Membaca buku karya sejarawan Belanda Marjolein van Pagee berjudul: Genosida Banda, Kejahatan Kemanusiaan Jan Pieterszoon Coen, terbitan Januari 2024, mengingatkan kita sebuah peristiwa kelam terbunuhnya 15.000 warga Banda atas perintah Gubernur Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen.
Dalam sesi diskusi grup bertema: Genosida Banda yang digagas Komunitas Wandan yang tidak lain adalah warga asli Banda hari itu, penulis buku Marjolein van Pagee menilai kekejaman Belanda melalui Jan Pieterszoon Coen dengan alasan untuk penguasaan ekonomi pala dan cengkeh di tangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tidak lebih seperti apa yang terjadi di Palestina saat ini.
“Jadi, pembunuhan yang dilakukan Jan Pieterszoon Coen atas warga Banda sejak 403 tahun lalu tidak ubahnya dengan genosida yang saat ini dilakukan oleh Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu atas warga Gaza di Palestina,” ujar Jolein van Pagee.
Meski telah melakukan genosida, tapi tidak sepenuhnya Jan Pieterszoon Coen berhasil memusnahkan penduduk asli Banda. Setelah baru saja kembali dari Kepulauan Kei ternyata Marjolein van Pagee menemukan bahwa Komunitas Wandan itu ada.
“Kalau selama ini ada anggapan dari para sejarawan kontemporer di Belanda bahwa Komunitas Wandan itu sudah lenyap atau musnah di tangan Jan Pieterszoon Coen sebagaimana yang ditulis dalam literatur-literatur Belanda itu tidaklah benar,” ujarnya.
Jolein van Pagee hari itu, Sabtu, (2/3/24), baru saja tiba dari Banda Ely, Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara, ikut menjadi pembicara dalam peluncuran bukunya itu.
Ia diundang oleh para intelektual Wandan sebuah komunitas asli Pulau Banda yang dalam sejarah moyang mereka dulu yang oleh Jolein van Pagee menyebutkan adalah “diaspora” Banda yang hijrah ke Kepulauan Kei jauh sebelum peristiwa genosida terjadi akibat kekejaman Jan Pieterszoon Coen.
Kehadirannya pagi itu bersama Komunitas Wandan di Kafe Renovi, Ambon, tidak lain ia ingin membedah bukunya yang kini banyak ditantang oleh kalangan sejarawan kontemporer dan aktivis di Negeri Kincir Angin itu.
Marjolein van Pagee yang dikenal sebagai sejarawan Belanda itu memang baru saja kembali dari sana nun di ujung timur Indonesia.
Marjolein van Pagee yang lahir 1987 adalah seorang fotografer dan sejarawan yang menyelesaikan master dalam Sejarah Kolonial dan Global di Universitas Leiden.
Marjolein adalah seorang penulis opini untuk The Jakarta Post, pendiri Histori Bersama. Karyanya berjudul Banda: De Genocide van Jan Pieterszoon Coen adalah buku pertamanya yang diterbitkan kali pertama pada April 2021 di Belanda yang kemudian diterjemahkan Komunitas Bambu ke dalam bahasa Indonesia. Pada 9 November 2023 terbit buku keduanya yang berjudul Bung Tomo: De Revolutievan 1945.
Kedatangannya ke Kepulauan Kei untuk melihat langsung Komunitas Wandan yang telah lebih 400 tahun lalu menandai perpindahan komunitas asli Pulau Banda menyusul kekejaman Belanda melalui tangan VOC.
Saya tentu berterima kasih atas undangan Jolein van Pagee untuk menghadiri diskusi pagi itu. Sebelumnya, saya juga berterima kasih buat akademisi UNPATTI yang juga putra Wandan DR. Ruku R Borut atas kiriman buku karya Marjolien van Pagee.
Saya tadinya ingin mewawancarai Jolein via telepon terkait terbitnya buku ini, namun ia mengabari kalau saat itu ia sedang berada di Banda Ely.
“Kalau Anda mau kita bisa bertemu pada acara diskusi buku saya di Ambon. Kebetulan saya saat ini ada di Kepulauan Kei,” ujarnya saat itu via telepon.
Jolein van Pagee jauh-jauh datang dari Belanda ke Maluku tidak lain untuk melihat dari dekat Komunitas Wandan. Kunjungannya itu untuk membuktikan bahwa genosida Jan Pieterszoon Coen terhadap komunitas asli Banda telah lenyap sebagaimana anggapan selama ini tidaklah benar.
Buku karya Jolein van Pagee berbahasa Belanda yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Januari 2024, ini menyebutkan Pulau Banda dan Maluku umumnya telah menjadi ajang hegemoni ekonomi bangsa asing.
