Oleh: Saidin Ernas (Pengajar di Program Studi Pemikiran Politik Islam IAIN Ambon)
Pemilihan Gubernur Maluku semakin dekat. Tiga Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Periode 2024-2029 telah mendaftarkan diri secara resmi ke KPU. Tanggal 22 September nanti, KPU akan menetapkan pasangan Jefry A Rahawarin-Mukti Keliobas, Murad Ismail-Michael Wattimena, dan Hendrick Lewerissa-Abdullah Vanat sebagai Pasangan Calon. Mereka akan memperebutkan 1.341.012 suara pemilih di 11 Kabupaten/Kota di Maluku. Fakta yang menarik adalah dari ketiga pasangan calon tersebut, semuanya memajang tokoh-tokoh dari Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) sebagai pasangan Wakil Gubernur, atau tokoh sentral dibalik pasangan Gubernur tersebut.
Jefry A. Rahawarin menggandeng Bupati SBT saat ini (2015-2025) Mukti Keliobas, sebagai calon wakil gubernurnya. Adapun Hendrik Lewerisa menggandeng tokoh SBT Abdullah Vanath, yang merupakan mantan Bupati SBT dua periode (2005-2015) sebagai wakil gubernur. Jangan lupakan juga Murad Ismail, meskipun Gurbernur incumbant itu menggandeng Michael Wattimena (tokoh asal Kota Ambon) sebagai Wakil Gubernur, tetapi Ia memiliki kartu As bernama Sadelie Ie, putra Pulau Geser Seram Timur yang Sekda Maluku dan Pejabat Gubernur Maluku saat ini.
Ada Apa dengan SBT?
Beberapa pendapat menyebut munculnya tokoh-tokoh SBT di pentas Pemilihan Gubernur Maluku 2024, menunjukkan posisi elektoral SBT yang semakin seksi dan diperhitungkan. SBT yang dahulu merupakan daerah pinggiran dan tidak begitu dikenal, tiba-tiba menjadi titik pusat pertarungan dalam pemilihan gubernur Maluku. Padahal pemilih SBT hanyalah sekitar 107.262 pemilih, bandingkan dengan Maluku Tengah yg memiliki 308.847 pemilih, atau kota Ambon yang memiliki 252.367 pemilih.
Dengan kata lain, sejatinya SBT bukanlah lumbung suara yang utama dalam perebutan suara Pilgub Maluku 2024. Lumbung suara yang sebenarnya justru berada di Kabupaten Maluku Tengah, Kota Ambon dan Seram Bagian Barat. Jika pertimbangannya adalah keterwakilan electoral maka Tokoh dari Maluku Tengah atau Kota Ambon yang lebih pantas menjadi kandidat dalam Pilgub.
Jadi ada apa dengan SBT? adalah pertanyaan menarik dan menggelitik dalam kontestasi pilgub 2024. Pilihan terhadap tokoh-tokoh dari Kabupaten SBT bukan tanpa alasan yang jelas. Para calon gubernur pasti akan menimbang berbagai factor yang mungkin selama ini belum dibuka kepada public. Pasti terdapat aspek-aspek determinan yang telah diperhitungkan secara serius. Meskipun kontestasi politik menghadirkan variavbel yang kompleks, namun dalam fenomena ini, kita bisa membuat kategorisasi sederhana, yakni; factor objective dan factor subjective. Kedua factor ini bisa jadi merupakan dasar pertimbangan para Calon Gubernur dalam memilih psangannya.
Representasi Politik
Faktor objective yang dimaksud dalam tulisan ini adalah hal-hal yang secara rasional dapat dilihat dan diukur. Misalnya tentang data-data hasil survey dari berbagai lembaga survey yang beredar selama ini. Meskipun sebagian data tersebut tidak dipublikasikan secara resmi, namun dari sejumlah sumber terpercaya, dapat diketahui bahwa tokoh-tokoh asal SBT seperti Mukti dan Vanath, memang memiliki elaktabilitas yang sangat diunggulkan dalam Pilgub Maluku. Selain itu, keduanya juga merupakan tokoh sentral, yang pernah memimpin Kabupaten Seram Bagian Timur selama dua periode; Vanath dua periode dan kemudian dilanjutkan Mukti dua periode.
