Kalau sekarang — di bulan Mei ini tiba-tiba kita menyaksikan musim angin diikuti oleh hujan, guntur, dan kilat, maka kita tentu tak perlu merasa risau.
Sebab sebelum kondisi alam di sekitar kita saat ini kembali ke titik normal akan diikuti oleh fenomena munculnya cacing-cacing laut atau biasa disebut Laor di pesisir pantai.
Salah satu kebiasaan sebelum ekosistem langka ini muncul ke permukaan biasanya selalu diikuti oleh musim pancaroba ditandai oleh gelombang laut yang tinggi atau angin yang bertiup kencang.
Saat cacing laut itu muncul warga yang tinggal di pesisir pantai memanfaatkan kesempatan langka itu untuk menangkap hewan laut ini menggunakan ayanan yang dikenal dengan sebutan: Timba Laor.
Di Ambon, Provinsi Maluku, warga yang tinggal di sekitar Tanjung Allang, Latuhalat, Rutong, Hutumuri, atau mereka yang ada di Kepulauan Banda juga mengenal tradisi Timba Laor ini sebagai agenda tahunan.
Laor atau dalam dunia akademik dikenal dengan nama Latin Polychatea adalah sejenis ular laut yang muncul setiap pergantian musim antara April-Mei-Juni.
Cacing laut adalah salah satu fauna dari filum Annelida.
Mengutip mongabay.co.id 2023, disebutkan bahwa hewan laut ini paling dominan di komunitas makrozoobentos atau ekosistem di dasar perairan jika dilihat dari jenis maupun jumlahnya.
Pelaut-pelaut dan nelayan kita yang tinggal di kepulauan nun di Loloda Kepulauan di Jazirah Utara, Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara sangat paham terhadap perubahan iklim alam ini ditandai oleh munculnya Laor ke permukaan laut yang biasanya terjadi pada bulan April, Mei, dan Juni, itu.
Mereka ini mengerti bila musim angin dan hujan diikuti oleh gelombang laut di bulan Mei ini pertanda akan muncul hewan langka itu.
Sebelum cacing-cacing laut ini muncul ke permukaan air laut berarti kondisi di lautan belum aman bagi mereka para nelayan dan nakhodah kapal untuk berlayar.
Sejak moyang mereka — laut sudah menjadi bagian penting dari kehidupan. Mereka sangat memahami kondisi di lautan sebelum berlayar termasuk membaca arah angin.
Kapan posisi air laut saat pasang atau surut dan bagaimana membaca arah angin menjadi bagian penting oleh para nelayan kita di sana.
Dalam gambar dan video yang diunggah salah satu follower saya atas nama Mmyati Baba dan Ulfa Muhammad malam itu pernah memperlihatkan bagaimana warga di sana begitu antusias menelusuri pantai “menangkap” Laor menggunakan ayanan tak jauh dari kampung mereka di Desa Dagasuli, Pulau Dagasuli, Kamis, (11/5/23).
Tradisi yang telah berlangsung turun-temurun yang juga banyak ditemui di beberapa tempat di Tanah Air itu tergolong unik dan terus diabadikan hingga sekarang.
Hal yang sama bisa pula ditemui di depan Kota Tobelo, ibukota Kabupaten Halmahera Utara, tepatnya di Pulau Tolonuo.
Mengutip Hutchings (1998) yang dilansir greeners.co sebagaimana yang direlease mongabay.co.id disebutkan sebaran cacing laut ini sangat luas, mulai dari daerah pasang surut laut dalam.
Hingga saat ini, lebih dari 10.000 jenis diantaranya telah dideskripsikan dari perkiraan 25.000-30.000 jenis cacing laut.
Disebutkan, makrofauna ini juga hanya dapat bertahan hidup selama tidak lebih dari dua tahun.
Sejumlah spesies bahkan memilliki jangka hidup lebih pendek yaitu sekitar 30-45 hari. Cacing laut dapat hidup di berbagai habitat seperti dasar berlumpur, berpasir dan berbatu.
