Agama dan budaya pada hakikatnya sudah lebih dulu hadir, tumbuh, dan berkembang. Karena itu menghadapi perubahan di tengah perkembangan zaman maka nilai-nilai agama dan budaya yang selama ini dijunjung tinggi haruslah disikapi dengan hati dan jiwa terbuka karena perbedaan itu pada hakikatnya sudah menjadi takdir Tuhan.
Sebagai takdir –di tengah perbedaan agama dan budaya– menuntut kita harus mampu beradaptasi dan berinteraksi, yakni bagaimana kemampuan kita membangun kehidupan sosial yang inklusif dan toleran di tengah heterogenitas masyarakat Kota Ambon tercinta.
Ungkapan itu saya kutip pekan lalu dari Pjs.Walikota Ambon Bodewin Wattimena saat membuka Seminar Nasional Festival Al-Fatah bertema: Menjadi Islam Maluku, Menata Interrelasi Agama dan Peradaban di Bumi Raja-Raja, yang diselenggarakan Yayasan Masjid Raya Al-Fatah Ambon, di Gedung Asyari Al-Fatah, Senin, (25/2/24).
Seminar bertema pentingnya membangun relasi sosial antaragama yang dimoderatori sosiolog IAIN Ambon DR.Abdul Manaf Tubaka ini meski bukan hal baru, tapi dalam konteks ke-Malukuan, topik semacam ini penting untuk terus dipercakapkan.
Apa yang disampaikan Walikota Bodewin Wattimena di atas patut digarisbawahi sebab di tengah kemajuan dan perkembangan peradaban yang terus berubah menuntut kita untuk selalu mempertahankan spirit kebersamaan antarkomunitas dengan tetap menjaga dan memelihara kohesi sosial baik interen dan antarumat beragama di daerah ini.
Karena perbedaan itu sebagaimana dikatakan Walikota Bodewin sudah menjadi takdir Tuhan maka kita sebagai makhluk harus terus membangun sebuah kesadaran bersama.
Yakni kesadaran untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi kemajemukan dan memelihara toleransi di tengah perbedaan yang sudah menjadi bagian dari takdir kehidupan kita di kota ini.
Gagasan walikota Ambon ini ternyata memantik sebuah kesadaran akademik yang datang dari seorang Gurubesar IAIN Jogyakarta Prof. Dr. Amin Abdullah.
Mantan rektor IAIN Jogyakarta yang tampil menjadi pembicara pertama itu melihat ungkapan walikota ini merupakan sebuah percakapan akademik yang sangat penting, sebab di sana ada nilai-nilai keilmuan yang berkorelasi dengan agama, budaya, modernitas, dan nasionalisme.
Untuk mempercakapkan bagaimana membangun sebuah kesadaran literasi bersama antarkomunitas Kristen dan Muslim itu, Prof Amin Abdullah mengaku sangat terkesan dengan salah satu yayasan Maluku yang diprakarsai oleh Leimena Institut (LI).
Nama yayasan ini tidak lain diambil dari nama sosok tokoh nasional pergerakan kemerdekan Indonesia asal Ambon bernama Prof. DR.dr. Johanes Leimena.
Dalam yayasan ini tidak kurang lebih 6.500 anggota rutin melakukan dialog dalam delapan kali sebulan secara online. Ia termasuk satu di antara anggota yang tergabung dalam LI itu.
“Kesadaran dan kerjasama membangun literasi antara Kristen dan Muslim semacam ini perlu terus dibangun,” ujarnya.
Agama, kata Prof Amin Abdullah, selain punya nilai-nilai etika dan akhlak, juga punya nilai historis. Nilai-nilai sejarah pada hakikatnya tidak bisa dihapus, tapi ia harus dipelajari dengan baik.
Dalam konteks dinamika sejarah di Indonesia, kita tentu sulit melupakan sejarah penjajahan yang dilakukan oleh Belanda.
Euforia kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Soekarno sebagai bentuk antikolonialisme harus diakui sebagai sebuah kesadaran sejarah yang muncul saat itu tentu sulit dilupakan. Sebab bagaimanapun sejarah penjajahan selama 300 tahun oleh Belanda bukan waktu yang singkat.
