Dari Abua untuk Masohi

  • Bagikan

Belum sebulan ini sudah tiga kali saya berjumpa tanpa “sengaja” dengan Pak Tuasikal Abua, SH, di tempat dan waktu berbeda saat melayat di rumah duka.

Tuasikal Abua yang kini digadang-gadang menjadi Cawagub Maluku pada Pilgub Maluku September 2024 mendatang bukan orang baru. Mantan bupati Kabupaten Maluku Tengah dua periode ini pernah saya wawancarai untuk sebuah tugas kantor enam tahun lalu.

Saat berjumpa di rumah duka di Kota Ambon, (15/6/24), saya pun menyempatkan kesempatan bertanya seputar program kepemimpinan sebagai bupati kala itu.

“Alhamdulillah, semua berjalan sesuai visi misi. Termasuk proyek penghijauan pohon Fukuboya yang Anda tanyakan. Pun program ruang terbuka hijau seperti Pantai Ina Marina, reklamasi Pantai Masohi, pelabuhan fery, tugu selamat datang, dan Monumen Soekarno. Juga pembangunan kantor bupati,” ujarnya.

Sejak pembentukan Kota Masohi sebagai ibukota Maluku Tengah tahun 1957 oleh Presiden Soekarno, Masohi saat itu belum sehebat sekarang.

Kala itu Masohi diibaratkan hanyalah sebuah ibukota kecamatan padahal statusnya sudah berubah sebagai ibukota kabupaten. Bahkan hingga beberapa tahun terakhir Kota Masohi masih sering “dicap” sebagai “kota mati”.

Setelah pemekaran Provinsi Maluku menjadi dua provinsi yakni Provinsi Maluku Utara, Oktober 1999 diikuti oleh pemekaran empat daerah otonom baru yang merupakan pecahan dari Kabupaten Maluku Tengah yakni Kabupaten Pulau Buru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Seram Bagian Timur, dan Kabupaten Buru Selatan, Masohi yang dikenal sebagai “kota tua” selain Ternate di Maluku Utara dan Tual di MalukuTenggara stigma sebagai “kota mati” masih tetap melekat.

Namun di tangan Bupati Tuasikal Abua anggapan sebagai “kota mati” kini sudah mulai berubah. Image tersebut sudah tak terlihat lagi. Setidaknya setelah 25 tahun berlalu sudah banyak perubahan. Upaya untuk menghilangkan image itu kini sudah mulai terjawab di tangan mantan advokat itu.

“Setelah lebih lima tahun kepemimpinan saya, kami terus melakukan pembenahan. Beberapa kawasan kami perbaiki. Kami ingin Masohi menjadi Kota Hijau,” ujar Tuasikal Abua kepada saya di ruang kerjanya, Senin 2 April 2018.

Kini, setelah lebih 10 tahun kepemimpinannya berakhir ia mengaku bangga sebab melalui program penanaman pohon Fukuboya kota ini menjadi hijau.

Di beberapa sudut Kota Masohí memang sudah terlihat sejumlah icon yang menjadi kebanggaan. Seperti ruang terbuka hijau Pantai Ina Marina, reklamasi Pantai Masohi, pelabuhan fery, tugu selamat datang, Monumen Soekarno diikuti oleh kantor bupati nan megah.

Gedung-gedung pemerintahan seperti kantor dinas juga sudah tampak cantik. Beberapa gedung swasta seperti bank juga terlihat modern seperti Bank BRI, Bank Maluku dan Masohi Plaza di Jl. H.Abdullah Soulissa.

Jalanan juga demikian terlihat bersih. Di ruas-ruas jalan utama tampak pohon nan rimbun. Penataan jalan raya yang lebar saat ini tentu tak lepas dari sejarah pembentukan Kota Masohi oleh Presiden Soekarno 1957.

Soekarno rupanya sudah berpikir jauh kedepan untuk menjadikan Masohi yang terletak di sebelah selatan Pulau Seram ini sebagai kota yang maju.

Ini terlihat dari perencanaan tata ruang dan rancang bangun kota yang ditandai oleh pembangunan jalannya yang luas serta penataan bangunan yang rapih. Jalan nan lebar diikuti oleh penataan kota yang bagus membuat Kota Masohi tidak terkesan sumpek.

Jadi, semangat gotong royong yang berarti Masohi menandai pembentukan kota ini yang diberikan oleh Presiden Soekarno kala itu terus menjadi inspirasi.

