Ngaji Ngaji Moi

  • Bagikan

Seperti orang tua lainnya — ayah saya juga seorang pencerita yang baik. Terutama saat mengawali sebuah kisah sebagai pengantar menjelang tidur. Beragam kisah diceritakan dari yang berbau dogeng hingga cerita Malin Kundang.

Pun kisah Nabi Sulaiman, Ratu Balqis dan Burung Hud-Hud hingga cerita sastra berbau nasehat dari sosok orang-orang saleh yang memiliki kemuliaan (karomah) seperti para auliyah.

Cerita-cerita itu dituturkan dan dikemas dalam sebuah tema yang diberi nama: “Ngaji-ngaji moi”.

Setiap kali memulai sebuah kisah ayah saya lebih dulu meminta kesediaan untuk mengawali cerita khasnya itu sebagai pengantar pembuka diawali dengan ungkapan: “Ngaji-ngaji moi”.

Begitu terdengar aba-aba: “Ngaji-ngaji moi” dari sang penutur cerita — seketika kita pun menyambungkan ungkapan itu dengan kata: “Teeede”.

Makna “Teeede” di sini memiliki pesan khusus tanda setuju untuk melanjutkan apa yang hendak diceritakan oleh si penutur cerita. Cerita itu bisa apa saja tentang kehidupan, karakter, budi pekerti, dan kearifan.

Dari pengalaman hidup selama ini aktivitas bertutur dalam konteks “Ngaji-ngaji moi” oleh seorang ayah kepada anak menjelang tidur ternyata bukan sekadar cerita biasa, tapi ia sesungguhnya memiliki syarat makna.

Sebuah tradisi sastra bertutur yang oleh sejarawan Peter Carey dari Trinity Collage Oxford University Inggris diakui semakin langka kita temukan saat ini.

Dan, menurut Peter Carey, terputusnya tradisi bertutur berkaitan dengan sastra lisan ini bisa menjadi ancaman berakhirnya pola hubungan kita dengan para leluhur padahal di sana banyak terdapat nilai-nilai edukasi, pengetahuan, dan lingkungan hidup kita.

Tesis Peter Carey di atas boleh jadi ada benarnya. Sebab jika saja karya-karya dan kisah-kisah mereka para leluhur itu terabaikan bukan tidak mungkin pengetahuan dan nilai-nilai luhur mereka yang disebut dengan karomah juga akan terlupakan.

Dan, cerita berkaitan dengan sastra lisan itu cukup banyak.

Ayah saya, misalnya. Suatu ketika pernah bercerita tentang sosok seorang mulia di kampungnya bergelar habib. Ia memiliki karomah atau kemuliaan.

Mengutip Wikipedia karomah di sini yakni kemuliaan yang merujuk pada suatu peristiwa atau keadaan yang terjadi di luar batas akal sehat dari kemampuan biasa manusia pada individu tertentu yang diakui sebagai wali Allah.

Sang habib itu tidak lain adalah guru ayah saya bernama lengkap Alhabib Sadik Almusawa. Biasa dipanggil Tuan Sadik.

Kisah hidup sang habib yang cukup dikenang dalam konteks “Ngaji-ngaji moi” yang diceritakan ayah saya itu yakni tentang “insiden batu karang” dan seorang nakhodah kapal.

Alkisah, suatu ketika di penghujung tahun 1970-an ada seorang nakhodah kapal pernah menolak sang habib untuk menumpang kapalnya ke Ternate.

Seketika terjadilah keajaiban. Saat keluar dari pelabuhan di tengah perjalanan kapal tersebut tak bisa lagi berlayar karena ada batu karang terlihat membujur di anjungan kapal.

Kisah ini sudah lama saya dengar dalam cerita khas “Ngaji-ngaji moi” oleh ayah saya sebagai pengantar tidur malam.

Sebenarnya, cerita ini sudah lama terpendam dalam memori saya dan baru tersentak setelah beberapa waktu lalu saya membaca sebuah unggahan diikuti foto sang habib di laman FB oleh seorang follower yang tak lain adalah putri kesayangan almarhum Habib Sadik Almusawa bernama Umi Nadirah Almusawa.

Seolah ada yang “membangunkan” dari tidur saya pun meminta izin pemilik laman FB itu untuk mengcopy gambar sang habib karena teringat sejarah unik yang dulu pernah terekam dalam cerita khas ayah saya itu.

Diceritakan, untuk berlayar ke Ternate sang habib kala itu harus lebih dulu menyeberangi lautan ke kampung tetangga bernama Desa Cera, Pulau Doi, Kecamatan Loloda Kepulauan, Provinsi Maluku Utara.

Berangkatlah Tuan Sadik dari kampungnya bernama Dagasuli nun di utara Pulau Halmahera menggunakan perahu motor ke tetangga Desa Cera.

Desa Cera sendiri dikenal sebagai pusat eksplorasi tambang mangan terbesar di Provinsi Maluku Utara. Beroperasi sejak 1970-an lokasi ini merupakan salah satu areal tambang bahan baku besi yang diekspor ke mancanegara.

Setibanya di Desa Cera sang habib meminta izin kepada kapten kapal untuk menumpang ke Ternate namun sang nakhoda merasa keberatan.

Dari bahasa tubuh sang kapten menolak secara halus. Tak tahu alasan penolakan itu. Seketika sang habib pun beranjak dari kapal pergi meninggalkan pelabuhan tempat dimana kapal itu tambat. Dari pelabuhan ia pun ke tempat pemukiman warga Cera.

