Cak Nur Muda dari Maluku

  • Bagikan

Ini untuk ketiga kali Kampus Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon melahirkan intelektual muda untuk Program Doktoral Studi Teologi untuk Konsentrasi Agama dan Kebangsaan sejak program itu dibuka tahun 2019.

Doktor yang ketiga ini termasuk fenomenal sampai ia harus dijuluki oleh seorang guru besar yang tidak lain Direktur Program Doktoral UKIM Prof.Dr.John Ch.Ruhulessin, S.Th., M.Si, kepada sang promovendus itu sebagai Cak Nur muda.

Sosok doktor yang baru diuji disertasinya di hadapan dewan penguji sebagaimana yang dimaksud Prof John Ruhulessin sebagai Cak Nur muda itu tidak lain bernama Dr. Muhammad Asrul Pattimahu, MA, dengan predikat cumlaude, Kamis, (18/7/24).

Ia doktor ketiga yang ditelorkan UKIM Ambon setelah sebelumnya diraih oleh rekan sejawat dari Kampus IAIN Ambon yakni Dr. Jusuf Laisouw, disusul Dr. George Likumahua dari UKIM Ambon.

Lantaran ungkapan Prof John Ruhulessin yang menyandangkan nama Dr. Asrul Pattimahu sebagai Cak Nur muda itu seketika viral.

Sosok putera Desa Kabauw, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, yang lahir 20 Oktober 1983 ini mendapat sanjungan dari banyak pihak setelah mempertahankan disertasi setebal 280 halaman berjudul: Spiritualitas Islam Sebagai Sumber Nilai Kehidupan Berbangsa, Telaah Pemikiran Islam Nurcholish Madjid dalam Konteks Ke-Indonesiaan dan Ke-Modernan.

Dr.Asrul Pattimahu merasa terima kasih atas sambutan dari banyak pihak. Terutama kepada civitas akademika untuk Program Doktoral Studi Teologi untuk Konsentrasi Agama dan Kebangsaan UKIM dan juga Prof John Ruhulessin atas “gelaran” baru yang diberikan sebagai sosok Cak Nur muda dari Maluku itu.

“Saya juga mengucapkan terima kasih untuk rekan-rekan pers yang telah ikut mempublis sehingga ujian disertasi saya menjadi viral,” ujar Dr. Asrul Pattimahu kepada saya, Sabtu, (20/7/24).

Tema disertasi Dr. Asrul Pattimahu ini merupakan pandangan Cak Nur terkait banyak hal dari soal agama, kebangsaan, keadilan, kebebasan, pluralisme, dan demokrasi.

Cak Nur yang dimaksud dalam disertasinya itu tidak lain adalah Prof Dr Nurcholish Madjid — sosok intelektual dan pemikir Islam kontemporer Indonesia yang pada zamannya sejak era 1970-an telah melahirkan banyak pemikiran dan gagasannya itu.

Dari hasil kajian yang dilakukan Dr.Asrul Pattimahu ini, ia menemukan tidak ada teori baru yang digagas oleh Cak Nur kecuali hanyalah konsep atau gagasan, pemahaman, dan penghayatan oleh seorang Cak Nur dalam konteks keislaman, kebangsaan, dan kemodernan.

Kalau dalam studi ilmiah selalu kita kenal dengan istilah atau teori merupakan sebuah premis dari sebuah tesis yang bersifat mayor ke minor lalu kesimpulan maka dalam konteks Cak Nur itu tidak dijumpai.

“Yang saya temukan semua gagasan itu hanyalah bersifat pemahaman dan penghayatan Cak Nur terhadap sebuah konteks keislaman, kebangsaan, pluralisme, kebebasan, keadilan, dan demokrasi,” ujar Dr. Asrul Pattimahu.

Cak Nur tidak melahirkan premis dari sebuah teori. Yakni suatu jalan pemikiran untuk mencapai puncak kesimpulan melalui argumen. Premis di sini merupakan bagian utama dalam logika berpikir dari yang bersifat umum ke khusus hingga tiba pada kesimpulan.

“Jadi berdasarkan studi ini hal itu tidak saya jumpai kecuali semua gagasan yang disampaikan itu hanyalah pemahaman dan penghayatan dari seorang Cak Nur terhadap Islam,” ujarnya.

Ia melihat jika pada pemikir Islam barat seperti Dirk Bardton —sebagai seorang modernis yang berpegang pada tradisi tapi menerima kemodernan— namun tidak dengan Cak Nur.

Dari studi ini ia temukan bahwa Nurcholish Madjid adalah seorang konservatif tapi dia adalah sosok yang terbuka. Basis argumentasi Cak Nur itu bersumber dari konsep dan tradisi klasik Islam. Tapi dia juga adalah seorang yang bersifat permisif dan mau menerima perubahan.

Dalam konteks Islam sebagai agama universalitas, Cak Nur melihat Islam sebagai agama tidaklah anti perubahan walau ditemukan tidak menghilangkan sifatnya yang partikular.

