Salam Pancasila

  • Bagikan

Berjumpa dengan para tokoh hebat tentu menjadi sebuah kebanggaan. Apalagi mereka adalah para intelektual dan pemikir dari sosok lintas agama dan kelompok.

Mereka yang dimaksud antara lain pakar filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara yang juga dikenal sebagai pemikir Islam Moderat Indonesian Progressive Islamic Prof. Budhy Munawar Rachman.

Adapula Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) 1988-2002 Chandra Setiawan, akademisi yang juga anggota DPD Maluku Prof Dr John Pieris, akademisi IAIN Ambon DR.Abidin Wakano, M.Ag, dan Dr.Hasbollah Toisuta, M.Ag.

Mereka ini adalah bagian dari pemateri dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh BPIP RI bertema: Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara, Etika dan Agama di Kampus Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, Jumat, (20/9/24).

Selain nama-nama tersebut ada pula Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan, Direktur Eksekutif Ma’arif Institute Andar Nubowo, Sosiolog UI Prof Dr Thamrin Amal Tomagola, akademisi IAIN Ambon Dr.Abdul Manan Tubaka, dll.

Selain mereka ada juga kawan kuliah saya yang 30 tahun baru berjumpa lagi di Kota Ambon yakni Direktur Pengkajian Kebijakan Pancasila dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI Prof DR.Moh.Sabri AR, M.Ag.

Menurut Prof Sabri, selain Ambon total ada tujuh kota yang menjadi “proyek” percontohan dari FGD BPIP RI itu yakni Jakarta, Malang, Makassar, Pontianak, Kupang, dan Medan.

Masing-masing kota temanya berbeda. Kalau Ambon memilih topik: Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara, Etika dan Agama, maka di Pontianak Kalimantan temanya: Kedaulatan Sumberdaya Alam.

“Di Kalimantan kan daerah tambang jadi kami harus perkuat bagaimana pengelolaan tambang yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila,” ujar pria berdarah Selayar kelahiran Makassar 14 Juli 1967, itu.

Ada yang beda dari perjumpaan dengan kawan saya Prof Sabri pagi menjelang siang di sebuah hotel di Kota Manise hari itu, Sabtu, (21/9/24).

Saya yang lama tidak bertemu seolah mendapat “kuliah” gratis tentang Pancasila yang begitu detail dan konprehensif dari seorang professor. Ia juga sempat mengajarkan saya untuk memperagakan salam Pancasila saat sesi foto bersama.

Akademisi IAIN Alauddin Makassar yang dulu seorang aktivis kampus dan kini berkiprah di lembaga think-thank untuk pengkajian dan kebijakan ideologi negara itu adalah seorang ideolog sejati.

Rupanya sejak lama ia telah bergelut dalam dunia pemikiran khususnya untuk pengembangan intelektual di bidang ideologi kebangsaan.

Setahu saya ia adalah teman seangkatan yang pernah sama-sama kuliah di Kampus Manuruki, Makassar, tahun 1986, dan juga sebagai seorang pengajar di bidang hukum Islam pada Fakultas Syariah.

Rupanya dalam perjalanan karier di kampus ia justeru memilih studi pemikiran Islam pada Fakultas Ushuluddin khususnya filsafat pemikiran sebagai pilihan studi untuk S2 dan S3.

“Spesifikasi saya sesungguhnya di bidang syariah hukum Islam. Tapi, belakangan saya memilih dan tertarik pada kajian pemikiran filsafat. Jadi, saya ini orang syariah yang berubah haluan sebagai orang ushuluddin,” ujarnya.

Itulah yang membuat Prof Sabri belakangan saat memperdalam studinya hingga meraih guru besar lebih pada kajian filsafat dan logika mistik dalam Islam sebuah kajian dalam filsafat bahasa.

Di samping itu ia juga melakukan studi pendalaman tentang filsafat Pancasila hingga mengantarkan dirinya selain sebagai seorang akademisi, ia juga dipercaya menjadi seorang Direktur Pengkajian Kebijakan Pancasila BPIP RI.

Setelah melakukan pengkajian dari berbagai literatur tentang makna dan hakekat Pancasila ia temukan ada sebuah kesatuan pemikiran ideologi yang utuh dari para pendiri yang dimiliki oleh bangsa kita.

Pancasila memiliki nilai-nilai egaliter dan menghimpun kearifan lokal serta kemajemukan yang menjadi sebuah kekuatan hingga membuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bisa berdiri kokoh hingga saat ini.

Dari hasil telaah dan pemikirannya itu, ia menarik kesimpulan bahwa kemajemukan adalah sebuah kekayaan maha besar yang harus dijaga bukan sebaliknya dikambinghitamkan.

“Makna kata SARA itu adalah anugerah menandai sebuah kemajemukan yang harus disyukuri. Karena itu kata SARA itu jangan sampai dibalik dengan makna-makna pejoratif atau sesuatu yang negatif,” ujarnya.

Ia mengaku setelah mendalami dan melakukan studi ke beberapa perpustakaan tentang konsep pendirian dasar bangsa kita melalui Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 oleh para founding father seperti Presiden Soekarno dkk di sana ditemukan sebuah konsep pemikiran yang briliant untuk menyatukan bangsa Indonesia dari sekat-sekat kelompok.