Dari sisi historis, nilai-nilai sejarah harus diakui tidak mudah untuk dilupakan. Pun agama dan budaya. Masing-masing punya norma.
Tapi dalam membangun interrelasi agama-agama tidak cukup kita hanya bertumpuh pada takdir dan keyakinan, namun kita harus memerlukan upaya untuk membangun peradaban di bidang ilmu pengetahuan.
“Kesadaran menumbuhkan nilai-nilai agama, sejarah, ilmu pengetahuan, dan peradaban harus dibangun dalam satu paket,” kata Prof Amin.
Karena itu ide menjadikan agenda Festival Al-Fatah sebagai agenda tahunan sebagaimana yang disampaikan Ketua Panitia Festival Dr.H.Hasbollah Toisuta pada pembukaan seminar itu dinilai baik, sebab dengan lebih banyak membuka ruang-ruang percakapan itu akan membuat suasana kehidupan antarumat beragama lebih kondusif.
Dalam konteks kebangsaan dan nasionalisme sebagai negara yang menganut asas Bhineka Tunggal Ika agenda-agenda keagamaan dan budaya baik akhlak, tatacara, dan perilaku harus terus dipercakapkan oleh masing-masing komunitas karena di sinilah kunci perdamaian. Sebab bila tidak ada kedamaian bisa menjadi sumber konflik.
Agama dan budaya punya nilai berbeda. Agama sendiri memiliki tiga corak yakni akhlak, tatacara, dan perilaku. Tidak dengan peradaban masing-masing kita punya nilai berbeda ada peradaban Islam, Kristen, Cina, dll.
Agama dan peradaban atau agama dan budaya itu sifatnya transparan saling menembus. Itulah mengapa kita selalu dianjurkan untuk senantiasa berpikir terbuka tidak eksklusif, sebab secara teori dalam kehidupan kita sehari-hari di sana ada namanya take and give.
Prinsip saling memberi dan menerima adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari dalam konteks kita sebagai makhluk sosial. Tapi begitu kita masuk ke dalam dunia pasar di sana ada yang namanya transparansi.
Proses transparansi atau saling menembus ini bisa kita lihat pada dunia pendidikan. Sebab pada kenyataannya ilmu-ilmu yang kita pelajari sejak zaman Sekolah Dasar Bumiputra atau Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang diperuntukkan bagi anak-anak keturunan bumiputra, berikut guru dan dosen tidak lain merupakan warisan Belanda.
Lembaga pendidikan Muhammadiyah, misalnya, juga tidak lepas mengadopsi sistem sekolah warisan Belanda. Itulah namanya peradaban sebab di sana ada proses saling menembus, ada proses akulturasi dan inkulturasi.
Kala itu boleh jadi karena kita terlalu bersemangat dalam merebut kemerdekaan sehingga kita lupa bahwa sejak era Belanda telah terjadi akulturasi budaya di bidang pendidikan dengan cara mengadopsi pola pendidikan mereka dalam konteks membangun peradaban dan ilmu pengetahuan.
Pendidikan agama itu penting, tapi jangan sampai antirealitas. Agama dan peradaban haruslah saling mengisi. Bila terjadi saling kritik dan upaya penyempitan dalam percakapan, maka harus ada yang mengingatkan melalui pendekatan kearifan lokal dalam konteks “orang basudara,” dan pela gandong.
Maka ruang-ruang perjumpaan seperti Festival Al-Fatah dan semacamnya di Kota Ambon haruslah terus dihidupkan dengan tetap mengedepankan persamaan tanpa harus memusuhi mereka yang berbeda.
Kita berharap melalui perjumpaan seperti Festival Al-Fatah ini mendorong kita tidak saja dalam hal mempercakapkan interrelasi agama-agama, tapi kita juga bisa saling memperkuat kohesi sosial.
Tentu tidak saja dalam konteks intern umat beragama, tapi juga harus ikut mendorong spirit membangun kebersamaan di tengah perbedaan antarumat beragama dan budaya yang oleh Walikota Bodewin Wattimena diakui sudah menjadi takdir Tuhan itu.(*)