Oleh :
Dr. Bokiraiya Latuamury, S.Hut, M.Sc
Dosen Program Studi Ilmu Lingkungan, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura
Perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam tata kelola air di tingkat rumah tangga. Di banyak pulau kecil, perempuan bertanggung-jawab atas pengambilan air untuk kebutuhan sehari-hari, seperti memasak, mencuci dan memenuhi kebutuhan sanitasi keluarga. Namun meskipun peran perempuan sangat sentral dalam tata kelola air, perempuan seringkali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan di tingkat komunitas atau kebijakan air, yang masih didominasi oleh laki-laki. Ketidaksetaraan ini memperparah beban yang dihadapi perempuan terutama di wilayah-wilayah yang mengalami kekurangan air atau krisis air(Sudhiastiningsih et al., 2024). Perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak oleh kelangkaan air, dan beban pekerjaan tambahan ini seringkali tidak diakui sebagai pekerjaan penting. Ketika sumber air langkah atau jauh, perempuan menghabiskan lebih banyak waktu dan tenaga, yang seharusnya dapat digunakan untuk aktivitas lain seperti pendidikan, pekerjaan, atau pengembangan diri (Latuamury et al., 2020).
Ketidaksetaraan dalam akses air memperburuk beban fisik perempuan. Perempuan membawa air dalam jarak yang jauh, terutama dalam beban berat dilakukan oleh perempuan dari berbagai usia, termasuk anak-anak perempuan dan lansia. Kondisi ini meningkatkan risiko kesehatan, seperti cedera otot, kelelahan, dan masalah kesehatan jangka panjang akibat angkat beban berulang kali. Selain itu, dalam beberapa kasus, kondisi lingkungan yang tidak aman menempatkan perempuan dalam risiko kekerasan atau pelecehan saat mereka harus menempuh perjalanan jauh untuk mengakses air (Latuamury, 2020). Krisis air yang tidak diimbangi dengan perlindungan dan dukungan bagi perempuan memperburuk risiko ini, menyebabkan perempuan semakin rentan terhadap ancaman fisik dan sosial. Meskipun perempuan memainkan peran penting dalam pengelolaan air di tingkat rumah tangga, mereka sering tidak terlibat dalam pengambilan keputusan di tingkat komunitas atau kebijakan pemerintah terkait sumberdaya air. Banyak keputusan terkait distribusi air, pembangunan infrastruktur, atau kebijakan konservasi air masih didominasi oleh laki-laki (Bridgewater, 2021). Ketidakterlibatan perempuan menyebabkan kebijakan yang diambil tidak selalu mencerminkan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi perempuan dalam mengakses dan mengelola air. Ketidaksetaraan akses air juga berdampak pada pendidikan dan kesempatan ekonomi perempuan. Di pulau kecil, perempuan terutama anak perempuan harus menghabiskan waktu yang signifikan untuk mengambil air, yang mengurangi waktu mereka untuk sekolah atau pekerjaan, sehingga anak perempuan lebih mungkin tertinggal dalam pendidikan dan pada akhirnya membatasi kesempatan mereka di masa depan (Pramono & Savitri, 2017).
Sanitasi yang tidak memadai seringkali menjadi masalah besar di wilayah dengan krisis air. Perempuan lebih terdampak karena mereka membutuhkan fasilitas sanitasi yang memadai untuk menstruasi, kehamilan, dan kesehatan reproduksi lainnya. Dalam situasi dimana air bersih tidak tersedia atau tidak mencukupi, perempuan lebih rentan terhadap infeksi dan penyakit yang berkaitan dengan sanitasi yang buruk. Kurangnya sanitasi yang layak di rumah atau sekolah juga menghambat perempuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam ruang-ruang publik. Ketika perempuan harus mengatur sanitasi dengan air yang terbatas, kesehatan mereka terancam, dan ketidakmampuan mereka untuk mengakses air yang layak memperburuk ketimpangan yang mereka hadapi (Sudirja, 2008).