Jauh sebelum Belanda menjajaki negeri ini bangsa Spanyol, Portugis, dan Inggris sudah lebih dulu menjadikan Maluku sebagai ajang proxy war atau pusat perebutan kekayaan pala dan cengkeh.
Sebelumnya lagi, Maluku yang dijuluki dengan istilah Jaziratul Muluk merupakan pusat dagang yang telah berkembang melalui pedagang-pedagang Arab, Cina dan India.
“Pulau Banda sendiri merupakan pusat atau bandar bagi pedagang bangsa Arab, Cina dan penduduk pribumi,” ujar Sososilog IAIN Ambon DR.Yamin Rumra.
Kepulauan Banda telah menjadi pusat koloni untuk kepentingan ekonomi asing. Namun, sejak kedatangan Portugis, Spanyol, Inggris lalu diikuti oleh kolonialisme Belanda melalui politik adu-domba yakni “pecah-belah dan kuasai” membuat nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban penduduk asli hancur sebagaimana yang dilakukan Jan Pieterszoon Coen.
Mereka para penjajah asing melalui tangan VOC bukan saja merampas hak-hak penduduk atas hasil bumi, tapi juga membunuh, membakar, dan memperbudak penduduk asli jika tidak mengikuti kemauan kolonialisme.
Di daerah-daerah baru koloni kompeni itu terhadap penduduk asli hampir sepenuhnya dimusnahkan oleh Jan Pieterszoon Coen untuk mempekerjakan orang-orang yang diperbudak di perkebunan-perkebunan sebagai pengganti mereka.
Begitu kuatnya cengkeraman kolonialisme, membuat Kepulauan Banda, khususnya Pulau Run, seperti ditulis dalam buku ini pada halaman 136-137 dalam sejarahnya merupakan pulau yang dulu 403 tahun lalu pernah “menjadi” alat tukar oleh Inggris dan Belanda dalam sebuah perjanjian di Kota Breda, Belanda, yang dikenal dengan nama Perjanjian Breda pada 1667.
Sebelum Perjanjian Breda, pada 1609 masih di bawah bendera VOC melalui Henry Hudson –seorang Inggris yang terkenal– telah menyeberang melewati Samudera Atlantik dengan keyakinan kuat bahwa akan ada rute pelayaran tepat di seberang Amerika Utara yang akan membawanya ke Pulau Rempah, Pulau Banda, dengan lebih cepat.
Di tahun itu ia tiba di dekat tempat yang oleh penduduk asli disebut Manhattan, New York, pulau perbukitan. Sejak itu, VOC mengklaim wilayah pesisir yang luas bernama Manhattan itu sebagai New-Amsterdam (Belanda Baru) dan sejak 1620-an dan seterusnya dibangun beberapa permukiman di wilayah itu.
Pada1626, Pulau Manhattan dipilih sebagai lokasi yang paling cocok untuk Ibu Kota New-Amsterdam. Disebutkan, Peter Schaghen melaporkan pada 5 November 1626 bahwa dia telah membeli Pulau Manhattan dari orang-orang liar dengan harga 60 Gulden.
Pada 1667, orang Belanda setuju bahwa wilayah yang mereka duduki di pesisir Pantai Amerika Utara, termasuk kota tersebut yakni Manhattan, diberikan ke Inggris dengan imbalan Pulau Run. Inilah bagaimana Kota Metropolis New York telah dihubungkan sejarah panjang terkait dengan sebuah pulau kecil di Banda.
Pada catatan kaki buku ini Marjolein van Pagee mengutip buku karya David Van Reybrouck berjudul: Revolusi mengaku terkejut bahwa Manhattan hanya ditukar dengan Run padahal Manhattan enam belas kali lebih besar dari Run melalui kesepakatan kolonial yang dikenal dengan Vrede van Breda atau Perjanjian Breda itu.
Dari perjanjian tersebut New York yang dulunya bernama New Amsterdam yang dikuasai Belanda menjadi milik Inggris, sedangkan Pulau Run yang tadinya dikuasai Inggris menjadi milik Belanda.
Perjanjian Inggris dan Belanda itu telah menandai sejarah panjang tentang hegemoni perdagangan dan rempah-rempah sekaligus menjadi ajang proxy war oleh dunia Barat di bumi Maluku.
Membaca buku ini seolah mengingatkan kita untuk membaca kembali ungkapan para sejarawan sebagaimana yang digambarkan Marcus Garvey.
