Jika tak ada aral Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) bakal punya doktor pertama yang akan diwisuda Mei 2024. Ia tak lain bernama: DR. Yusup Laisouw.
Dosen IAIN Ambon ini merupakan salah satu doktor jebolan pertama UKIM sejak Program Doktoral Studi Teologi untuk Konsentrasi Agama dan Kebangsaan dibuka tahun 2019.
Bertindak sebagai Promotor Prof.Dr. Aholiab Watloly, S.PAK., M. Hum, Ko Promotor I Prof. Dr. La Jamaa, M. HI, dan Ko Promotor II Dr. Simon Pieter Soegijono, SE., M. Si.
Ikut hadir saat itu Rektor UKIM Dr. Hengky Herson Hetharia, M.Th, Direktur Program Doktoral UKIM Prof. Dr. Johny Ch. Ruhulessin, S.Th., M.Si, dan Prof. Agustinus M.L. Batlajery, Ph.D selaku sekretaris, para dosen Program Pascasarjana Program Teologia Agama dan Kebangsaan dan segenap civitas akademika UKIM Ambon.
Dalam disertasi setebal 165 halaman itu ia menjadi doktor pelopor pertama UKIM yang mengambil judul unik: Ijtihad Muhammadiyah dalam Problem Kontemporer di Kota Ambon Kajian Agama dan Kebangsaan.
“Disertasi saya itu tadinya lebih 300 halaman, tapi karena dipangkas jadi tinggal 165 halaman,” ujarnya.
Bagi Dr. Yusuf Laisouw, menghadapi perkembangan di tengah kehidupan modernitas masyarakat yang kerab mengundang problem terkait masalah gender, femenisme, dan pluralitas itu membutuhkan kearifan kita semua dalam memahami makna-makna yang tersirat dalam keagamaan sejauh nilai-nilai itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Itulah pentingnya ijtihad. Ijtihad di sini punya konotasi yang secara etimologi mempunyai makna untuk mencurahkan segenap kemampuan. Sedangkan kata Muhammadiyah dari sudut pandang bahasa Arab berarti pengikut-pengikut Muhammad SAW.
“Jadi, ijtihad Muhammadiyah di sini memiliki makna melakukan perubahan pemahaman terhadap umat Islam pada nilai-nilai keagamaan yang tidak relevan dengan perkembangan sejauh tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasul,” ujar DR.Yusuf Laisouw dalam perbincangannya, Minggu, (5/5/24).
Mengutip pemikir Islam kontemporer DR.Yusuf Qardawi ia menilai persoalan ijtihad Muhammadiyah dalam konteks keindonesiaan sangat strategis dalam menjawab problem keummatan terutama berkaitan dengan gender, femenisme, dan pluralisme.
Sebab ijtihad sendiri merupakan faktor penting dalam pembinaan dan pengembagan hukum Islam.
Ijtihad mengutip H.Fathurahman Djamil dalam bukunya: Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah (1995) disebutkan tidak lain untuk menjawab masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat yang belum diketahui status hukumnya.
Begitu pentingnya peran ijtihad dalam konstelasi hukum Islam, sehingga ada ulama yang menegaskan bahwa tidak boleh suatu masalah itu vakum dari ijtihad (mujtahid).
Di hadapan dewan penguji DR.H.Hasbollah Toisuta, dan DR.Abidin Wakano di Kampus UKIM, Rabu (13/12/23), DR.Yusuf Laisouw kelahiran Desa Larike, Kabupaten Maluku Tengah, 6 September 1973, itu memaparkan alasan pentingnya ijtihad karena secara sosiologis selalu ada yang namanya perubahan.
Akibat kemajuan ikut mempengaruhi pola pikir dan tata nilai yang ada dalam masyarakat. Semakin maju cara berpikir suatu masyarakat, semakin terbuka bagi kita untuk menerima kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagi umat beragama, khususnya Islam, realitas ini dapat menimbulkan masalah terutama bila hal itu dihubungkan dengan norma-norma agama.
Di sini diperlukan pemecahan atas suatu masalah sehingga ijtihad Muhammadiyah dapat dibuktikan dengan cara yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah.
“Sebaliknya dapat diterima bahwa ijtihad Muhammadiyah sesuai untuk setiap masyarakat di mana dan kapanpun mereka berada,” ujarnya.
Dalam konteks Piagam Madinah yang dicetuskan Nabi Muhammad tiga masalah ini: gender, femenisme, dan pluralisme sudah menjadi fokus perhatian sang nabi sejak beliau melakukan perjanjian dengan kelompok masyarakat yang bertikai antara Suku Auz dan Suku Azra di kota yang sebelumnya bernama Yastrib itu.
“Dalam bahasa berbeda Nabi Muhammad sudah menanamkan prinsip-prinsip kesetaraan, kesamaan hak dan kewajiban dari setiap suku,” ujarnya.
Dulu, kata DR.Yusuf Laisouw, tidak ada istilah gender, femenisme dan pluralisme tapi dari Perjanjian Madinah hari ini kita mengenal istilah prinsip egalitarisme pertama di dunia yang dicetuskan oleh Nabi Muhammad yang dirangkum dalam 47 pasal perjanjian yang dinilai sangat monumental dalam sejarah peradaban dunia yang telah dicetuskan 1.500 tahun lalu.