Dalam konteks Piagam Madinah, misalnya. Ia menilai nilai-nilai abstrak Islam yang bersifat kosmopolit tetap ada tidak berubah, tapi kontekstualisasi ajarannya selalu mengikuti perubahan.

Di Arab, misalnya, mereka di sana tidak mengenal kubah dan beduk di masjid. Tapi, tradisi semacam itu bagi kita di Indonesia sudah lebih dulu ada tanpa harus dipertentangkan.

Pun dalam Islam oleh wanita diperintahkan untuk menutup aurat. Tapi di sana tidak menyebutkan bagaimana cara menutupnya. “Dulu kita mengenal sal dan selendang sebagai bagian dari seni berpakaian untuk wanita. Dalam sejarah sebelumnya itu tidak ada,” ujarnya.

Seni menutup aurat menggunakan jilbab juga tidak dijumpai. Tapi dalam perkembangannya sejarah mencatat menutup aurat menggunakan jilbab sudah berkembang dengan begitu massif. Bahkan hari ini kita jumpai penggunaan jilbab sudah menjadi ajang lomba dalam dunia fashion.

Dalam soal keadilan pun demikian. Di sana dijumpai bahwa Islam sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan. Keadilan itu merupakan hukum cosmos yang berlaku bagi alam semesta.

“Jadi, keadilan di sini tidak hanya untuk orang Islam saja. Tapi siapa pun agamanya keadilan berlaku untuk semua. Bahkan misi utama yang dibawakan oleh para nabi adalah keadilan,” ujarnya.

Keadilan itu merupakan hukum cosmos. Adil itu diukur dari tingkat ketakwaan seseorang. Berlaku adil di sini, menurut Dr Asrul Pattimahu, tidak saja untuk orang Islam tapi juga berlaku untuk semua. “Jadi prinsip dari keadilan itu harus berlaku sama. Kalau tidak adil akan berujung chaos,” ungkap suami dari Laila Sahubawa, S.Pd, M.Pd, itu.

Pun dalam hal kebebasan berpikir, berpendapat, dan kebebasan dalam beragama. Pelajaran penting dari Piagam Madinah yang dicetuskan Nabi Muhammad dalam menjunjung tinggi prinsip-prinsip egalitarisme antaragama: Islam, Yahudi, Nasrani, dan penganut paganisme menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang egaliter.

“Jadi, kalau membaca jalan pikiran Cak Nur tentang prinsip kebebasan beragama di sini menunjukkan bahwa berbeda dalam agama itu sudah ada sejak dulu. Mengapa sekarang kita harus ribut,” ujarnya.

Tentang kebebasan berpendapat, Dr.Asrul Pattimahu mengatakan, kebebasan berpendapat di sini menunjukkan sebuah manifestasi bahwa pada dasarnya manusia itu lemah.

Karena itu kebebasan berpendapat dalam sebuah masyarakat majemuk dan orientasi politiknya beragam, yang menunjung tinggi nilai-nilai pluralisme harus senantiasa mengedepankan kematangan dan kecerdasan masyarakat serta diperlukan sebuah sikap yang baik, arif dan bijaksana.

Menyangkut demokrasi, persoalan literasi elite politik oleh Dr. Asrul Pattimahu dinilai lemah akibat didominasi dan dipengaruhi oleh sistem politik oligarki dan patron client. “Itulah membuat model demokrasi kita menunjukkan sebuah ciri demokrasi yang liberal,” ujarnya.

Pasang surut sistem politik Tanah Air sejak era Soekarno pada 1955 saat mana kita menghadapi sistem multi partai. Disusul kemudian pada era Soeharto yang mengedepankan sistem demokrasi terbuka tapi diikuti oleh tekanan. Setelah lebih 30 tahun berkuasa dan berujung reformasi 1998 membuat perjalanan demokrasi kita menjadi pincang.

Setelah era reformasi kita berharap sistem demokrasi kita berjalan baik. Sayang kini kita kembali diperhadapkan lagi oleh fenomena baru yakni politik identitas diikuti oleh politik dinasti dan oligarki yang semakin tajam. “Itulah membuat sistem demokrasi kita tidak berjalan semestinya,” ujarnya.

*

Dr.Muhammad Asrul Pattimahu sejak duduk di bangku Kelas 2 SMA Negeri 1 Salahutu, Maluku Tengah, tahun 2000, ternyata sudah bersentuhan dengan karya buku karangan Cak Nur. Meski saat itu ia belum terlalu paham siapa sosok sesungguhnya melalui karya bukunya berjudul: Islam, Doktrin dan Peradaban, itu.

“Yang pasti sejak itu saya sudah membaca karya Cak Nur. Bukunya tebal. Saat itu saya baca saja. Tidak paham. Tapi pernah baca,” ujarnya.

Buku itu merupakan milik sang kakaknya bernama Idris Wasahua mahasiswa IAIN Ambon kini telah memilih sebagai pengacara di Jakarta itu. Kebetulan karena konflik buku-bukunya di bawa pulang ke rumah. Sejak itu ia mulai tertarik pada buku Cak Nur.