Dalam banyak program tata kelola sumberdaya air, teknologi hemat air atau infrastruktur baru seringkali tidak dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan spesifik perempuan. Misalnya sistem distribusi air yang jaraknya jauh dari rumah tidak hanya menyulitkan akses bagi perempuan namun juga memperpanjang waktu yang mereka butuhkan untuk mengakses air (Wijayanti & Nursalim, 2023). Teknologi atau program yang hanya memperhitungkan aspek teknis tanpa mempertimbangkan gender-sensitive approach cenderung gagal dalam mencapai tujuan pemberdayaan perempuan dan pengurangan beban mereka. Perempuan memerlukan infrastruktur yang ramah gender, sepertu akses air dekat rumah, sistem pengumpulan air minum, atau fasilitas sanitasi yang dapat mereka manfaatkan secara efektif. Ketika krisis air terjadi di suatu wilayah, dampaknya terhadap perempuan menjadi lebih besar karena peran tradisional mereka sebagai pengelola air di rumah tangga. Beban fisik, psikologis, dan sosial yang mereka tanggung meningkat seiring dengan kelangkaan air, sementara mereka seringkali tidak diberikan peran yang signifikan dalam upaya pemecahan masalah. Ketidaksetaraan gender yang sudah ada semakin diperburuk oleh krisis air, yang pada akhirnya memperparah ketidakadilan struktur di masyarakat (Fatahillah et al., 2023).
Pendekatan ramah gender dalam program pemanenan air hujan merupakan salah satu teknologi yang diterapkan di wilayah terpencil dan pulau-pulau kecil untuk mengurangi jarak yang harus ditempuh perempuan dalam mengakses air, dan juga desain tangki dan sistem pengumpulan air yang dapat diakses perempuan dan penyandang disabilitas, misalnya tangki yang lebih rendah dan dilengkapi dengan alat bantu pengangkutan air. Penyediaan sanitasi yang layak terutama toilet ramah gender dan sanitasi khusus perempuan, termasuk kebutuhan selama menstruasi menjadi fokus penting. Toilet portable dengan fasilitas khusus perempuan yang dilengkapi dengan area cuci tangan yang mudah diakses dan fasilitas untuk menjaga kebersihan selama menstruasi, dan pembangunan toilet umum yang aman dan ramah perempuan, untuk mengurangi risiko kekerasan dan pelecehan yang sering dihadapi perempuan untuk mengakses toilet di luar rumah (Bappenas, 2024).
VBeberapa program mengintegrasikan program pengelolaan air bersih berbasis gender telah dilakukan di sejumlah wilayah pulau kecil. Misal program pengelolaan air bersih berbasis gender di pulau Sumba Nusa Tenggara Timur. Program ini memprioritaskan akses air bersih bagi perempuan dan kelompok rentan di wilayah pedesaan, dimana perempuan dilibatkan dalam pembangunan sumur air bersih dan sistem distribusi air gravitas. Program ini mengurangi jarak tempuh perempuan dalam mengambil air, sekaligus meningkatkan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan komunitas terkait sumberdaya air. Program rainwater Harvesting di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, dimana wilayah ini memiliki curah hujan rendah. Program ini memperkenalkan teknologi penampungan air hujan yag ramah perempuan, yag dibangun di dekat-dekat rumah warga untuk meminimalkan beban fisik dan waktu yang diperlukan untuk mengakses air bersih. Selain itu, perempuan dilibatkan dalam desain dan pembangunan tangki air tersebut. Keberhasilan program ini mengurangi ketergatungan pada sumberdaya air yag jauh dan meingkatkan ketersediaa air bersih selama musim kemarau, sekaligus mengurangi beban perempuan da anak-anak dalam pengambilan air. Proyek konservasi air berbasis gender di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur yang melibatkan petani perempuan dalam pengelolaan sumberdaya air untuk keperluan irigasi pertanian. Sistem irigasi ramah gender yang hemat air diperkenalkan seperti sistem irigasi tetes, yang memungkinkan perempuan lebih mudah mengakses dan mengelola air untuk lahan pertanian mereka. Keberhasilan proyek ini adalah mengurangi konflik antar-komunitas terkait distribusi air, sekaligus memperkuat ketahanan pangan dan ekonomi keluarga perempuan (Ibda & Wijanarko, 2023).
