Terima kasih Dr. Ruku Borut atas pengiriman buku karya Marjolien van Pagee berjudul: Genosida Banda.
Pagi ini, Sabtu, (2/3/24), saya akhirnya bisa berjumpa dengan sang penulis buku di Kota Ambon yang jauh-jauh datang dari Belanda untuk melihat dari dekat Komunitas Wandan yang tidak lain penduduk asli Banda di Kepulauan Kei, Provinsi Maluku.
Kehadirannya pagi ini bersama Komunitas Wandan di Kafe Renovi, Ambon, tidak lain ia ingin mencoba membedah bukunya yang kini banyak ditantang oleh kalangan sejarawan dan aktivis di Negeri Kincir Angin itu.
Marjolein van Pagee yang dikenal sebagai sejarawan dan aktivis Belanda itu memang baru saja kembali dari sana dari pulau nun di ujung timur Indonesia itu.
Kedatangannya di Kepulauan Kei untuk melihat langsung Komunitas Wandan yang telah 400 tahun lalu menandai hijrahnya komunitas asli Pulau Banda itu akibat kekejaman Belanda melalui tangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Kepulauan Banda, sebagai pusat penghasil cengkeh dan pala sebagaimana dalam sejarah telah menjadi ajang kepentingan ekonomi dunia bukan saja merampas hak-hak penduduk tapi juga telah membawa dampak bagi kelangsungan hidup penduduk setempat khususnya Komunitas Wandan.
Buku karya Marjolein van Pagee yang terbit 2022 ini telah membuat banyak pihak di Belanda berpikir ulang tentang sejarah kolonialisme dan kekejaman dengan latar belakang perdagangan melalui VOC hingga menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.
Bukan itu saja. Terbitnya buku Marjolein ini membuat banyak pihak termasuk sejarawan dan aktivis di sana memilih jarak dengannya karena fakta sejarah yang ditulis terasa beda sebagaimana yang selama ini kita pelajari.
Walau ditantang, Marjolein van Pagee bergeming untuk tetap menebarkan fakta sejarah tentang Komunitas Wandan dan mendiskusikan karyanya itu di Jakarta dan Ambon termasuk mendatangi Komunitas Wandan di Kepulauan Kei.
“Setelah saya dari Kepulauan Kei ternyata Komunitas Wandan itu ada. Kalau selama ini ada anggapan bahwa Komunitas Wandan itu sudah lenyap atau musnah sebagaimana yang ditulis dalam literatur-literatur Belanda itu tidak benar,” ujarnya.
Kepulauan Banda, khususnya Pulau Run, seperti ditulis dalam buku ini dalam sejarah merupakan pulau yang dulu 350 lalu pernah “menjadi” alat tukar oleh Inggris dan Belanda melalui sebuah perjanjian di Kota Breda, Belanda, yang dikenal dengan nama Perjanjian Breda pada 1667.
Dari perjanjian tersebut New York yang dulunya bernama New Amsterdam yang dikuasai Belanda menjadi milik Inggris, sedangkan Pulau Run yang tadinya dikuasai Inggris menjadi milik Belanda.
Perjanjian Inggris dan Belanda itu telah menandai sejarah panjang tentang hegemoni perdagangan dan rempah-rempah sekaligus menjadi ajang proxy war oleh dunia Barat di bumi Maluku.
Membaca buku ini seolah mengingatkan kita untuk membaca kembali ungkapan para sejarawan sebagaimana yang digambarkan Marcus Garvey.
Sebab pentingnya memahami warisan dan sejarah masa lalu nenek moyang kita adalah bagian penting dari mengukir masa depan kita.
Buku karya Marjolein van Pagee ini tentu mengingatkan kita terutama Komunitas Wandan di Kepulauan Kei, harus kembali mempelajari dan memahami sejarah panjang kolonialisme oleh para penjajah di Tanah Air termasuk dalam kasus genosida yang dilakukan oleh VOC melalui tangan Gubernur Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen di Tanah Banda.
Selamat membaca!!! (AHMAD IBRAHIM)