Oleh : Mizwar Tomagola (Pemerhati Demokrasi Maluku)
KETERLIBATAN perempuan dalam eskalasi dan sirkulasi politik kepemimpinan pada rezim demokrasi electoral bukan lagi hal yang tabu. Eksistensi perempuan di panggung politik kepemimpinan tak lagi bisa di negasikan. Peran serta perempuan tak hanya sebatas pemilih potensial dalam mendongkrak electoral calon pemimpinan Negara, daerah atau pemimpin pada sektor organisasi.
Demokrasi sebagai instrument penting dalam meneguhkan prinsip berbangsa dan bernegara (Trias political), secara ideal mensyaratkan keikutsertaan setiap warga untuk mengontrol system dan institusi pemerintahan (Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif). Tiga pilar tersebut menjadi symbol system dan piranti demokrasi.
Trias Political tak bisa diinterpretasikan secara sempit. Negara dan masyarakat. Tanpa menggunakan hak dan prinsip etik dalam kewajiban kepemimpinan. Kewajiban kepemimpinan adalah mengayomi, melayani dan memastikan kebutuhan dasar (ned) satu masyarakat dapat terpenuhi.
Untuk menjalankan kewajiban kepemimpinan tersebut, maka setiap orang baik laki-laki maupun perempuan secara essensial dapat mengikusertakan diri dalam mewjudkan masyarakat yang sejahtera sesuai mekanisme demokratisasi suatu pemerintahan. Dengan mengacu pada intepretasi demokrasi secara kontekstual tersebut, maka, peran serta perempuan pada Pilkada langsung dengan menggunakan mekanisme electoral voters tak dapat di napikan.
Dalam praktik demorkasi langsung di Indonesia, banyak perempuan bisa memberikan konstribusi penting dalam mendorong pembangunan yang searah dengan cita-cita dan manifestasi kebangsaan serta ikut mewujudkan visi-misi pemerintah pada semua level.
Dalam kurun empat (4) tahun terakhir, di Maluku (2020), krisis kepemimpinan perempuan akhirnya terjawab. Melalui Pilkada langsung, Bupati Buru Selatan, memperoleh dukungan mayoritas dari masyarakat setempat. Sebelum, sosok Perempuan dipilih sebagai pemimpin di Buru Selatan, pada era kepemimpinan M.J Papilaja di Kota Ambon pada tahun 2006-2011 didampingi seorang perempuan sebagai Wakil Waliota Ambon, yakni Olivia Latuconsina.
Pasangan M.J Papilaya-Olivia Latuconsina jauh dari konflik of interest atas peran kepemimpinan keduanya. Pasangan ini sangat solid membangun Ambon kembali Manise. Dari M.J Papilaja dan Olivia Latuconsina, public Ambon harus belajar bahwa kepemimpinan daerah yang balences. Peran penting Dua sosok pimpinan dapat mewujudkan birokrasi yang baik dan optimal dalam mewujudnyatakan program, visi dan misi pemerintahan kepada masyarakat.
Sosok perempuan yang dianggap pantas dan layak menduduki posittioning Calon Wakil Walikota adalah Ir. Diana Padangan, M.Si. Sebagai seorang perempuan, Diana Padang telah melewati dinamika kepemimpinan yang panjang. Secara empiris, pengalaman Diana sebagai seorang Birokrat, tentunya tidak asing dengan kebijakan politik perintahan daerah.
Memulai karier sebagai seorang PNS/ASN di Pemerintah Provinsi Maluku dari bawah (staff), Diana terus menjelma sebagai sosok perempuan yang strong, berkakter, punya integritas dan visioner. Hal itulah yang mebawa keponakan mantan Gubernur Maluku ke 3 (Tigga), Alm. Mohammad Padang menduduki jabatan essalon II hingga purna bhakti.
Saat menjabat Kepala Dinas Pertanian Provinsi Maluku, tak sekalipun desas-desus yang menyeret nama beliau dalam dugaan atau skandal abause of power. Diana mengakhiri karier sebagai Birokrasi dengan Raport sangat baik. Itulah mengapa, Diana pantas untuk mendapatkan porsi dan posisi sebagai calon wakil walikota Ambon pada Pilkada 27 November mendatang.
Selain memiliki perjalanan karier Birokrasi yang membentuknya sebagai perempuan visioner, Diana adalah Ibu yang sukses mendidik anak-anaknya. Membentuk lingkungan keluarga yang ‘adab’. Diana merupakan ibu dari tiga orang anak yang masing-masing telah memiliki pekerjaan tetap.
