Euforia Pilgub Maluku selalu saja menyita publik. Seperti juga di tempat lain sentimen ketokohan juga sebagai simbol atau icon perlawanan dari seorang calon kepala daerah kerab pula menyita perhatian tidak saja bagi pendukung tapi juga lawan politik.
Fenomena ketokohan kepala daerah yang dimaksud bukan untuk Pilgub September 2024, tapi yang diceritakan di sini sosok seorang Cagub Maluku pada Pilgub 2013 bernama Abdullah Vanath.
Vanath yang berpasangan dengan Cawagub Janes Maspaitela adalah sosok fenomenal.
Akankah deman Vanath yang pada Pilgub Maluku September 2024 mendatang berpasangan dengan Cagub Febry Calvin Tetelepta yang tidak lain Deputi I Kantor Staf Presiden Republik Indonesia untuk Bidang Infrastruktur, Energi, dan Investasi akan sehebat sebagaimana ketika dia menjadi Cagub 2013 melawan pasangan Said Assagaff-Zeth Sahuburua (SETIA)?
Mungkinkah kepiawaian politik mantan bupati Kabupaten SBT dua periode itu akan setenar sebagai simbol perlawanan masyarakat Pulau Seram? Entalah.
Yang pasti, kala itu demam Vanath telah menjadi pembicaraan warga dan terasa merata di sudut-sudut nun di Pulau Seram. Vanath menjadi simbol “perlawanan” baru dan sebagai icon mewakili masyarakatnya yang selama ini merasa termarginalkan itu.
Selama sepekan saya melintasi Pulau Seram dalam perjalanan menuju Kota Bula, ibukota Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Senin, (9/12/13), suasana politik menanti kemenangan Vanath yang memilih jargon DAMAI melawan pasangan SETIA pada putaran kedua, Sabtu, (14/12/13), begitu kencang.
Di terminal angkutan penumpang lintas Pulau Seram tempat dimana Cagub Vanath berkiprah perdebatan soal posisi suara yang diraih tokoh pemekaran Kabupaten SBT itu menjadi bahan perdebatan.
Walau informasi perolehan suara Pilgub Maluku yang dirilis lembaga survei Konsultan Citra Indonesia-Lembaga Survei Indonesia (KCI-LSI) telah menempatkan kemenangan posisi pasangan SETIA berada pada angka suara 51,05 persen dan pasangan DAMAI menempati 48,95 persen suara tidak membuat para pendukung Vanath yakin kalah.
Keyakinan mereka itu tergambar dari jumlah perolehan suara yang diraih Vanath di empat kabupaten yakni Kabupaten SBT, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), dan Kabupaten Kepulauan Aru, peluang Vanath untuk menang sangat terbuka.
Meski belum direkapitulasi oleh KPU Maluku siapa pemenang namun mereka tetap percaya jagoan mereka ini lolos meraih kursi gubernur Maluku periode 2013-2019.
Sebenarnya, dilihat dari angka, peluang kemenangan DAMAI atas SETIA sangatlah kecil jika dibandingkan dengan data yang dirilis KCI-LSI pimpinan Barkah Pattimahu itu.
Sebab bila dirata-ratakan perolehan suara dari 11 kabupaten/kota, tujuh kabupaten dan dua kota di Maluku perolehan suara SETIA justeru jauh lebih unggul.
“Kita tunggu saja hasil rekapitulasi KPU Maluku. Namun saya katakan jangan lagi kita bermimpi Pak Vanath menang. Betul Pak Vanath menang di empat kabupaten di Pulau Seram dan Kepulauan Aru, tapi jangan lupa kantong-kantong kemenangan Pak Vanath jumlahnya relatif tidak merata di semua kabupaten/kota, maka katong (kita,red) jangan berkhayal,” ujar salah seorang pendukung Vanath di Dermaga Fery Waipirit, Pulau Seram, Minggu, (15/12/13).
Dia menggambarkan pertarungan Vanath dalam Pilgub putaran kedua itu ibarat Perang Teluk ketika pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat (AS) menyerang Irak. Vanath diserang dari berbagai sudut.
“Posisi Pak Vanath sama dengan Perang Teluk, dia diserang dari berbagai penjuru. Kantong-kantong kemenangan Pak Vanath bukan di wilayah yang penduduknya padat tapi justeru di daerah yang jumlah penduduknya relatif sedikit,” ujarnya.
Klaim kemenangan Vanath sangat terasa di Pulau Seram, sebab di sinilah kantong suaranya paling mendominasi. Vanath dalam berbagai kesempatan memang menjadi sosok yang dikagumi karena dia kerab memperjuangkan hak-hak keterisolasian orang-orang Pulau Seram dalam kancah politik.
Begitu pun isu anak adat asal Pulau Seram yang menjadi jualan utama kampanye Vanath benar-benar menyita perhatian warga di sana sehingga menjadi salah satu tema yang ikut pula mendongkrat popularitasnya.
Pola pendekatan semacam itu ternyata jauh lebih mengakar dan menyentuh “jantung” masyarakat sehingga tak heran di mana-mana mampu memukau kedua pasangan ini Vanath-Maspaitella ke kancah politik lima tahunan.
Namun sayang, sebagaimana juga yang disampaikan KCI-LSI, gaung politik Vanath itu hanya terasa di Pulau Seram saja, namun diluar sana isu tersebut tidak mampu mendongkrat popularitas Vanath.
