Oleh : M. Nur Latuconsina (Wasekbid Hukum, Keamanan dan pertahanan PB HMI 2024-2026)
Pilkada serentak yang dilaksanakan di seluruh Indonesia merupakan tonggak penting dalam demokrasi di negara kita. Sebagai sarana untuk memilih pemimpin daerah, baik itu gubernur, bupati, maupun wali kota, Pilkada serentak menjadi ujung tombak desentralisasi dan otonomi daerah. Namun, dalam proses ini, tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat kerawanan konflik selalu menjadi isu yang perlu diperhatikan secara serius.
Satu hal yang sering muncul dalam Pilkada serentak adalah tingginya tensi politik yang berpotensi memicu konflik sosial. Masyarakat, khususnya para pendukung calon, sering kali terpolarisasi oleh berbagai isu yang muncul selama masa kampanye. Isu SARA, misalnya, sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memecah belah masyarakat demi keuntungan politik.
Kerawanan konflik pada Pilkada juga sering kali disebabkan oleh kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemilihan. Ketika masyarakat merasa bahwa penyelenggaraan Pilkada tidak adil atau ada kecurangan, potensi terjadinya kerusuhan semakin meningkat. Inilah yang menjadi tantangan besar bagi penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, untuk menjaga integritas dan transparansi proses pemilihan.
Selain itu, keberpihakan aparat penegak hukum dan keamanan juga menjadi faktor yang memperparah situasi. Masyarakat sering kali merasa bahwa aparat tidak bersikap netral, sehingga hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan protes yang berujung pada konflik. Netralitas aparat keamanan dalam mengawal proses Pilkada harus dijaga agar situasi tetap kondusif.
Kemudian, ada pula faktor ketegangan antar pendukung calon yang sering berujung pada kekerasan fisik. Dalam banyak kasus, gesekan antar pendukung ini terjadi akibat provokasi yang dilakukan oleh elite politik maupun tim sukses masing-masing calon. Seiring dengan meningkatnya tensi, situasi ini berpotensi berubah menjadi konflik terbuka yang sulit dikendalikan.
Media sosial juga tidak bisa dilepaskan dari faktor pemicu konflik dalam Pilkada. Beredarnya hoaks dan ujaran kebencian di berbagai platform media sosial sering kali memperkeruh suasana. Berbagai isu sensitif, baik yang berkaitan dengan identitas calon maupun kebijakan yang diusung, sering dimanipulasi dan disebarkan dengan tujuan membangun sentimen negatif terhadap salah satu calon.
Selain media sosial, media massa juga berperan dalam menciptakan polarisasi politik. Beberapa media yang berpihak kepada calon tertentu sering kali menyiarkan berita yang tidak berimbang, sehingga memperkuat perpecahan di kalangan masyarakat. Dalam konteks ini, profesionalisme media sangat dibutuhkan untuk menjaga objektivitas pemberitaan.
Penting untuk disadari bahwa konflik dalam Pilkada tidak hanya berdampak pada stabilitas politik, tetapi juga merugikan masyarakat secara sosial dan ekonomi. Ketika terjadi konflik, aktivitas ekonomi masyarakat sering kali terganggu, terutama di daerah yang menjadi pusat persaingan politik. Stabilitas sosial yang terganggu pun mempengaruhi kualitas hidup warga setempat.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya konflik selama Pilkada. Melalui koordinasi dengan aparat keamanan dan penyelenggara pemilu, pemerintah harus memastikan bahwa seluruh proses Pilkada berjalan lancar dan aman. Penerapan regulasi yang ketat terkait kampanye hitam dan ujaran kebencian juga harus ditingkatkan.
Selain peran pemerintah, masyarakat juga harus lebih bijaksana dalam menyikapi situasi politik selama Pilkada. Pendidikan politik yang baik dan kritis sangat diperlukan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang memecah belah. Partisipasi masyarakat dalam menjaga kedamaian dan toleransi antar pendukung sangat penting untuk menjaga kerukunan sosial.
Pentingnya pendidikan politik ini sejalan dengan upaya peningkatan literasi media di kalangan masyarakat. Dengan literasi media yang baik, masyarakat akan lebih mampu membedakan antara berita yang valid dan informasi palsu yang sengaja disebarkan untuk memecah belah. Hal ini dapat membantu mengurangi potensi konflik yang dipicu oleh hoaks.
Selain itu, tokoh-tokoh masyarakat dan agama juga memegang peran kunci dalam meredam konflik. Sebagai figur yang dihormati oleh masyarakat, mereka dapat berperan sebagai penengah dalam situasi yang memanas, serta menyebarkan pesan-pesan perdamaian dan persatuan. Dengan keterlibatan tokoh-tokoh ini, ketegangan yang muncul selama Pilkada dapat diredam.
Dalam konteks penegakan hukum, perlu ada tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan selama Pilkada. Aparat hukum harus cepat dan tepat dalam menangani setiap bentuk kekerasan atau pelanggaran hukum agar tidak menyebar menjadi konflik yang lebih luas. Dengan penegakan hukum yang tegas, masyarakat akan merasa lebih aman dan percaya pada proses demokrasi.
Tentu saja, peran penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu tidak bisa diabaikan. Transparansi dan profesionalisme dalam menjalankan tugas sangat diperlukan untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan pemilihan serta penanganan terhadap laporan kecurangan harus dilakukan secara adil dan merata.
Kemajuan teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk mengurangi potensi konflik dalam Pilkada. Penggunaan sistem pemilihan elektronik yang lebih transparan dan dapat diaudit oleh publik dapat membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap hasil Pilkada. Teknologi juga dapat digunakan untuk memantau aktivitas kampanye di media sosial dan menangani penyebaran hoaks.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada tantangan besar dalam mengimplementasikan teknologi ini, terutama di daerah-daerah yang infrastruktur teknologinya masih minim. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa seluruh wilayah, termasuk daerah terpencil, memiliki akses yang memadai untuk melaksanakan Pilkada secara adil dan transparan.
Penting pula untuk membangun dialog antar berbagai kelompok politik dan masyarakat sebagai langkah preventif. Dengan adanya ruang dialog yang terbuka, berbagai perbedaan pendapat dapat disalurkan secara damai tanpa harus berujung pada konflik. Inisiatif ini juga bisa menjadi sarana bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menciptakan suasana politik yang kondusif.
Kita juga harus menyadari bahwa konflik dalam Pilkada sering kali hanya menguntungkan segelintir elit politik, sementara masyarakat umum yang justru menderita akibat kekerasan yang terjadi. Oleh karena itu, upaya untuk meredam potensi konflik bukan hanya menjadi tugas pemerintah atau aparat keamanan, tetapi juga tanggung jawab seluruh elemen masyarakat.
Sebagai penutup, Pilkada serentak adalah momentum penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, potensi kerawanan konflik dapat merusak proses demokrasi itu sendiri. Dengan kerjasama yang baik antara pemerintah, masyarakat, aparat keamanan, dan media, potensi konflik ini dapat diminimalisir dan Pilkada dapat berlangsung damai.
Dalam demokrasi, perbedaan adalah hal yang wajar, tetapi konflik bukanlah solusi. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan stabilitas, sehingga Pilkada benar-benar menjadi ajang untuk memilih pemimpin yang terbaik, bukan sebagai pemicu perpecahan di masyarakat.