Tak lama kemudian kapal pun bertolak dari pelabuhan. Apa yang terjadi, saat keluar dari teluk di depan anjungan kapal terlihat batu karang berjejer di sepanjang jalur masuk kapal tersebut. Padahal air laut saat itu tidak terjadi pasang surut.

Sang nakhoda kapal panik. Tidak seperti biasanya tiba-tiba saja dari anjungan kapal terlihat ada karang membujur di sepanjang Teluk Cera. Kapten pun menunda jadwal keberangkatan dan memilih kembali ke pelabuhan.

Di atas geladak para ABK panik dan mengajak sang kapten mencari tahu siapa sesungguhnya sang habib yang tadi ingin menumpang ke Ternate tapi tidak diizinkan beliau berlayar bersama kapal tersebut.

Di antara mereka ada yang yakin jika “insiden” batu karang yang tiba-tiba membujur tadi punya kaitan atas sikap nakhoda kapal yang menolak sang habib menumpang kapal tersebut.

Setelah kapten mengambil keputusan kembali ke pelabuhan mereka para ABK sepakat mencari sang habib ke pemukiman. Setelah berkeliling di perkampungan mereka pun bertemu dengan sang tokoh tersebut.

Mereka akhirnya menyampaikan peristiwa langka di jalur masuk pelabuhan. Seketika Tuan Sadik menyusul ABK ke pelabuhan.

Kali ini kedatangan sang habib ke kapal tak ada maksud untuk menumpang ke Ternate. Kalaupun diizinkan oleh kapten atau ABK ia tak mau lagi karena hatinya telah “tawar” untuk bepergian bersama kapal yang baru saja menghadapi masalah insiden batu karang tersebut.

Kedatangan habib ke kapal kali ini semata-mata karena memenuhi permintaan ABK setelah mendapat penjelasan soal “insiden” batu karang yang berjejer tadi.

Setelah mendapat penjelasan dari ABK di pelabuhan, tak lama kemudian sang habib mempersilakan nakhoda kapal melanjutkan perjalanan untuk kembali berlayar. Kali ini tanpa hambatan. Batu karang yang tadinya terlihat membujur dari anjungan kapal seketika lenyap dari pandangan.

Kisah ini hanya satu di antara cerita unik yang bersentuhan dengan sang Habib Sadik Almusawa.

“Ini hanya satu di antara sekian kenangan yang menjadi cerita khas ayah saya semasa hidup. Masih banyak kisah unik lain yang pernah terjadi berkaitan dengan sosok ayah saya,” ujar putera almarhum Tuan Sadik Habib Ahmad Sadik Almusawa.

Untuk memastikan kisah tentang “insiden batu karang” dan sang nakhodah, saya pun menemui Habib Ahmad Sadik Almusawa di Masjid Agung Al-Amin Tobelo, (21/5/22).

Usai mengunjungi makam guru dan orang tua ayah saya Alhabib Tuan Syarif Albaar (Matuang Mabulusu) di Pekuburan Gura Tobelo, saya pun melanjutkan perjalanan menemui Habib Ahmad Sadik Almusawa di kediamannya.

Setibanya di kediaman di Gorua sang imam tidak ada di tempat tapi berada di Masjid Agung Al-Amin Tobelo.

Saya pun menyusul ke sana dan kami pun berbagi cerita di teras mesjid tentang sosok sang waliyullah bernama Alhabib Sadik Almusawa itu.

Cerita Alhabib Sadik Almusawa ini tentu jarang kita temukan. Di antara yang sedikit dan memiliki kemampuan khusus atau karomah dalam kisah “insiden batu karang” dan sang nakhodah kapal dari kacamata orang awam kecuali hanya oleh orang-orang tertentu.

Dan, cerita unik yang bersentuhan dengan orang-orang khusus Alhahib Tuan Sadik Almusawa hanyalah satu di antara banyak keunikan yang pernah terjadi di seputaran misteri kehidupan para waliyullah kita yang penuh kenangan di nun Loloda Kepulauan.

“Sebagai anak, tidak enak bila kami yang bercerita tentang sosok almarhum ayah kami. Biarkan itu menjadi konsumsi orang lain untuk bercerita,” ujar Ustad Ahmad Sadik Almusawa yang juga tak lain Pimpinan Pondok Pesantren Alkhairaat Tobelo, itu.

Dan, cerita khas ala “ngaji-ngaji moi” yang menjadi pengantar tidur ayah saya yang bercerita soal waliyullah Alhabib Sadik Almusawa hanyalah satu dari sekian cara bertutur orang-orang tua kita dulu yang di sana ternyata mengundang banyak hikmah dan nilai-nilai edukasi, pengetahuan, dan lingkungan hidup kita.

Untuk menjawab kekhawatiran sejarawan Peter Carey tentang pentingnya menghidupkan kembali tradisi bertutur sastra ala “Ngaji-ngaji moi” itu tentu perlu terus dikedepankan.

Karena di sana banyak hikmah dan pelajaran hidup serta nilai-nilai edukasi yang bisa dipetik baik tentang karakter, budi pekerti, kearifan, tawaddu atau rendah hati, dan tidak bersikap sombong kepada siapapun.

Dan, kedepan jika saja tradisi bertutur sastra secara lisan ala “Ngaji-ngaji moi” ini tidak lagi dihidupkan bukan tidak mungkin apa yang dikhawatirkan sejarawan Inggris Peter Carey yakni ancaman terputusnya pola hubungan kita dengan para leluhur boleh jadi ada benarnya.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version