Mencermati realitas masyarakat muslim belakangan ini, ditemui adanya berbagai permasalahan yakni gender, feminisme dan pluralisme perlu dijawab.
Ketika umat Islam diperhadapkan dengan permasalahan-permasalah tersebut, muncul pandangan yang saling bertentangan misalnya ada yang setuju dengan konsep gender, feminisme dan pluralisme namun ada pula yang menolaknya.
“Realitas ini perlu disikapi dan dicari solusi jawaban yang dapat memberikan kepastian bagi umat sehingga mereka tidak ragu dalam bertindak,” ujarnya.
Ia berpendapat dalam konteks keindonesiaan keberadaan ijtihad Muhammadiyah sangatlah strategis untuk menjawab problem-problem kontemporer keindonesiaan yang terjadi dalam masyarakat muslim.
Dalam konteks Kota Ambon, kita tentu tak lupa pula membahas persoalan kontemporer saat ini. Sebab permasalahan keagamaan dan kebangsaan di kota ini selalu diwarnai oleh adanya perbedaan problem kekinian yang pelik, kompleks, dan dinamis seperti masalah pluralitas, gender, pun konflik komunal yang pernah dihadapkan pada sejarah pilu yang cukup memprihatinkan. Dan, Kota Ambon pasca konflik (1999-2005), telah menambah lapisan-lapisan problem kontemporer.
Kota Ambon menjadi migran yang sarat kemajemukan agama, bangsa, budaya, dan bahasa dengan warna-warni yang khas menghadirkan sejumlah permasalahan sosial.
Dalam konteks yang demikian, Muhammadiyah Kota Ambon tertantang untuk dapat melakukan ijtihad Muhammadiyah secara serius dan nyata untuk merekatkan bangsa dan rasa kebangsaan kita serta menciptakan jalinan dialektis yang saling isi-mengisi antara agama dan budaya Indonesia dan Kota Ambon.
“Kehadiran Islam dengan gerakan ijtihad Muhammadiyah ini telah menjadi kohesi dan identitas sosial bagi masyarakat, meskipun terdapat kontradiksi pemikiran dalam menyikapi berbagai masalah kontemporer yang muncul di kalangan umat muslim dewasa ini di Kota Ambon,” ujarnya.
DR. Yusuf Laisouw adalah aktivis tulen Muhammadiyah Maluku sudah lama saya kenal. Dari seorang aktivis pada Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Maluku, Pemuda Muhammadiyah hingga menjadi Pengurus Wilayah Majelis Dikdasmen Muhammadiyah Maluku.
Perkenalan pertama saya ketika itu pada 1999 saat ia merangkap menjadi politisi sebagai Sekretaris Wilayah Partai Bintang Reformasi (PBR). Partai politik yang dibidani KH.Zainuddin MZ itu awalnya berdiri tahun 1999.
Di Ambon ia bersama H.Lutfi Sanaky, SH, MH bertindak sebagai pelopor PBR. “Tadinya kami di PPP tapi kemudian oleh Pak Lutfi mengajak saya ke PBR sebagai sekretaris wilayah,” ujarnya.
Ia mengaku tadinya tidak berminat menjadi akademisi sebagai dosen. Dan, sebagai politisi ia pernah mencalonkan diri menjadi kandidat anggota dewan untuk DPRD Kabupaten Maluku Tengah.
Dalam perjalanannya sang istri keberatan jika ia harus terjun ke politik. Alasan sang istri kala itu karena menjadi politisi dan sebagai anggota dewan tidak punya kepastian masa depan.
“Sebentar terpilih, tahun berikutnya berjuang lagi. Sejak itu, saya pun banting setir mengikuti saran istri untuk melamar sebagai dosen di IAIN Ambon,” ujar suami dari NS.Marini Tidore, S.Kep, M.Kes yang juga dosen Politeknik Kesehatan Ambon, itu.
Setelah lolos sebagai dosen ia kemudian mengikuti program magister, juga aktif di PW Muhammadiyah Maluku dan di lembaga sosial Badan Immarat Muslim Maluku (BIMM) yang dibidani Almarhum KH.Ali Fauzi hingga terlibat dalam ajang proses rekonsialiasi konflik Maluku di Malino, Jogya, Jakarta, hingga studi di Belanda.
Untuk mengikuti Program Pendidikan S2 di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, ia mendapat beasiswa dari Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM).
“Atas kebaikan Ketua Sinode Prof Dr John Ch Ruhulessin saat itu saya pun bisa mendapat beasiswa untuk mengambil S2 di UKSW Salatiga,” ujarnya.
Ia merasa bersyukur dengan biaya sendiri kini dia bisa menyelesaikan S3 di UKIM Ambon. “Untuk menyelesaikan disertasi ini saya harus jatuh sakit. Tapi alhmadulillah semua ini bisa dilalui dengan baik,” ujarnya.
DR.Yusuf Laisouw dan NS. Martini Tidore, S.Kep, M.Kes dikarunia tiga orang anak yakni: Asyari Laisouw kuliah pada Fakultas Hukum Pidana Islam IAIN Ambon, Rahmawati Laisouw kuliah pada Politeknik Kesehatan Kebidanan Ambon, dan Zakiyah Asmawati Laisouw santriwati pada Pondok Pesantren Gontor di Jatim.(AHMAD IBRAHIM)