A.S LAKSANA. penulis, lahir di semarang. Jebolan UGM. Singgah bebera saat di jkt unt menikah. Dan sementara tinggal di tulang bawang barat, Bandar lampung indonesia.
KEPEMIMPINANNYA sebagai Ketua Umum PBNU baru dimulai, baru setengah jalan, dan tonggak-tonggaknya baru ditancapkan, namun bagi para pendukungnya, terutama yang berada di dalam kepengurusan, K.H. Yahya Cholil Staquf adalah suatu keniscayaan, sosok yang disiapkan oleh sejarah untuk naik ke panggung kepemimpinan, ketika NU memasuki usia satu abad.
Ada suara-suara kritis yang terdengar sayup-sayup dari luar, yang mengecam beberapa langkahnya, tetapi di dalam tubuh organisasi, ia pembawa angin segar. Ia menghidupkan optimisme bahwa NU tetap relevan, tetap penting di tengah percaturan global, dan mampu berefleksi untuk kemudian merumuskan ulang makna kehadirannya, baik bagi kaum nahdliyin, yang jumlahnya begitu besar di lapisan akar rumput, maupun bagi kemanusiaan secara menyeluruh.
Pada tahun pertama kepemimpinannya, ia mengorkestrasi suatu perayaan besar, Satu Abad NU, dan menggunakannya untuk membangun narasi besar tentang Nahdlatul Ulama dan Keindonesiaan yang mencakup di dalamnya tiga tema utama: spiritual, organisasi, dan kultural. Ia memerlukan suatu landasan yang kokoh bagi visinya; ia memerlukan selebrasi besar-besaran untuk membangkitkan keyakinan di kalangan para jamaah bahwa NU bisa; ia perlu menetapkan standar bagi kerja berkelanjutan yang harus dilakukan oleh NU.
Baginya, NU adalah jalan keagamaan untuk mewujudkan kemuliaan peradaban di masa depan, dan ia ingin melihat bahwa itu benar. Dalam posisinya, itu berarti ia sendiri yang harus mewujudkan apa yang ia ingin lihat. Sesuatu yang utopis? Mungkin. Namun ia merasa bahwa ia harus berikhtiar ke sana.
Dan, aturan permainannya cukup sederhana. Jika ia berbicara tentang agama, ruang untuk pemahaman dan toleransi harus direntangkan seluas mungkin. Agama harus menjadi alat untuk memperkuat ikatan sosial dan menciptakan harmoni di tengah masyarakat yang beragam. Karena itulah, dalam berbagai kesempatan, yang telah ia mulai sebelum kepemimpinannya di PBNU, ia membawa dirinya aktif dalam dialog antaragama dan antarbudaya, duduk bersama dengan tokoh-tokoh berbagai agama dan aktor-aktor global untuk membangun pemahaman bersama. Ia percaya bahwa dengan memperluas pemahaman dan toleransi dan kesediaan masing-masing agama untuk mengakui sumbangan mereka dalam menciptakan masalah, konflik dan kesalahpahaman dapat diminimalkan.
Sebaliknya, jika ia menghadapi kritik, ia mengubah pendekatannya: ruangnya harus menjadi sempit dan terfokus. Ia akan melakukan pembicaraan terbatas, mengadakan pertemuan santai dengan teman-teman dan mendengarkan pendapat mereka. Ia tidak pernah menganggap kritik sebagai ancaman. Meskipun ia seorang perenung, ia tidak harus berpikir bahwa semua suara harus ditanggapi satu demi satu. Ia cenderung menghindari debat publik yang bisa tidak berkesudahan dan tidak produktif. Ia punya agenda sendiri yang memerlukan konsentrasi penuh: ia harus melakukan pembenahan organisasi untuk menjadikan NU koheren dan mampu mendukung visi besar para pendirinya. (***)