Dua tahun kemudian setamat dari SMA ia mendaftar di IAIN Ambon. “Saat OSPEK itulah kita diberi pilihan untuk memilih siapa tokoh idola untuk ditempelkan di kaos di punggung. Saat itu saya cantumkan nama idola saya: Nurcholish Madjid,” ujarnya.

Seketika para senior kaget atas pilihan sang idolanya. “Mereka tidak menyangka idola saya Nurcholish Madjid. Padahal saya waktu itu juga tidak terlalu paham siapa sesungguhnya sosok yang saya idolakannya itu,” ujarnya.

Tapi dari situlah ia terus belajar sembari kembali ke rumah membaca lagi buku Cak Nur itu. “Saya baca ulang dan dalami terus. Sejak itu saya mengidolakan beliau dan mengumpulkan terus karya-karya beliau sampai bisa menyelesaikan doktor ini,” ujar putera kesayangan H.Abd.Chair Pattimahu (alm) dan Hj.Hawa Karepesina, itu.

Dr. Asrul Pattimahu beristrikan Laila Sahubawa, S.Pd, M.Pd, yang dikaruniai tiga orang anak yakni Huzaimah Mikayla Hawa Pattimahu, Nazaila Zubaidah Pattimahu, dan Ahkam Al Hakim Pattimahu.

Dr. Asrul Pattimahu sehari-hari adalah Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Ambon untuk studi Islam, dan Ketua Prodi Pemikiran Politik Islam.

Ia menyelesaikan S-1 Akhwalul Syakhsiyah di IAIN Ambon pada 2005 dan S-2 Studi Islam pada UMI Makassar, 2014. “Tesis S-2 saya berjudul: Peran Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI Terhadap Lembaga Kader HMI di Ambon,” ujar Ketua KAHMI Kota Ambon, itu.

Adapun S-3 ditempuh pada program studi: Agama dan Kebangsaan UKIM Ambon 2024 dengan disertasi berjudul: Spiritualitas Islam Sebagai Sumber Nilai Kehidupan Berbangsa, Telaah Pemikiran Islam Nurcholish Madjid dalam Konteks Ke-Indonesiaan dan Ke-Modernan.

Dr.Asrul Pattimahu merupakan orang ketiga doktor jebolan UKIM Ambon yang menyelesaikan studi di kampus ini. Meski atas biaya sendiri, ia mengaku bersyukur bisa menyelesaikan studi doktoralnya di Kampus UKIM Ambon adalah sebuah kebanggaan.

Ia tentu berterima kasih kepada segenap akademika UKIM Ambon khususnya untuk para tim promotor masing-masing Prof. Dr. La Jamaah, Prof. Dr. Tonny D. Pariela selaku Ko-Promotor I, dan Dr. Hasbollah Toisutta selaku Ko-Promotor II.

Juga Rektor UKIM Dr Henky Hetharia yang hari itu bertindak selaku pimpinan sidang promosi doktor serta tiga penguji masing-masing Prof. Dr. Idrus Sere, Prof. A.M. L Batlajery, Ph.D, dan Dr Abidin Wakano.

Tak lupa ia juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur Program Doktoral UKIM Prof.Dr.John Ch.Ruhulessin, S.Th., M.Si yang hari itu telah “menyematkan” sebuah “pengakuan” tentang sosok Dr.Asrul Pattimahu sebagai Cak Nur muda dari Maluku itu.

Kampus UKIM tentu bangga telah melahirkan sejumlah doktor baru di bidang agama dan kebangsaan. Inilah kampus melalui Program Studi Doktoral Agama dan Kebangsaan bakal menjadi pelopor untuk kolaborasi tiga perguruan tinggi ternama di Maluku yakni UNPATTI Ambon, IAIN Ambon, dan UKIM Ambon sebagai bagian dari wujud membangun kebersamaan dan revitalisasi di bidang pendidikan.

Adalah nama Prof Dr John Titaley (mantan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana/UKSW Salatiga dan Prof Dr Thomas Pentury (mantan Rektor UNPATTI Ambon dan mantan Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama RI), tentu tidak bisa kita lupakan.

Keduanya boleh jadi adalah sosok pelopor yang telah ikut berperan hingga mengantarkan Program Studi Doktoral Agama dan Kebangsaan UKIM Ambon ini bisa menghasilkan sejumlah karya terbaik ditandai oleh lahirnya sejumlah doktor baru di bidang agama dan kebangsaan di Maluku.

“Jadi kita tidak boleh lupakan jasa mereka. Pak John Titaley dan Pak Thomas Pentury telah meninggalkan jejak-jejak karya mereka di bidang pendidikan di Maluku,” ujar Dr.Asrul Pattimahu.

Selamat sang mantan aktivis HMI Ambon, Cak Nur muda dari Maluku. Dan, teruslah berkarya untuk kemaslahatan Maluku dan Tanah Air tercinta.(AHMAD IBRAHIM)

  • Bagikan