“Tidak cukup hanya dengan dua tangan saya ini, tapi dengan dukungan dari semua komponen masyarakat di Maluku Tengah berarti banyak tangan yang bisa saling membantu untuk membangun Masohi. Tanpa keterlibatan dan dukungan mereka, saya tentu tak bisa berbuat banyak,” ujarnya.

Sebelum pemekaran, Masohi adalah pusat ibukota kabupaten satu-satunya di Pulau Seram, dan Masohi merupakan pusat administratif selain Pulau Buru, dan Pulau-Pulau Lease sebagai daerah penyangga. Itulah membuat Masohi menjadi induk dari segala hal termasuk menyangkut perizinan harus melalui Kota Masohi.

Meski sebagai ibukota kabupaten, Masohi bukanlah pusat industri, pusat pendidikan atau perdagangan. Memiliki banyak kekayaan alam seperti perkebunan, industri perikanan dan kelautan, namun sayang semua produk usaha itu tidak langsung diekspor melalui Pelabuhan Masohi.

Semua produk usaha di ekspor langsung melawati pelabuhan rakyat pada sejumlah pesisir Pulau Seram atau melalui transportasi darat kemudian dibawa langsung ke Ambon, Makassar, atau Surabaya. Inilah yang menyebabkan perputaran ekonomi di kota ini menjadi lambat dan membuat kota pun menjadi tidak hidup.

Padahal dengan menghidupkan Masohi sebagai sentra ekonomi dan perdagangan roda perekonomian menjadi lebih bergairah sehingga Masohi tak lagi mendapat julukan sebagai “kota mati”.

Obsesi yang dibangun untuk menghilangkan persepsi sebagai “kota mati” memang tidak gampang. Tuasikal Abua terus meyakinkan kinerjanya dengan melakukan berbagai terobosan.

Jika selama ini konsep pembangunan yang dicanangkan oleh bupati sebelumnya yang tidak lain adik kandungnya Ir. Abdullah Tuasikal lebih banyak diarahkan dari desa ke kota maka di tangan Tuasikal Abua ia mencoba membalik konsep itu yakni dari kota ke desa.

“Ini tidak berarti bahwa desa kita abaikan. Sebab, sebelumnya konsep dasar pembangunan dari desa itu sudah diletakkan oleh para pendahulu. Nah, apa yang telah dilakukan oleh bupati-bupati sebelumnya itu tinggal kita perkuat. Adapun konsep pembangunan kota selain melakukan penataan tata ruang juga kami perkuat dengan pengembangan ruang terbuka hijau antara lain pembukaan sarana kuliner, penanaman pohon untuk penghijauan kota dll,” ujarnya.

Langkah ini dilakukan selain untuk menanamkan kepercayaan terhadap dunia luar juga dalam rangka membangun citra agar Kota Masohi bisa menjadi salah satu icon sekaligus menjadi proyek percontohan bagi pengembangan daerah baik dari sisi penataan kota, lingkungan, termasuk penataan sistem birokrasi pemerintahan.

Masohi juga menjadi pusat kegiatan sosial keagamaan baik tingkat provinsi maupun nasional. Beberapa event keagamaan juga telah diselenggarakan di Masohi untuk melakukan proses pembauran biar mereka yang datang dari luar daerah bisa menangkap suasana kebersamaan di MalukuTengah.

Dari sektor pembangunan juga tidak ketinggalan. Jika sebelumnya Kabupaten Maluku Tengah masuk kategori disclaimer dalam hal penataan pengelolaan keuangan daerah, namun sejak dua tahun di awal kepemimpinannya Maluku Tengah sudah masuk tahap Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Selain di bidang pengelolaan keuangan, di tangan Tuasikal Abua juga ia mengembangkan penataan lingkungan dan tata kota berupa penanaman pohon Fukuboya — sebuah pohon yang memiliki empat jenis warna pada bunganya.

Tahap pertama kala itu ditanam di pusat Kota Masohi lebih 3.000 pohon. “Kalau nanti Anda datang lagi insyaAllah Kota Masohi sudah terlihat hijau karena ditutupi oleh pohon Fukuboya yang rindang dengan empat jenis warna pada dahannya,” ujarnya kala itu.