Adapun factor kedua yang bisa disebut sebagai factor subjective adalah eksistensi tokoh-tokoh SBT di atas, sebagai representasi dari suara pemilih tertentu di Maluku. Khususnya pemilih Pulau Seram, yang jika dikumpulkan akan menjadi pemilih signifikan di Maluku atau sekitar 565 ribu suara. Secara kebetulan dalam kontestasi Pilgub saat ini, tidak ada tokoh Seram yang menjadi Calon Gubernur, maka kebutuhan untuk menunjukkan Wakil Gubernur yang merupakan repsentasi pemilih Seram menjadi tidak terhindarkan.
Tokoh seperti Bupati Mukti Keliobas bukan saja merupakan bupati aktif di SBT saat ini, tetapi beliau juga merupakan Raja Amar Sekaru yang memiliki pengaruh kultural yang sangat luas di Seram dan Maluku Tenggara. Secara tradisional orang Seram Timur dan Orang Kei di Maluku Tenggara percaya bahawa mereka memiliki hubungan persaudaraan tradisional yang diikat dalam ikatan Pela. Pengaruh kultural tersebut dapat dikapitalisasi sebagai kekuatan electoral dalam pilkada nanti.
Adapun Abdullah Vanath, adalah tokoh SBT dengan pengalaman politik memikat. Ia sejak lama juga dianggap sebagai representasi orang-orang Seram. Pada pilgub tahun 2015, Vanath yang saat itu mencalon diri sebagai Calon Gubernur Maluku, nyaris tampil sebagai pemenang pilgub. Ia membawa take line yang sangat terkenal “Alifuru vs Alibaba.” Bisik-bisik yang beredar di kalangan para aktifis politik, menyebut lawannya Said Assegaf yang juga merupakan Wagub Maluku ketika itu telah mencurangi Vanath di sejumlah lokasi strategis. Hanya saja, pada Pilgub 2024 ini, sinar Vanath sebagai representasi pemilih seram tampaknya sedikit meredup digantikan Mukti yang semakin populer.
Pergeseran Politik
Fenomena Pilgub Maluku 2024, yang mempromosikan tokoh-tokoh Seram Bagian Timur, menunjukkan pergeseran poros-poros kekuasaan politik di Maluku. Daerah-daerah yang selama ini tidak menonjol secara politik, justru semakin diperhitungkan. Orang Seram Bagian Timur yang secara electoral bukan unggulan justru mampu menunjukkan posisi politik yang semakin penting di Maluku. Mereka bertransformasi dari pemain cadangan, menjadi pemain utama yang semakin memikat hati pemilih. Perlahan tapi pasti, mereka menggeser peran tokoh-tokoh besar dari Pulau Lease-Maluku Tengah yang selama ini menjadi episentrum representasi elit politik, terutama dari kalangan Muslim Maluku.
Kemunculan tokoh-tokoh diatas sebagai representasi kelompok pinggiran di Maluku, diharapkan mampu memunculkan isu-isu subtantif alternatif dalam pilgub saat ini. Hal ini perlu dikuatkan dengan debat tentang isu kesejahteraan rakyat yang saat ini masih memerlukan perhatian, dan secara factual masih belum begitu terasa di daerah-daerah pinggiran Maluku. Atau tentang proses pembangunan agar tidak selalu Ambon sentris, sehingga semakin merata dan meminimalisir kesenjangan yang terjadi. Di sisi lain, munculnya tokoh-tokoh alternatif berdasarkan isu-isu kewilayahan juga bisa menggeser isu identitas keagamaan yang selama ini cukup menghawatirkan dalam lanskap politik Maluku. Semoga