Tiga anak Diana Padang telah memilih jalan pengabdian untuk melayani Negara bangsa dan masyarakat. Anak sulung berprofesi sebagai Dokter, anak kedua kini bekerja di BUMN dan yang bontot seorang ASN dilingkup Pemprov Maluku.
Tangan Diana Padangan cukup ‘dingin’ untuk membentuk jalan hidup anak-anaknya. Tentunya, tangan dingin seorang ibu Diana diharapkan mampu berkonstribusi lewat sentuhan kebijakan bersama Walikota Ambon kedepan memberikan perubahan signifikan terhadap daerah ini.
Sosok Diana menjadi nilai ‘plus’ untuk membangun Ambon. Secara personal, Diana lahir dari keluarga yang cukup secara ekonomi, dan memiliki pendidikan yang baik. Lingkungan keluarga Diana sejak kecil sudah membentuk mindset terhadap masa depan dan cara hidup dalam ruang sosial dan ruang kerja.
Modal didikan keluarga membuat Diana tumbuh dalam dinamikan birokrasi yang ulet, kredibel dan akuntabel. Menjadikannya seorang Ibu yang mengayomi sebagai karakter dasar kepemimpinan seorang perempuan, dan mampu memacu anak-anaknya untuk tumbuh hidup dalam kemandirian masa depan.
Naluri kepemimpinan Dina semakin dipertajam kala didapuk sebagai Pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Maluku pada era Richard Louhenapessy. Organisasi berhimpun para alumni dan aktivisi pegerakan dan keagamaan tersebut ikut membentuk dan membangun circle dan networking Diana dalam perjalanan karier kedepan. Buktinya, pada era Gubernur Karel Albert Ralahalu, Diana tak pernah absen sebagai Pengurus inti Pengurus Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Provinsi Maluku.
Kecerdasan dan disiplin serta tanggung jawab membuat Diana terus diminta untuk membantu kerja-kerja Gubernur dan Pemerintah lewat PKK Maluku, dari era kepemimpinan Karel, Said Assagaff, Murad Ismail hingga Pj. Gubernur Sadlie Ie.
Sosok Diana sangat vital. Sebagai orang Birokrasi dan pengalaman organiasi yang matang, Diana kenal betul dengan kondisi sosial-cultural masyarakat di Maluku, tentunya juga Kota Ambon. Sehingga berbagai program PKK maupun Dinas selama masa jabatan selalu menggunakan pendekatan-pendekatan yang solutif untuk menyelesaikan kompleksitas persoalan dimasyarakat.
Diana menjadi salah satu perempuan Birokrat yang sangat komplit. Wajar saja, dengan jejak rekam (track record) yang baik, membuat namanya ikut masuk nominator calon Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Maluku sebelum memasuki Masa Pensiun.
Tentunya dengan dengan personal yang telah ‘plus’ tersebut, tidak ada celah untuk menolak Diana Padang sebagai Calon Wakil Walikota Ambon. Diana Padang siap dipinang. Siap ikut berkonstribusi mendampingi Calon Walikota memimpin Ambon, dan terpenting adalah; Menghadirkan Sentuhan Kepemimpinan Perempuan untuk Ambon yang lebih Sejuk.
Segmentasi dan Captive Market Politik Ambon
Berbeda dengan daerah lain di Maluku, masyarakat Kota Ambon sangat heterogen. Sebagai Kota berkembang, pola hidup masyarakat urban Kota Ambon tentunya mempengaruhi keterpilihan calon kepala daerah-wakil kepala daerah atau walikota dan wakil walikota pada pesta demokrasi November mendatang.
Hampir sebagian besar, masyarakat Kota Ambon berasal dari daerah luar kota. Dataran Jazirah Leihitu dan Salahutu, Seram, Lease (Saparua dan Haruku), Tenggara Raya (Tual, Malra, Aru, KKT dan MBD), Pulau Buru, Sulawessi (Tenggara, Tengah, Utara), Maluku Utara, Jawa dll yang telah berdiaspora dan menjadi warga Ambon.
Tentunya, dengan corak masyarakat yang majemuk dan heterogen ini, variable akspeptabilitas dan elektabilitas dalam electoral vote Pilkada Kota Ambon cenderung memprofiling jejak rekam setiap figure/personal calon walikota dan wakil walikota Ambon. Bahwa pemimpin yang lahir kedepan untuk semua golongan. Tipe kememimpinan semua golongan ini ada pada Diana Padang.
