Oleh: Tegar Putuhena
Sejumlah orang berkumpul di halaman Kantor Bupati Buru. Sayup terdengar teriakan pemantik semangat yang keluar dari corong pengeras suara. Lontaran kata serta puluhan pamflet bernada protes memberi warna pemandangan siang itu. Mudah saja membayangkan peristiwa ini ialah aksi demonstrasi. Tentu saja tulisan ini bukan melulu soal demonstrasi itu. Namun, berkat peristiwa itu sebuah kisah tentang penyelesaian masalah berbasis hukum yang hidup di Masyarakat Buru akhirnya tergelar.
PT Inagro Cipta Nusantara (Inagro) mendapat penolakan dari demonstran di depan Kantor Bupati Buru. Para demonstran percaya bahwa investasi Inagro hanya melibatkan masyarakat hukum adat semata alih-alih menyerap aspirasi warga Desa Bara.
Inagro adalah korporasi baru di tanah Buru. Konflik antara masyarakat Desa Bara dan masyarakat adat setempat sudah terjadi terlebih dahulu. Konflik kedua belah pihak pada tahun 2003 terpaksa sampai ke jalur hukum. Soa Gibrihi sebagai masyarakat adat menggugat Desa Bara atas klaim wilayah sepihak yang dilakukan oleh desa administratif ini. Hal ini disebabkan oleh masuknya perusahaan HPH, PT Karya Mangole.
Soa Gibrihi merasa tanah adat yang diwariskan secara turun-temurun oleh para leluhur justru dimanfaatkan dan dinikmati oleh pihak lain. Soa Gibrihi mendalilkan gugatan tentang kompensasi penebangan kayu yang diberikan oleh PT Karya Mangole kepada pihak Desa Bara ke Pengadilan Negeri Ambon. Persidangan selesai, putusan pun dijatuhkan. Hakim menyatakan menolak gugatan Soa Gibrihi, begitu pula gugatan balik (rekonpensi) yang diajukan oleh pihak Desa Bara. Sama-sama ditolak.
Ironisnya, pihak Desa Bara menganggap putusan pengadilan itu memihak mereka dan menguatkan hak kepemilikan mereka. Bagaimana bisa suatu putusan pengadilan yang amarnya “menolak” malah dijadikan sebagai dasar menguasai lahan. Nalar ahli hukum manapun pasti tak bisa terima keadaan ini, tapi itulah yang terjadi.
Hakim telah memutuskan. Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah “apakah konflik tersebut juga ikut selesai seturut ketukan palu hakim Pengadilan Negeri Ambon?” Nyatanya tidak.
Konflik kian meruncing pasca putusan. Tak ada pihak yang mau mengalah. Semuanya bertahan pada pendapatnya masing-masing. Sekian lama hal ini berlangsung tanpa solusi. Tak terhitung betapa banyak sudah darah yang tumpah di atas tanah yang sejatinya dititipkan leluhur untuk dipelihara.
Dua dekade pasca putusan tersebut konflik ini akhirnya menemui ujungnya. Namun, bukan melalui suatu mekanisme legal formil yang cenderung kaku. Konflik ini nyatanya selesai lewat sebuah pendekatan hukum adat (adatrecht). Ketegangan kedua pihak berakhir dan mereka saling menyatakan tunduk dan patuh pada Raja Leisela dus hukum adat petuanan. Konflik selesai lewat resolusi hukum adat yang tidak mampu ditembus oleh pakem-pakem hukum positif kita saat ini. Sebuah pencapaian yang patut dirayakan oleh kita, Orang Maluku.
Maluku adalah sebuah identitas tentang peranan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini hadir bukan tanpa masalah mengingat kemajemukan hukum ini menjadi tantangan tersendiri dalam politik pembangunan hukum kita yang didominasi oleh sentralisme hukum (legal centralism). Sentralisme hukum mengandaikan unifikasi hukum, kodifikasi hukum, dan uniformitas hukum dengan cap hukum nasional sebagai satu-satunya hukum yang berlaku bagi seluruh warga negara di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sialnya, kemajemukan manusia Indonesia yang terpampang jelas dalam Bhinneka Tunggal Ika hampir mustahil untuk diseragamkan via pendekatan sentralisme hukum.