Dari hasil penelitian dosen UNPATTI Sintje Liline sebagaimana termuat dalam Jurnal Ilmiah Biopendix, 2017, mengatakan masyarakat Maluku khususnya Pulau Ambon telah mengenal dan mengonsumsi cacing laut sejak dahulu.
Laor, menurutnya, merupakan salah satu biota khas perairan Maluku atau dikenal dengan sebutan cacing Laor. Hewan lunak ini muncul di permukaan air sebanyak satu kali dalam setahun saat malam purnama maupun beberapa hari setelahnya.
Sementara Radjawane dalam penelitiannya 1982 menulis, Laor adalah hewan yang hidup berkoloni dan harus tetap berada di lingkungan air laut dengan kadar garam yang tinggi agar tidak membusuk.
Hewan ini biasanya ditangkap oleh penduduk lokal di pantai berkarang menggunakan seser tradisional dan dijadikan bahan pangan tradisional.
Walaupun hidupnya di perairan atau di kepulauan, tidak semua mereka yang menetap di pinggiran laut di Maluku bisa menyaksikan munculnya hewan langka yang tergolong unik karena selalu mengikuti perubahan iklim pada air laut yang diikuti hujan, kilat, dan guntur.
Sejak kecil saya sudah mengenal dekat kebiasaan orang-orang tua dulu pergi menimba Laor di Kepulauan Loloda khususnya di Desa Dagasuli, itu.
Tradisi ini seolah menguatkan sebuah adagium: Jangan mengaku anak pelaut kalau belum pernah menikmati hewan langka ini: Laor.
Dan, bagi Anda yang mengaku anak nelayan keberadaan hewan laut bernama Lawor ini tentu bukan hal baru.
Tradisi Timba Laor ini tak saja membuat kita bisa ikut menyaksikan bagaimana mereka menimba ular laut ini dicelah-celah batu.
Tapi saat yang sama kita juga bisa menikmati dan merasakan lezatnya hewan laut yang rasanya enak dan gurih baik yang digoreng ataupun diasapi. Umumnya cacing ini diolah oleh masyarakat dengan cara digoreng, dipepes, dan digarami.
Dari beberapa literatur diketahui cacing laut ini memiliki kadar proteinnya yang tinggi.
Dari sudut kosmologi, membaca fenomena munculnya Laor diikuti perubahan iklim pada air laut, angin, kilat dan guntur dalam bahasa lokal disebut “nonako”. Atau dalam bahasa kosmologi dikenal sebagai “pertanda” atau isyarat.
Agar mereka tak kehilangan arah saat berada di laut lepas, gunung dan tanjung juga bisa menjadi “pertanda” atau “nonako”.
Supaya tidak kehilangan arah saat musim angin atau gelombang, pun saat menangkap ikan di dasar laut gunung dan tanjung juga bisa menjadi “nonako”.
Para orang kita di kampung percaya munculnya Laor di bulan April, Mei, dan Juni, merupakan pertanda atau dalam terminologi kosmologi dikenal sebagai bagian dari isyarat atau hukum alam.
Di saat Laor menghilang para nelayan dan pelaut kita barulah diizinkan bisa kembali berlayar untuk melanjutkan perjalanan karena di saat itulah akan diikuti oleh arus laut yang tenang.
Laor itu memang makhluk Tuhan, tapi kehadirannya sebagai pertanda atau nonako tak lain menuntun kita untuk bisa membaca fenomena alam yang terjadi di sekitar kita terkait perubahan iklim yang selalu terjadi pada bulan April, Mei dan Juni, itu.
Dari Laor kita tak saja menikmati lezat dan gurinya hewan laut ini dengan memanfaatkannya sebagai pangan tradisional karena dipercaya mengandung banyak protein. Tapi dari Laor pula para nelayan atau pelaut kita bisa lebih banyak belajar dan membaca tentang kondisi alam di sekitar kita.(*)