Program Community-Ied Total Sanittation (CLTS) di Kepulauan Maluku, Inisiatif ini menggabungkan program sanitasi dan air bersih yag dipimpin oleh komunitas, dengan melibatkan perempuan dalam perencanaan dan pengelolaan. Melalui pedekatan partisipasi komuitas, perempuan dan anak perempuan diajarkan cara menjaga kebersihan air dan sanitasi yang baik serta terlibat dalam pemeliharaan fasilitas sanitasi dan air di sekolah-sekolah. Keberhasilan program ini meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya kebersihan air dan mengurangi yang harus ditanggung perempuan dalam menjaga keberhasilan rumah tangga dan lingkungan. Program Solar-powered Water Pump untuk komunitas pulau kecil di Maluku. Program ini memperkenalkan pompa air bertenaga surya yang dirancang untuk membantu komunitas pulau kecil mengakses air bersih dengan cara yang ramah lingkungan dan hemat energi. Perempuan dilatih dalam mengoperasikan dan merawat teknologi ini, sehingga mereka berpartisipasi dalam pemeliharaan sumberdaya air komunitas. Keberhasilan program ini yakni dapat mengurangi ketergantungan pada tenaga fisik sehingga meningkatkan ketahanan air komunitas sambil memberikan perempuan lebih banyak kontrol atas teknologi yang digunakan untuk mengelola air. Program koperasi air berbasis gender di pulau-pulau kecil Maluku. Program ini mendirikan koperasi air untuk mengelola sumberdaya air lokal dan mendistribusikan air bersih kepada anggotanya dnegan harga terjangkau. Pelatihan manajemen dan ketrampilan teknis diedukasi kepada perempuan untuk memperkuat kapasitas perempuan dalam mengelola air secara berkelanjutan. Keberhasilan program ini yaitu membangun ketahanan air di tingkat komunitas, meningkatkan pendapatan perempuan, dan mengurangi ketimpangan gender dalam akses terhadap sumberdaya air (Latuamury, 2022).
Program Women’s water committees di Pulau Vanuatu, Pasifik Selatan. Inisiatif ini melibatkan komite air yang dipimpin oleh perempuan untuk mengelola sumberdaya air bersih di desa-desa terpencil. Perempuan dilatih dalam meningkatkan ketrampilan teknik terkait pengelolaan pompa air, konservasi air, dan perbaikan jaringan pipa. Komite ini memastikan bahwa kebutuhan air perempuan dan anak-anak diperhitungkan dalam pengelolaan air dalam kehidupan sehari-hari. Keberhasilan program ini meningkatkan akses air bersih dan memastikan partisipasi aktif perempuan dalam pemeliharaan sumberdaya air sehingga memperkuat ketahanan sosial komunitas. Program Water for women project di kepulauan Solomon, Pasifik, yang melibatkan perempuan dalam pengelolaan sistem sanitasi dan penyediaan air bersih dengan fokus pada kesetaraan gender dalam pengelolaan air, dan memastikan perempuan memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumberdaya air. Program ini mengintegrasikan pendekatan inklusi sosial untuk melibatkan penyandang disabilitas dan kelompok rentan dalam kegiatan pelatihan (Ibda & Wijanarko, 2023; Sudhiastiningsih et al., 2024).
Air adalah hak asasi, bukan barang mewah. Setiap individu tanpa memandang gender, status sosial atau kemampuan fisik, memiliki hak yang sama untuk mengakses air bersih.
Memastikan akses ini adalah lagkah pertama menuju keadilan sosial yang lebih luas. Dalam tata Kelola sumberdaya air, perempuan tidka hanya penerima manfaat, namun juga agen perubahan (Latuamury, 2023). Melibatkan perempuan dalam setiap tahapan tata Kelola dapat memperkuat hasil yang adil dan memastikan bahwa solusi yang diambil sesuai dengan kebutuhan nyata komunitas. Ketahanan sosial dimulai dari kesetaraan. Untuk mengatasi krisis air di pulau-pulai kecil, diperlukan sinergi antara pemerintah, komunitas, sektor swasta dan lembaga masyarakat. Melalui kolaborasi yang inklusif dan partisispatif, kita bisa mencapai tata kelola air yang berkelanjutan. Konservasi air adalah tanggung jawab bersama. Tata kelola yang berkelanjutan harus mencakup keadilan sosial. Tanpa memastikan bahwa semua kelompok termasuk kelompok yang paling rentan, memperoleh akses yang sama atas air, tidak ada keberlanjutan yang benar-benar dapat tercapai.