Bupati Tuasikal Abua telah berobsesi ingin menciptakan sebuah karya agar pada akhir masa jabatannya ada kenangan yang ingin ia wariskan untuk generasi di bumi berjuluk Pamahununusa itu. Dan, melalui proyek pengembangan pohon Fukuboya inilah Kota Masohi kelak benar-benar akan menjadi proyek percontohan sebagai Kota Hijau sebagaimana visi-misinya sebagai bupati.

Kala itu ia berharap dengan melakukan terobosan tersebut bisa memberikan pesan dan kesan yang baik terhadap siapapun yang datang di Maluku Tengah. Ada pesan positif yang bisa dibawa pulang oleh tamu atau pendatang sekembalinya mereka ke kampung halaman.

“Minimal mereka bisa bercerita banyak hal tentang keberhasilan pembangunan selama mereka berada di Kota Masohi. Itu yang ingin saya lakukan,” ujarnya.

Selain itu, salah satu gagasan besar yang ia ingin tumbuhkan yakni kesadaran masyarakat tentang arti sebuah kebersihan di lingkungan. Kebersihan Kota Masohi yang ada saat ini tidak lepas dari visi-misi Tuasikal Abua.

Ia ingin membangun kesadaran bersama menjadikan Kota Masohi menjadi kota bersih memang tidaklah mudah. Soalnya ini menyangkut perubahan perilaku dan kesadaran disiplin warga.

Ia mengakui memang bukan perkara gampang menyadarkan apa arti pentingnya hidup bersih. Tapi, ia bersyukur saat ini Kota Masohi nyaris bersih tak ada sampah di pusat kota karena dulu ia telah menanamkan sebuah obsesi dengan mengedepankan sebuah motto: Bersih di Siang Hari dan Terang di Malam Hari.

Dan, siapapun yang memimpin Kabupaten Maluku Tengah atau Provinsi Maluku tentu tidak boleh melupakan pesan-pesan luhur dari para leluhur mereka yang menetap di sebelah selatan Pulau Seram itu.

Sebab, dari ibukota Masohi inilah oleh Presiden Soekarno secara resmi telah memberikan nama ibukota ini dengan sebutan Masohi yang berarti gotong royong tak lepas dari sebuah nama yang memiliki arti dan punya pertalian sejarah paling dalam.

Kabupaten Maluku Tengah sebagaimana daerah lainnya di Maluku memiliki banyak kearifan lokal dalam hal kepemimpinan yang hingga kini masih tetap dipertahankan.

Selain “Masohi” yang dikenal sebagai sumber perekat juga ada identitas lokal lainnya yang memiliki semangat kekeluargaan antarkomunitas yang dikenal dengan nama “pela gandong.”

Dengan semangat gotong royong atau “Masohi” tersebut maka tugas seorang pemimpin adalah mengayomi. Melalui semangat “Masohi” dan “pela-gandong” membuat tugas sebagai kepala daerah tak boleh mengabaikan tanggung jawab atau melupakan sumpah dan janjinya atas rakyat yang dipimpinnya.

Salah satu ungkapan bijak yang terkenal dan telah menjadi sumber perekat dalam semangat kegotong-royongan oleh para leluhur di Maluku Tengah yang tak boleh dilupakan oleh seorang pemimpin yakni ungkapan:

“Sei hale hatu, hatu hale sei. Sei risa sou, sou risa sei.” Artinya: “Siapa yang balik batu, batu akan balik menindisnya. Siapa yang melanggar janji atau mengingkari janji, maka janji akan balik melanggar dirinya.”

Bupati pertama yang dilantik Soekarno kala itu tak lain adalah H.Abdullah Soulissa. Tokoh yang berasal dari Negeri Lima, di Jazirah Leihitu itu dipercaya menjadi kepala daerah.

Untuk mengenang jasa putra Jazirah Leihitu itu, jalan utama di Masohi diberi nama Jl.H.Abdullah Soulissa. Dan, untuk mengenang Soekarno kini telah dibangun sebuah monumen dan museum yang diberi nama Baileo Soekarno.

Melalui konsep Masohi yang telah dicanangkan Presiden Soekarno 67 tahun silam yang bertumpu pada semangat gotong-royong bisa menjadikan simbol perekat dalam mengarungi Maluku Tengah ke arah yang lebih maju dan sejahtera.

Dan, dari tangan Tuasikal Abua kini ia telah membuktikan sebagai seorang pelopor menjadikan Masohi sebagai proyek penghijauan melalui pohon Fukuboya diikuti oleh program ruang terbuka hijau lainnya.(AHMAD IBRAHIM)

  • Bagikan