Itulah yang membuat kita harus bersyukur kepada para pendiri bangsa ini sebab dengan kepiawaian dan kebersamaan mereka mampu menjadi kekuatan untuk menyatukan bangsa ini dimana Pancasila menjadi ideologi dan dasar negara kita di tengah kemajemukan agama, suku, dan bangsa.

Meski seangkatan di IAIN, Prof Sabri dan saya berbeda fakultas. Prof Sabri memilih Fakultas Syariah sedangkan saya di Fakultas Ushuluddin.

Walau terpisah fakultas saya dan Prof Sabri sesungguhnya disatukan oleh Surat Kabar Kampus Washilah. Inilah surat kabar kampus yang dibidani DR.Waspada Santing, DR.Arumahi, Prof Sabri, saya dkk. Koran kampus yang berdiri 30 tahun lalu itu hingga kini masih tetap eksis.

Meski berbeda fakultas, tapi di penghujung studi hingga meraih guru besar Prof Sabri justeru memilih studi Pemikiran Ilmu Filsafat Islam sebagai basis intelektual.

Sudah lama ia meraih professor tapi pidato pengukuhannya sebagai guru besar justeru baru dilakukan pada 24 April 2024 lalu.

Jadi Prof Sabri sesungguhnya orang Fakultas Syariah yang mendalami studi hukum Islam, tapi dalam perjalanan waktu ia justeru lebih mendalami studi pemikiran filsafat yang dikembangkan oleh orang-orang ushuluddin.

Jadi, ia lebih ushuluddin dari orang-orang ushuluddin karena bisa meraih guru besar justeru terkait dengan pemikiran filsafat Islam sebagaimana yang dikembangkan pada Fakultas Ushuluddin.

Pada pidato guru besar di IAIN Alauddin hari itu ia menyampaikan sebuah orasi ilmiah dengan topik: Ketuhanan yang Berkebudayaan dalam Timbangan Philosophia Perennis: Gagasan Bung Karno untuk Indonesia yang Inklusif, Moderat, dan Toleran.

Studi pendalaman pemikiran filsafat hingga meraih S2 dan S3 ternyata membuat dirinya terus melakukan pengkajian lebih mendalam tentang beragam filsafat termasuk menyangkut kajian filsafat Pancasila.

Setelah mengikuti diskusi panjang dengan kawan saya siang itu, ternyata ia bukan saja seorang aktivis kampus yang dulu pernah membesarkannya di tempat almamaternya itu tapi ia kini justeru adalah seorang ideolog yang cukup luas pemahaman tentang Pancasila.

Sebagai dasar negara, ideologi negara, dan falsafah hidup bangsa, Pancasila mengandaikan relasi negara dan agama tidak diletakkan secara diametral, oposisional, dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya haruslah dipandang sebagai suatu entitas yang berbeda namun dapat disinergikan sebagai dualitas yang saling mengisi, saling mengokohkan, dan tak dapat dipisahkan satu sama lain.

Negara dan agama menjadi wujud yang saling menghormati dan saling mengharmoni sehingga negara Indonesia bukan negara yang terpisah dari agama, tetapi juga tidak menyatu dengan agama.

“Di satu sisi, negara secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara, dan mengembangkan agama, khususnya melalui Kementerian Agama. Di sisi lain, negara tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu agama,” ujarnya.

Bagi kita, peristiwa historis 1 Juni 1945 mungkin tidak sebatas momen kelahiran, tetapi lebih merupakan monumen ide paling ramah bagi pendiri negara yang merengkuh cita-cita luhur Pancasila demi terwujudnya kehidupan rakyat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita-cita luhur Pancasila ini sepenuhnya terhunjam kukuh dalam Pembukaan UUD 1945 yang abadi hingga kini.

Pancasila sebagai mahakarya dari “penggalian” Soekarno untuk memperoleh dukungan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan pendiri negara pada persidangan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang bersumber dari napas religiusitas, denyut-nadi nilai, pesona-haru budaya, adat, kearifan, dan keadaban yang tumbuh subur pada ladang-ladang tradisi dan kebudayaan.

Usulan Soekarno tentang Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup atau pandangan dunia bangsa tidak hanya menjadi solusi pelbagai perbedaan secara prinsip, tetapi pada urutannya diterima semua pihak dan menjadi “jalan tengah” yang solutif dan berhasil mempersatukan seluruh elemen bangsa.

Di tengah memudarnya pemahaman kita soal ideologi kebangsaan berikut benturan dan stigma negatif yang kerab menghadap-hadapkan Pancasila sebagai “alat” untuk “memukul” lawan-lawan politik, gagasan Prof Sabri tentang makna dan hakekat Pancasila sebagai ideologi yang telah dicetuskan para pendiri bangsa yang syarat nilai-nilai kemanusiaan di tengah kemajemukan itu haruslah tetap dijaga dan dipelihara, bukan sebaliknya disalahgunakan oleh kepentingan politik baik kelompok atau penguasa/rezim. Salam Pancasila.(AHMAD IBRAHIM)

  • Bagikan