Sebuah diskusi bertema: Penguatan Wawasan Kebangsaan untuk Wartawan di Kota Ambon Jelang Pemilihan Kepala Daerah 2024, digelar pekan lalu oleh Ameks Institute di Graha Ameks, (13/3/24).
Tampil sebagai pemateri dalam acara itu adalah Walikota Ambon Bodewin Melkias Wattimena. Juga ada akademisi Fakultas Sospol UNPATTI Dr.Said Lestaluhu, M.Si dan wartawan senior Novi Pinontoan.
Walikota mengakui sebagai salah satu pilar demokrasi selain eksekutif, legislatif dan yudikatif, pers memiliki peran dalam rangka menjaga dan mewujudkan demokrasi.
Dalam sebuah negara demokrasi pers telah menjadi penopang menjaga integrasi bangsa, meski di sisi lain di luar sana ada juga yang tidak lepas dari pengaruh kepentingan.
Karena itu di mata Walikota Bodewin Wattimena perlunya penguatan wawasan kebangsaan sebagai wujud dari tanggung jawab kita sebagai warga negara menjadi sangat penting dalam mendalami peran kita demi tujuan bangsa yang lebih besar.
Workshop Penguatan Wawasan Kebangsaan untuk Wartawan ini tentu memperkuat cara pandang kita untuk bagaimana memahami posisi, kedudukan, peran dan tanggungjawab kita untuk bersama-sama keempat pilar kebangsaan dalam menjaga, mempertahankan, dan melestarikan menuju ke arah perbaikan demokrasi.
Pers dalam konteks ini bisa menjadi penyeimbang, objektif, dan independen untuk selalu menjaga integrasi bangsa di tengah perbedaan kepentingan pada ketiga lembaga itu.
Pers dalam hal ini dianggap ikut memberikan kontribusi dalam rangka mewujudkan demokrasi di Indonesia. Karena dari ketiga lembaga ini, belum tentu kita bisa mewujudkan demokrasi yang baik sebab masing-masing punya orientasi kepentingan yang berbeda.
“Di sini pers bisa memainkan peran dengan tetap mengedepankan sikapnya yang objektif dan independen,” ujar Walikota Bodewin Wattimena.
Dengan memahami wawasan kebangsaan kita akan bertindak objektif dalam pemberitaan dan akan terpanggil bersama untuk membangun Kota Ambon yang kita cintai ini.
Gagasan Walikota Ambon ini tentu menjadi catatan bagi kita untuk terus memperkaya wawasan kebangsaan di tengah munculnya kebebasan pada alam demokrasi yang oleh pengamat politik UNPATTI Said Lestaluhu dikatakan tengah berada dalam iklim liberal itu.
Fenomena komunikasi massa yang berkembang secara massif di tengah alam demokrasi yang liberal saat ini menurut akademisi Said Lestaluhu memungkinkan bahwa pada era post truth ini semua orang punya hak yang sama.
Karena itu dalam rangka penguatan wawasan kebangsaan dan pentingnya menjaga integrasi bangsa dalam suasana kebebasan demokrasi peran pers mainstream harus lebih optimal.
Semalam saya mencoba menghubungi akademisi UNPATTI Said Lestaluhu meminta tanggapannya terkait materi workshsop itu.
Said Lestaluhu mengajak kita menghadapi masyarakat di era post truth saat ini pers harus memperkuat perannya sebagai pilar keempat demokrasi.
Wartawan jangan sampai dimanjakan menghadapi era post truth dan tidak boleh dimanjakan oleh medsos.
Menghadapi masyarakat di tengah tingkat literasi yang masih rendah pers mainstream harus menjadi pilar utama menjaga tegaknya demokrasi. Mengedepankan isu-isu kebhinekaan dan menjunjung tinggi integrasi masyarakat.
Menghadapi Pilkada 2024 nanti pers mainstream harus mengedepankan sikapnya yang toleran, walau tidak dipungkiri bahwa sebagai industri pers juga bisa terkooptasi oleh kepentingan elite dan oligarki.
Yang pasti pada era ini tidak bisa diingkari bahwa telah terjadi polarisasi setiap individu. Akibat pengaruh medsos setiap kita punya pandangan menurut masing-masing individu yang belum tentu sama dengan yang lain.
“Itulah fenomena post truth. Semua orang merasa benar. Benar menurut mereka, dan belum tentu benar menurut orang lain,” ujarnya.
Pengalaman menghadapi Pilpres dan Pileg kemarin menjadi bukti bahwa di antara perbedaan soal kalah dan menang menurut mereka relatif.
“Menang menurut saya, tapi belum tentu bagi yang lain. Simpang siur soal perhitungan jumlah suara Pilpres dan Pileg yang diumumkan KPU melalui Sirekap menjadi bukti bahwa kebenaran itu sesuatu yang relatif. Benar menurut saya, tapi belum tentu benar bagi yang lain,” ujarnya.
Di sini peran pers dalam rangka penguatan wawasan kebangsaan, menjaga integrasi, dan kebhinekaan oleh media mainstream sangat diperlukan.
Pers mainstream tidak boleh larut dalam suasana kebebasan medsos, tapi sebaliknya pers harus membangun sinergitas dengan memperkuat konvergensi media dengan cara membangun jaringan pada semua konten online seperti TikTok, Youtube, Fb, Instagram dll.
Menghadapi kehidupan masyarakat yang heterogen seperti di Kota Ambon media mainstream harus menjadi pilar demokrasi, menjaga keutuhan integrasi sosial dengan mengedepankan semangat kebangsaan dan kebhinekaan dari isu-isu yang sengaja dimainkan di tengah kebebasan medsos yang liberal.
“Kita di Ambon ini terlalu sensitif dengan isu-isu yang berbau SARA. Karena itu media mainstream harus mengambil peran,” ujarnya.
Bila ada informasi yang simpang siur media mainstream harus menjadi penengah. Mengechek dan mengklarifikasi atas isu-isu yang tidak benar. Selalu mengedukasi dan mempersatukan masyarakat di tengah keragaman.
Atau dalam bahasa Pers Pancasila pada era Orde Baru dikenal dengan istilah pers yang menjunjung tinggi wawasan kebangsaan, menjaga nilai-nilai agama, persatuan, dan keadilan sosial.(*)