakan sebuah keharusan untuk menguji seberapa jauh tingkat kematangan dari seorang kandidat kepala daerah dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat setelah ia terpilih nanti.
Sejak awal dia mengamati tidak ada visi misi dari para kandidat kita untuk menjadikan obsesi mereka. Di spanduk atapun baliho yang menonjol justeru baru ketokohan yang diandalkan berikut tema-tema yang bersifat ajakan untuk memilih jagoannya.
Pun terkait dengan bagaimana membangun konsep kota modern sebagai sebuah pertarungan gagasan belum terlihat. Mestinya, walau belum memasuki masa kampanye sejak awal mereka ini sudah harus menyampaikan gagasan-gagasannya.
Di Kota Ambon, misalnya. Bagaimana konsep seorang calon walikota harus punya blueprint untuk membangun sebuah konsep tentang tata ruang terbuka hijau. Kita punya banyak spot yang bisa diandalkan untuk dikapitalisasi menjadi sebuah objek pengembangan kota nan menarik. Pantai dan teluk ini haruslah dibuat dan diberdayakan sebagai objek wisata dan pusat kuliner untuk menjadi beranda depan kota.
Bukan sebaliknya menjadi beranda belakang sehingga terkesan laut dan bibir pantai kita selama ini hanya menjadi wadah atau tempat pembuangan sampah sebagaimana yang terlihat di sepanjang Pasar Pantai Mardika dan Pasar Pantai Batu Merah.
Terlalu banyak persoalan kota yang harus menjadi perhatian para kandidat. Kota ini sudah terlalu padat oleh pemukiman karena itu kita butuh sentuhan-sentuhan dari para pemimpin. Di sini dibutuhkan pertarungan gagasan para kandidat walikota untuk mengetahui ide mereka bagaimana menjadikan agar kota ini tampak menarik dan tidak terkesan semrawut akibat munculnya slum area (pemukiman kumuh) di tengah kota karena tidak punya tata ruang hijau yang representatif.
Kita juga punya problem soal penanganan sampah, terminal, pasar, air PAM, juga jalan yang semakin semrawut karena diikuti oleh padatnya arus kendaraan.
Di satu sisi, menurut DR.Saidin Ernas, putera asal Kabupaten Seram Bagian Timur itu, problem tersebut menjadi pertanda sebagai wujud dari kemajuan dan perkembangan suatu kota, tapi bila hal itu tidak diikuti oleh manajemen pengelolaan yang baik bukan tidak mungkin bisa menjadi kota kumuh.
Para pemimpin dan politisi kita yang berlaga di Pilkada nanti tentu harus paham tentang apa yang harus mereka lakukan dengan gagasannya. Jangan sampai ada calon kepala daerah kita tidak tahu problem-problem perkotaan atau daerah yang ia pimpin.
Jangan sampai, kata DR.Saidin Ernas, mengutip kata bijak mantan Presiden Prancis Charles de Gaulle: “Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri, karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat memercayainya,” ujarnya.
Ia mengingatkan jangan sampai ada calon walikota kita tidak tahu di mana saja tempat-tempat pembuangan sampah yang menjadi masalah klasik perkotaan itu. Atau jangan sampai mereka tidak paham problem yang terjadi di pasar, terminal, jalan, air minum, dan pemukiman warga yang tinggal di daerah resapan air yang menjadi sumber mata air kita.
Itulah pentingnya seorang kandidat kepala daerah perlu ditampilkan dalam forum-forum non formal diluar yang ditetapkan KPU. Jadi ada semacam watch dog dengan melibatkan lembaga pendidikan, LSM dan media untuk mengkritisi setiap gagasan yang ditampilkan.
Mereka inilah yang harus menjadi pengawas untuk mengkritisi program para kandidat kepala daerah. Jika kita semata-mata hanya menampilkan sosok atau figur dari ketokohan seorang kandidat dan tidak ada yang bersuara di forum-forum non formal seperti akademisi, LSM dan media massa dalam mempertaruhkan gagasan para kandidat kepala daerah bukan tidak mungkin apa yang dikatakan Charles de Gaulle sebagaimana dikutip DR.Saidin Ernas di atas bisa jadi ada benarnya.(AHMAD IBRAHIM)