Dengan latar belakangan PNS, Pengusaha dan Wirausaha masyarakat Ambon yang dominan, membuat issu pembangunan perluasaan perekonomian menjadi strong issu bagi grassh roth. Sebut saja, Kecamatan Sirimau, yang basis pemilih potensial berada pada kawasan Batumerah. Atau Kecamatan Nusaniwe dengan basis pemilih potensial pada wilayah Kudamati sampai ke Latuhalat.
Pada dua kecamatan dengan potensi pemilih yang secara kuantitative cukup besar itu, hampir sebagian besar masyarakatnya membutuhkan kebijakan strategis pemerintah pro terhadap pertumbuhan perekonomian, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan. Dengan potret sosial masyarakat yang demikian, maka kecenderungan pemilih dalam eksercise politik sebagai sampling cenderung memilih figure yang memiliki pengalaman kerja, punya jaringan dan jejak rekam yang bersih dalam karya pembangunan.
Tentunya, hal ini cukup memberikan ruang dan peluang bagi Diana padang untuk berkontestasi dan menjadi salah satu calon perempuan yang wajib diperhitungkan dalam sirkulasi politik diaras lokal, khususnya Kota Ambon.
Tools politik yang modern cenderung mengawinkan, politik entitas (identitas politic etik) disatu sisi, dan disisi lain kecenderungan visi kepemimpinan dalam mengagregasi kebutuhan sosial-ekonomi yang begitu kompleks. Dengan pendekatan sosio-politik atas keragaman masyarakat Ambon inilah, potensi politik dikotomik sulit dimainkan sebagai strong issu, melainkan menjadikan kekuatan personal calon dalam mempengaruhi pemilih di Pilkada.
Dikatomik tidak menghasilkan kebijakan proprosional dalam skema pembangunan secara integrative. Sementara, kebutuhan hari ini, pembangunan daerah harus diarahkan secara integrative dari berbagai multi sektor. Pembangunan integrative ini bisa terjawab dengan pengalaman kerja, jejaring nasional, visi kepemimpinan yang kreatif dan inovatif dan terpenting adalah memahami anatomi kinerja birokrasi.
Gambaran, rool mode pemilih Ambon pada 27 November nanti, bisa terbaca pada hasil Pileg Februari kemarin. Misalnya, tesis politik bahwa PDI Perjuangan, partai berhaluan nasionalis yang sulit menembus market politik di Dapil Sirimau 2 (Batumerah, Kapaha, Tantui dan Galala) terbantahkan dengan hasil Pileg. Bahkan PDI Perjuangan berada pada kursi ke 6 dari 9 kursi yang diperebutkan.
Sementara, disisi lain, PDI Perjuangan pada Dapil Nusaniwe yang pada periode lalu memperoleh 2 kursi harus kehilangan 1 kursi di Pileg kali ini. Artinya bahwa, paradox dan unpredictable adalah dua variable penting dalam menghitung kekuatan politik electoral. Apalagi, Pilkada merupakan event politik yang menguhungkan langsung pemilih (masyarakat) dengan pengambil kebijakan (calon kepala daerah dan wakil kepala daerah).
Untuk menguatkan konsolidasi PDI Perjuangan atau Partai Politik peserta Pilkada seperti Gerindra, Golkar, Nasdem, Demokrat yang berhaluan nasionalis pada basis pemilih Ambon, maka tesis politik memaketkan figure kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam simulasi keterpilihan berasarkan jejak rekam, latar belakang, kemampuan personal, jejaring personal dan serta loyalitas terhadap pemimpin menjadi ukuran penting bagi Parpol pengusung. Apalagi sekelas partai-partai politik berbasis kaderisasi semisal PDI Perjuangan, Golkar dll.
Figure pemimpin tidak bisa direkayasa by momentum. Harus disiapkan sejak lama. Memiliki daya tahan ‘tubuh’ yang kuat dan ulet hingga sampai pada ujian kepemimpinan sesungguhnya yakni kepemimpinan yang lahir dari demokrasi kerakyatan. Hal ini, telah dibuktikan Diana Padang. Dan tidak salah, jika PDI Perjuangan menjadi salah satu partai utama yang diminati Diana Padangan untuk berproses memproleh dukungan politik di Pilkada Kota Ambon.
Pilihan politik PDI Perjuangan tentunya penting dalam membaca peta kemenangan Pilkada Ambon. Jika pada waktunya dukungan Politik partai wong cilik itu merekomendasikan Diana Padang sebagai bakal calon Wakil Walikota Ambon bersama dengan Calon Walikota yang telah disiapkan, maka, proyeksi, ekspektasi dan target politik partai tidak akan keliru dan meleset untuk memenangi pertarungan Pilkada Kota dengan mudah. (*)