Sebab pentingnya memahami warisan dan sejarah masa lalu nenek moyang kita adalah bagian penting dari mengukir masa depan kita.
Buku karya Marjolein van Pagee ini tentu mengingatkan pula khususnya Komunitas Wandan di Kepulauan Kei, untuk mempelajari dan memahami kembali sejarah panjang kolonialisme oleh para penjajah di Tanah Air termasuk dalam kasus genosida yang dilakukan VOC melalui tangan Gubernur Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen di Tanah Banda.
Buku Marjolein van Pagee yang kali pertama terbit 2021 dalam versi bahasa Belanda ini telah membuat banyak pihak di Belanda berpikir ulang tentang sejarah kolonialisme dan kekejaman khususnya terkait genosida di Banda melalui kaki tangan VOC yang telah membuat lebih 15.000 warga Banda harus kehilangan keluarganya.
Diakui bahwa melalui politik “pecah belah dan kuasai”, membuat Belanda di tangan Gubernur Hindia Belanda Jan Pieterzoon Coen berhasil melakukan penguasaan ekonomi bahkan berhasil membuat kontrak perjanjian dengan penduduk untuk mengakui monopoli politik dagang Belanda segala.
Peristiwa genosida atas warga Banda untuk diperbudak itu sekaligus menandai sejarah kelam atas hancurnya nilai-nilai kemanusiaan di Tanah Air khususnya dalam hal penguasaan pala dan cengkeh di Pulau Banda.
Bukan itu saja. Terbitnya buku Marjolein van Pagee ini membuat pula banyak pihak termasuk sejarawan kontemporer dan aktivis di sana memilih jarak dengannya karena fakta sejarah yang ditulisnya terasa beda sebagaimana yang selama ini kita pelajari.
Walau ditantang, Marjolein van Pagee bergeming untuk tetap menebarkan fakta sejarah tentang Komunitas Wandan dan mendiskusikan karyanya itu di beberapa kota baik di Jakarta dan Ambon termasuk ia mendatangi Komunitas Wandan di Kepulauan Kei.
Dalam bukunya ini Marjolein van Pagee mengaku takjub dan membuat segalanya berubah berkat pertemuan dengan beberapa warga keturunan Banda di Belanda: Marcel Matulessy, Ridhwan Ohorella, dan Lukas Eleuwarin.
Anggapan bahwa genosida Banda yang oleh sejarawan kontemporer beranggapan Jan Pieterszoon Coen telah membunuh hampir semua orang Banda sebagaimana selama ini diakui merupakan bagian dari pemalsuan sejarah. “Sejarah telah dipalsukan lebih 400 tahun oleh sejarawan kontemporer,” ujarnya.
Dari keterangan Marcel Matulessy, Ridhwan Ohorella, dan Lukas Eleuwarin muncul kesan bahwa para sejarawan Belanda telah menyembunyikan sebuah fakta penting.
“Mereka hafal silsilah keluarganya dan yakin kalau nenek moyang mereka telah hijrah ke pulau-pulau lain sebelum genosida. Nenek moyang mereka membuat keputusan untuk pergi sebelum menjadi korban pemusnahan oleh orang Belanda,” ujarnya.
Dari keterangan ketiga orang inilah, selain merasa takjub ia beranggapan ternyata ada yang namanya diaspora orang Banda. “Setelah dari Banda Ely saya menemukan banyak keterangan kalau mereka adalah orang Wandan yang tidak lain adalah warga asli Pulau Banda,” ujarnya.
Ia mengetahui bahwa beberapa nenek moyang mereka ini telah pergi, dipimpin oleh seorang “raja” tidak lain untuk mengamankan kelangsungan hidup Islam serta garis keturunan dan sejarahnya.
Jadi ini bukanlah sebuah pelarian yang tergesa-gesa, melainkan sebuah hijrah. Hal ini terbukti dari fakta bahwa mereka membawa “buku tembaga” yang tidak hanya menggambarkan situasi pada 1621 saat mana Jan Pieterszoon Coen dengan VOCnya melakukan genosida, tetapi ini juga bagian dari sejarah panjang Banda berabad-abad sebelumnya ditandai oleh “buku tembaga”, juga terdapat pusaka-pusaka Komunitas Wandan yang masih dilestarikan.
Ternyata benar —seperti diakui Jolein van Pagee— sejak dulu orang-orang seperti Benyamin Netanyahu yang hari ini melakukan genosida atas warga Gaza di Palestina, juga pernah hidup dan bercokol pada zaman VOC melalui tangan Jan Pieterszoon Coen untuk melakukan hal serupa melalui politik adu domba: “pecah-belah kuasai” di tanah Banda, Maluku.