Akhir dari konflik antara Soa Gibrihi dan warga Desa Bara tidak dilakukan oleh para pihak an sich. Terdapat peran negara melalui Kepolisian Resor Buru yang memfasilitasi para pihak untuk saling berunding. Mediasi ini bertujuan untuk menghormati nilai-nilai lokal yang telah diwariskan secara turun temurun sejak dahulu. Mediasi tersebut dilakukan dalam bingkai ketaatan dan kepatuhan pada struktur politik dan hukum masyarakat adat setempat yang dipimpin oleh raja. Semangat ini layak mendapatkan apresiasi setinggi langit.
Penyelesaian konflik antara Soa Gibrihi dan warga Desa Bara menjadi bukti nyata tentang efektivitas hukum adat sebagai sebuah resolusi konflik. Konflik tersebut selesai ditandai dengan ritual adat Nanlahin yang menjadi suatu kebiasaan turun temurun di kalangan masyarakat adat Buru sebelum proses penanaman hasil bumi. Dengan dipimpin oleh Raja dan pemangku adat, para pihak berkumpul. Damar dibakar seraya meminta restu Opo Lastala agar diberikan kesuburan atas tanah yang hasilnya bermanfaat hingga anak-cucu nanti. Ritual ini menjadi titik balik konflik panjang Soa Gibrihi dan warga Desa Bara.
Kendatipun sering dianggap tidak rasional, tetapi hukum adat terbukti mampu menjadi alat untuk mencapai keteraturan sosial (social order) dan ketertiban sosial (legal order).
Rasionalitas modern mungkin sulit menangkap fenomena ini. Namun, dalam realitas masyarakat adat Buru hidup sebuah konsep tentang relasi sosial yang disebut Kai-Wait. Secara harfiah Kai-Wait berarti Kakak-Adik. Hal ini menunjukkan mereka yang mendiami semua petuanandi Buru atau Bupolomemiliki relasi sosial sebagai orang dengan satu asal yang sama, yakni dari Danau Ranadan Gunung Date.
Eksistensi Kai-Wait memperkuat ikatan masyarakat adat Buru yang nyatanya sangat bersifat integralistik di tengah kemajemukan manusia yang hidup di Pulau Buru. Kemajemukan manusia juga berarti kemajemukan budaya. Kemajuan zaman berikutnya memungkinkan tumbuh beragam masalah baru yang tidak pernah dihadapi sebelumnya. Namun, eksistensi hukum adat dapat dimaknai sebagai satu bentuk rasionalitas tradisional (traditional rationality) yang beriringan dengan kemajuan zaman.
Pendekatan hukum yang terlalu kaku juga menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi mampu menjamin kepastian hukum, tapi pada sisi lain justru mengabaikan manusia sebagai subjek hukum. Jika dicermati proses penegakan hukum kita di bidang pengelolaan sumber daya alam paling tidak dalam tiga dasa warsa terakhir cenderung bersifat eksploitatif (use oriented), berpihak kepada pemodal besar (capital oriented), menutup ruang partisipasi publik serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Oleh karena itu selesainya konflik Soa Gibrihi dan warga Desa Bara adalah pukulan telak bagi pembuat hukum cum para pemilik modal yang selama ini eksploitatif, cenderung menutup diri dari masyarakat adat, serta berorientasi pada keuntungan belaka.
Pembuat hukum harus cermat dalam merespon realitas sosial dan hukum yang hidup di tengah masyarakat, sementara pemilik modal harus membuka diri terhadap hukum adat yang nyatanya mampu menjadi jalan keluar dari konflik.
Tegaknya hukum adat sebagai resolusi konflik Soa Gibrihi dan warga Desa Bara dapat menjadi contoh tentang jalan tengah kemajuan masyarakat adat yang selaras, serasi, dan seimbang menuju harmoni pembangunan manusia dan lingkungannya.