RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Sejak penanganan kasus dugaan korupsi pengelolaan 140 Ruko Pasar Mardika, Kota Ambon, dilimpahkan oleh Tim Intelijen Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku ke Tim Penyelidik Bidang Pidana Khusus (Pidsus) pada Januari 2024 lalu, sampai dengan saat ini proses penyelidikannya tak kunjung ada.
Padahal, ratusan pedagang atau para penyewa ruko tersebut sangat menantikan nasib hukum Bos PT. Bumi Perkasa Timur (BPT), Franky Gaspary Thiopelus alias Kipe, selaku pengelola ratusan ruko yang merupakan aset milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku itu.
Informasi yang berhasil diperoleh media ini, bahwa pengelolaan ruko Pasar Mardika oleh PT. BPT yang terindikasi korupsi sempat diselidiki saat Kejati Maluku oleh dipimpin Edward Kaban. Namun entah mengapa proses penyelidikan terhenti di kepemimpinan Agoes Soenanto Prasetyo, saat ini.
Kala itu, Jaksa Bidang Intelijen telah bergerak melakukan pengumpulan data dan bahan keterangan sejak September 2023. Dimana, Korps Adhyaksa telah memanggil ketua dan anggota asosiasi pengusaha ruko Mardika atau penyewa ruko dan pihak bank yang menyewa ruko di Pasar Mardika.
Jaksa Bidang Intelijen juga telah melakukan pemeriksaan terhadap kepala Bidang Pengelola Aset pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Maluku terkait perjanjian kerjasama pengelolaan Ruko Pasar Mardika antara Pemprov Maluku dengan PT. BPT.
Dari hasil pengumpulan data dan keterangan oleh Bidang Intelijen, ditemukan beragam pelanggaran yang menabrak regulasi dilakukan oleh pihak PT. BPT. Salah satunya yakni selama tahun anggaran 2022-2023, PT. BPT belum menyetor uang sewa ruko ke kas daerah.
“Itu hasil konfirmasi Jaksa Intelijen ke kepala Bidang Aset BPKAD Maluku. Padahal selama dua tahun itu, PT. BPT sudah memungut belasan sampai puluhan miliar dari penyewa ruko. Tindakan PT BPT ini sangat merugikan daerah (Pemprov Maluku),” ungkap sumber media ini yang meminta namanya dirahasiakan, Senin, 27 Mei 2024.
Kejanggalan lainnya, lanjut sumber itu, kerjasama Pemprov Maluku dengan PT. BPT tidak melibatkan pihak appraisal. Dimana, peran jasa penilai itu dibutuhkan untuk memberikan penilaian yang objektif dan independen terhadap nilai sewa ruko itu.
“Faktanya, PT. BPT telah menarik biasa sewa dengan nilai bervariasi dari pelaku usaha yang merupakan penyewa ruko tanpa dasar hukum yang jelas. Alhasil, tarif sewa yang begitu tinggi menyebabkan para penyewa ruko mengeluh,” beber sumber itu.
Selain temuan Kejaksaan, lanjut sumber itu, Pansus bentukan DPRD Maluku juga menemukan 12 pemegang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang menempati Pertokoan Ruko Pasar Mardika telah melakukan pembayaran kepada PT. BPT sebesar Rp18.840.595.750.
Sementara PT. BPT hanya menyetor ke kas daerah Pemprov Maluku sesuai Perjanjian Kerja Sama Pemanfaatan antara Pemprov dengan PT. BPT sebesar Rp 5 miliar. Dengan rincian, tahun 2022 sebesar Rp 250 juta dan untuk tahun 2023 sebesar Rp 4.750.000.000.
“Selain itu, Pansus juga menemukan dugaan perbuatan melawan hukum dalam pengumuman pemenang tender pemanfaatan 140 ruko aset milik Pemprov Maluku yang dimenangkan PT. BPT,” pungkasnya.
Terkait hal itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) dan Humas Kejati Maluku, Aizit P. Latuconsina, yang dikonfirmasi mengatakan bahwa penanganan kasusnya sementara di dalami oleh Tim Penyelidik Bidang Pidsus.
“Kasusnya tetap jalan, dan sementara didalami oleh Penyelidik Pidsus,” singkat Aizit, kepada media ini via pesan WhatsApp (WA), Senin, 27 Mei 2024.
Menurutnya, pemerintahan keterangan terhadap pihak-pihak terkait dalam kasus tersebut, termasuk Bos PT. BPT, Franky Gaspary Thiopelus alias Kipe, akan dilakukan setelah proses pendalaman oleh Jaksa Penyelidik.
“Setelah didalami baru Jaksa Penyelidik menentukan sikap untuk memanggil pihak-pihak terkait guna dimintai keterangannya,” jelas Aizit. (TIM)