Tak Cukup Bukti untuk Dilanjutkan
RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Penyelidikan dua kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku, yang dialamatkan kepada Penjabat (Pj) Gubernur Maluku, Sadali Ie, disinyalir tak dilanjutkan.
Dua kasus itu yakni, dana tanggap darurat Covid-19 pada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku tahun anggaran 2020 dan 2021, dan dugaan korupsi anggaran kegiatan reboisasi pada Dinas Kehutanan Provinsi Maluku di Kabupaten Maluku Tengah tahun anggaran 2022.
Sumber terpercaya media ini mengungkapkan, kasus yang dituduhkan kepada Sadali Ie saat menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Maluku dari kasus Covid-19, dan selaku kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku pada kasus reboisasi, lantaran tidak ditemukan cukup bukti yang kuat.
“Sudah dilakukan serangkaian proses penyelidikan yang panjang, namun tidak ditemukan cukup bukti soal keterlibatan Sadali Ie,” ungkap sumber itu, kepada media ini di Ambon, Minggu, 23 Juni 2024.
Kegiatan reboisasi di Kabupaten Maluku Tengah tahun anggaran 2022 misalnya, kata sumber itu, tidak ada satupun bukti dokumen pencairan anggaran yang ditandatangani oleh Sadali Ie selaku kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
“Semua dokumen kegiatan reboisasi ditandatangani oleh kepala bidang selaku PPK (Pejabat Pembuat komitmen) atau PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) itu, saya lupa, kalau tidak salah dia juga menjabat Plh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku. Jadi, tidak ada bukti dokumen pencairan anggaran yang ditandatangani oleh Sadali Ie,” bebernya.
Terkait hal itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) dan Humas Kejati Maluku, Ardy, yang coba dikonfirmasi media ini via telepon seluler maupun pesan WhatsApp (WA), belum merespon hingga berita ini diterbitkan.
Sementara itu, Ketua DPD Pembela Kesatuan Tanah Air Indonesia Bersatu (PEKAT IB) Kota Ambon, Fadri Nurlette, SE., MM, meminta kepada semua masyarakat untuk dapat menghargai dan mempercayakan seluruh proses hukum penanganan kasus-kasus tipikor yang saat ini ditangani Kejati Maluku.
“Apapun hasil penyelidikan kasusnya nanti, kita serahkan semuanya ke aparat penegak hukum. Jang malah kita ikut memperkeruh suasana dengan membangun wacana bahwa saat ini Maluku darurat korupsi, tidak baik seperti itu. Jangan juga mengkriminalisasi seseorang yang faktanya tidak bersalah meskipun dia seorang pejabat daerah,” imbaunya.
Jika hasil penyelidikan dua kasus dugaan tipikor yang dialamatkan kepada Sadali Ie tidak cukup bukti yang kuat, Fadry menyarankan kepada pihak Kejati Maluku agar dapat segera menyampaikan hasil tersebut kepada publik. Sehingga, masyarakat dapat mengetahui dan tidak lagi membangun opini yang berlebihan.
“Dan ketika pihak Kejaksaan sudah menyampaikan hasil penyelidikan kasusnya ke publik soal ada tidaknya keterlibatan Sadali Ie dalam dua kasus tersebut, maka diharapkan masyarakat tidak mempolitisir, seolah-olah ada kepentingan politik dibalik hasil penyelidikan kasusnya atau menuding pihak Kejaksaan sudah masuk angin,” pungkasnya.
Hal senada juga disampaikan Pengamat Hukum, Marnex Ferison Salmon, SH. Menurutnya, terdapat beberapa adigum (pepatah) hukum, di antaranya yang terkenal adalah “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.
“Adigum hukum lainnya lagi yaitu Equum et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum), Facta sunt potentiora verbis (perbuatan atau fakta lebih kuat dari kata-kata). Artinya, jika memang seseorang yang disangkakan terbukti tidak bersalah, maka jangan dihukum. Itulah keadilan hukum yang sesungguhnya,” ucapnya.
Marnex juga mengingatkan media harus menerapkan asas praduga tidak bersalah dan asas prudent (kehati-hatian) dalam mempublikasikan pemberitaan kasus dugaan tindak pidana, apalagi proses hukum penyelidikannya sampai saat ini masih berlangsung.
“Saya kira pemberitaan di sejumlah media massa yang gencar menyerang pribadi seseorang tidak boleh melanggar asas Presumption of Innocence (praduga tidak bersalah) sebagai wujud due process of law dalam penegakan hukum pidana,” harapnya.
Ia menegaskan, jika ada media massa yang memberikan opini mengenai informasi yang diangkat dengan menerapkan prasangka bersalah dan menurunkan berita yang belum dikonfirmasi sebelumnya atau dapat dikatakan sebagai (cover both side), maka hal itu akan menjadi penghakiman terhadap seseorang yang diberitakan.
“Tentu hal ini menjadi akar terjadinya penghakiman (trial by the press) yang nantinya dapat disebut juga sebagai pelanggaran terhadap hak tersangka atau bahkan pelanggaran terhadap hak-hak pihak yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa pidana tersebut,” terang Marnex. (RIO)