Itu pula yang dirasakan warga di luar Pulau Seram. Muncul kesan kemenangan Vanath ini ada semacam “perlawanan” dari orang-orang Seram saja karena mereka merasa diabaikan dalam pertarungan politik maupun dalam jabatan-jabatan politik pemerintahan.
Yang mengherankan adalah jika selama ini Vanath sangat “bermusuhan” dengan bekas induk pemerintahannya di Kabupaten Maluku Tengah semasa dijabat Bupati Abdullah Tuasikal (yang kemudian diganti kakaknya Abua Tuasikal), namun dalam Pilgub putaran pertama dan kedua massa pendukung di Malteng justeru beralih arah mendukung Vanath dengan angka perolehan suara yang cukup fantastis.
Dari data yang diperoleh pada Tim Pemenangan Vanath, di Kabupaten Maluku Tengah DAMAI meraih 50,7 % dengan jumlah 297.437 suara. DAMAI 83.529 suara sedangkan SETIA 67.184 suara.
Di Kabupaten SBB suara yang diraih 63,6 %, dengan jumlah 130.806 suara, DAMAI meraih 46.863, sedangkan SETIA 36.328 suara.
Sementara di “sarang” Vanath Kabupaten SBT suara yang diraih DAMAI 74,9 %, dengan rincian 89.639 suara. DAMAI meraih 52.570 suara sedangkan SETIA 14.611 suara.
Di luar Pulau Seram, di Kabupaten Kepulauan Aru dari total jumlah suara 45,6 % atau 57.222 pemilih DAMAI meraih 14.693 suara sementara SETIA 11.424 suara.
Yang tak kalah menariknya, jika selama ini Bupati Kabupaten SBB Jacobus Puttileihalat yang menjadi musuh “bebuyutan” karena telah melengserkan Vanath dalam perebutan Ketua Partai Demokrat Maluku maupun di saat-saat perebutan rekomendasi pencalonan gubernur yang memaksakan Vanath “dikudeta” lantaran tidak mendukung kebijakan DPP Partai Demokrat yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono yang juga adalah Presiden RI itu, justeru berbalik haluan mendukung Vanath di menit-menit terakhir pemilihan. Perolehan angka DAMAI yang signifikan di Kabupaten SBB tak lepas dari dukungan Jacobus.
Hingga memasuki hari ketiga pasca Pilgub, pembicaraan seputar siapa gubernur Maluku masih hangat menjadi bahan pembicaraan di Pulau Seram.
Di ibukota Kabupaten SBT, Kota Bula, misalnya, dari tukang ojek hingga pejabat pemerintahan ramai-ramai berdebat soal jagoan mereka.
“Kita pusing, orang SETIA bilang mereka menang. Orang DAMAI mengklaim juga menang. Dari pada pusing kita tunggu saja keputusan KPU Maluku,” ujar Ny. Ani yang semobil dengan saya saat melintasi Trans Seram hari itu.
Klaim kemenangan tersebut membuat kedua pendukung itu serentak berpawai mengelilingi Kota Bula, Minggu, (15/12/13).
Diawali dari massa pendukung SETIA, seketika mereka melakukan long march di ibukota penghasil minyak itu. Tak berapa lama kemudian barulah menyusul pendukung DAMAI melakukan hal serupa. Tidak ada insiden, tak ada benturan, pawai berjalan aman dan tertib. Pawai kemenangan DAMAI juga digelar pada hari berikutnya, Senin, (16/12/13).
Di Kantor Bupati SBT, dan Kantor DPRD Seram Bagian Timur, pembicaraan soal jumlah suara Pilgub Maluku juga dijumpai hal serupa. Di sudut-sudut gang dan ruang depan kantor bupati dan dewan, pejabat dan pegawai golongan rendahan berkerumun membicarakan hasil Pilgub Maluku. Demam Pilgub kali ini benar-benar menerabas semua lintas suku, pejabat, pegawai, hingga tukang ojek.
Sayang figur yang dielu-elukannya itu seolah terkesan hanya menjadi sosok dan milik orang Seram saja. Vanath seakan bukan menjadi milik bagi semua orang di Maluku dari Bursel hingga Aru atau dari Lisabata hingga Wetar.
Vanath benar-benar —sebagaimana yang dikatakan Walikota Ambon Richard Louhenapessy ketika dimintai komentar seputar sosok calon gubernur Maluku beberapa waktu lalu— sebagai salah satu calon gubernur yang masuk kategori “jago kandang”.
Artinya, mereka ini hanya menjadi figur atau tokoh bagi wilayahnya saja. Mereka bukan menjadi representasi bagi semua warga di Maluku. Padahal kita tahu Maluku yang memiliki aneka ragam suku, agama, budaya, warna politik, dan letak geografis kepulauan yang beragam itu, membutuhkan figur yang bisa menjadi pemersatu bagi semua orang di Maluku. Bukan sosok sebagaimana yang disinyalir Walikota Ambon Richard Louhenapessy “jago kandang”.
Yakni figur tersebut harus benar-benar mampu mengayomi, tidak memiliki resistensi tinggi, figur yang oleh bahasa ilmiah disebut sebagai sosok egaliter. Figur penengah yang menjadi milik bagi semua orang dan golongan di Maluku dari Lisabata hingga Wetar dan dari Bursel hingga Aru.
Akankah demam Vanath dalam Pilgub Maluku September 2024 sebagai Cawagub berpasangan dengan Cagub Febry Calvin Tetelepta tetap menjadi simbol perlawanan baru dari Pulau Seram? Kita tunggu!!!(AHMAD IBRAHIM)