Fenomena kekerasan komunal masih saja terjadi di sekitar kita: diawali oleh persoalan pribadi, batas tanah, dan masalah kriminal di kampung lalu kemudian berkembang menjadi masalah kelompok atau suku. Mereka yang tadinya tak tahu-menahu persoalan di kampung seakan digiring dan berkembang menjadi pertikaian antarkelompok di kota. Untuk membangun kembali kehidupan sosial yang ramah tanpa kekerasan tak ada cara lain harus diikuti oleh penegakan hukum secara fungsional.
Munculnya fenomena kekerasan komunal saat ini seolah membenarkan tesis yang pernah dikemukakan oleh seorang Sosiolog IAIN Ambon DR.Abdul Manaf Tubaka, M.Si.
Dalam sebuah diskusi ia pernah mengemukakan kalau setiap kasus kekerasan komunal selalu saja muncul kesan adanya “tangan-tangan tidak kelihatan” (invisible hand) di balik kasus kekerasan yang datang “timbul” dan “tenggelam” itu. Dan, kita pun seakan tak pernah tahu akhir dari sebuah penyelesaian hukum atas konflik-konflik berbau komunal tersebut.
Tanggapan DR.Manaf Tubaka itu saya kutip dari sebuah diskusi yang diinisiasi oleh seorang aktivis Hasbolah Assel yang tidak lain Ketua Lembaga Kajian Strategi Maluku (LKSM).
Diskusi bertema: Proses Reintegrasi Sosial Pasca Konflik 1999, di Ruang Redaksi Koran Rakyat Maluku, Pertokoan Pantai Mardika, Ambon, 22 Januari 2014, itu selain DR.Manaf Tubaka ada pula pembicara DR Djantje Tijptabudy, SH, MH (Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura), dan DR.Djayanto, SH, MH (Ketua Program Studi Fakultas Hukum Universitas Darussalam).
Duduk di meja diskusi paling depan hari itu di sebelah kanan DR Manaf Tubaka. Di samping kiri DR.Djayanto dan DR. DaantjeTjiptabudi. Sementara duduk di barisan paling kanan Ketua LKSM Hasbollah Assel yang juga bertindak sebagai moderator.
Dari hasil diskusi hari itu disimpulkan bahwa penyelesaian konflik kekerasan komunal hanya bisa diredam bila hukum benar-benar ditegakkan diikuti oleh tumbuhnya rasa kesadaran bersama dan saling memberikan resonansi atau kepekaan antarorang basudara di Maluku.
Kunci penegakan hukum di sini oleh DR Manaf Tubaka dimaksudkan tidak berarti memasang pos-pos keamanan, tapi bagaimana pelaku kekerasan komunal benar-benar ditindak secara fungsional.
Kita tentu tidak boleh terlena setiap bentuk kekerasan komunal yang boleh jadi ditunggangi melalui para invisible hand, sebab bukan tidak mungkin pola semacam itu bisa menjadi pemicu konflik lebih besar. Kita tentu tidak menghendaki terjadinya kasus-kasus komunal berbau kekerasan.
Tapi, sebagai warga kota yang baik kita harus punya sensitifitas terhadap setiap kasus kekerasan melalui tangan para OTK alias “orang tak dikenal”. Boleh jadi mereka ini adalah triggle sebagai pemicu untuk memancing terjadinya kekacauan komunal.
Menghadapi proses politik Pilgub dan Pilkada/Pilwakot Nopember 2024 kita tentu harus pula membaca setiap fenomena kekerasan komunal yang melibatkan antarkelompok dan suku di tengah munculnya para tokoh atau elite-elite kita yang datang dari latar belakang berbeda dalam arena politik.
Jangan sampai konflik-konflik komunal yang kerab “timbul” dan “tenggelam” diikuti oleh kebijakan politik pemerintah seperti penggusuran dll dimanfaatkan oleh para invisible hand untuk menggerakkan sentimen kelompok.
Karena itu sebagai warga kota yang baik menuntut kepekaan kita untuk selalu membaca setiap peristiwa komunal berbau kekerasan itu.
Hal ini penting dan mengajak kita agar dalam melihat kasus-kasus kriminal yang diikuti oleh sentimen kelompok tersebut tidak menggunakan kacamata kuda, tapi harus menelaah setiap isu atau peristiwa-peristiwa kekerasan komunal secara holistik alias menyeluruh.
Karena itu menghadapi kontestasi pemilihan kepala daerah Nopember mendatang jangan sampai ada upaya-upaya untuk melakukan apa yang disebut dengan fait-accompli untuk mempetakonflikkan sesama kita.
Untuk membangun kembali hubungan sosial yang matang tentu membutuhkan proses yang panjang, namun demikian pemerintah harus punya mindset agar hubungan kekerabatan orang basudara di Maluku tidak menjadi ancaman.
Ancaman konflik berbasis kekerasan komunal, menurut DR.Dayanto, sudah mulai terlihat semenjak format tata pemerintahan kita melalui UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, UU No 32 Tahun 2004, dan UU Tahun 2005 tentang pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Sejak itulah beragam persoalan sosial muncul.
Dalam kondisi dimana sistem politik kita yang tadinya tertutup dan menjadi sistem politik terbuka — mengharuskan konstelasi politik kita yang lebih berbasis pada figur sehingga cenderung dibangun dengan mengkapitalisasi ikatan-ikatan etnis dan agama untuk menjadi sentimen politik.
Inilah yang membuat ikatan-ikatan emosional kehidupan orang basudara di Maluku menjadi hancur karena janji-janji politik lebih banyak berorientasi kepada kepentingan elite pemerintahan.
Untuk menuju reintegrasi sosial maka persoalan penegakan hukum harus mendapat porsi tersendiri. Jangan sampai pengusutan dan penegakan hukum atas kasus-kasus kekerasan komunal tidak diikuti oleh transparansi.
Kedepan kita perlu terus memberdayakan budaya dan kearifan lokal serta menumbuhkan kembali kesadaran bersama antarsesama orang basudara di Maluku.
Selain itu, yang paling penting yakni penegakan dan kepastian hukum terhadap kasus-kasus kekerasan komunal harus pula benar-benar ditegakkan agar setiap orang tidak lagi dengan mudah melakukan tindakan diluar hukum karena itu harus ada pertanggungjawaban hukum.
Kepastian hukum di sini sangatlah penting, sebab setiap harta benda yang diobrak-abrik atau setiap nyawa yang hilang harus ada pertanggungjawaban dari pemerintah.
Walau diakui pendekatan diluar hukum (non legal) yang dilakukan bisa dinilai baik, tapi harus diingat bahwa pendekatan law inforcement juga harus ditegakkan. Selama hal itu tidak ditegakkan maka sepanjang itu pula kekerasan-kekerasan komunal akan terus tumbuh di Maluku.
Pentingnya membangun kesadaran bersama menghadapi kehidupan antarsesama diikuti oleh kesadaran berpikir dan kesadaran menghargai budaya dan kearifan lokal antarsesama orang basudara di Maluku harus terus dipupuk, dijaga, dan dipelihara.
Dan, langkah terbaik membangun kembali reintegrasi sosial yang ramah tanpa kekerasan di Maluku tidak ada cara lain kita harus selalu menghindari diri dari setiap upaya adu-domba dengan cara mempetakonflikkan antarsesama kita melalui “tangan-tangan tidak kelihatan” atau apa yang disebut oleh DR.Manaf Tubaka dengan istilah invisible hand itu.(*)