RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kepulauan Tanimbar resmi menyatakan banding atas putusan keenam terdakwa dalam perkara dugaan korupsi penggunaan anggaran perjalanan dinas pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) tahun 2020.
Enam terdakwa itu, Kepala BPKAD KKT tahun 2020 Jonas Batlayeri, Sekretaris BPKAD KKT tahun 2020 Maria Goreti Batlayeri, Bendahara Pengeluaran BPKAD KKT tahun 2020 Kristina Sermatang, Kabid Perbendaharaan BPKAD KKT tahun 2020 K. Yoan Oratmangun, Kabid Akuntansi dan Pelaporan BPKAD KKT tahun 2020 Liberata Malirmasele, dan Kabid Aset BPKAD KKT tahun 2020 L. Erwin Laiyan.
Plt. Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari KKT, Muh. Fazlurrahman Komardin, mengatakan, upaya banding tersebut dilakukan lantaran vonis atau hukumnya pidana penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Ambon kepada enam terdakwa tidak sesuai dengan tuntutan JPU.
“Untuk perkembangan perkara BPKAD, hari ini (kemarin) Penuntut Umum dalam hal ini Bapak Bambang Irawan telah menyatakan sikap untuk melakukan upaya banding terhadap putusan keenam terdakwa kepada Pengadilan Tipikor pada PN Ambon,” kata Komardin, kepada media ini via telepon, Kamis, 22 Februari 2024.
Selanjutnya, kata Komardin, JPU akan membuat memory banding untuk dimasukan ke Panitera Pengadilan Tipikor pada PN Ambon guna disidangkan kembali di Pengadilan Tinggi (PT) Ambon, dengan harapan putusan banding dapat mengabulkan seluruh tuntunan JPU.
“Sesuai ketentuan batas waktu selama 14 hari setelah pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Ambon, Penuntut Umum sudah harus memasukan memory bandingnya. Harapannya tuntutan JPU dikabulkan,” harapnya.
Dia menjelaskan, dalam amar tuntutan yang dibacakan JPU dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor pada PN Ambon, Rabu, 24 Januari 2024, keenam terdakwa dituntut bervariatif.
Yakni, terdakwa Jonas Batlayeri dituntut hukuman delapan tahun penjara, denda Rp350 juta subsider tiga bulan kurungan dan dibebankan uang pengganti sebesar Rp1.230.869.000. Terdakwa Maria Goreti Batlayeri dituntut tujuh tahun penjara, denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan dan dibebankan uang pengganti Rp 665.468.802.
Terdakwa Kristina Sermatang dituntut tujuh tahun penjara, denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan dan dibebankan uang pengganti Rp 193.123.000. Terdakwa K. Yoan Oratmangun dituntut enam tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan dan dibebankan uang pengganti sebesar Rp 788.873.100.
Terdakwa Liberata Malirmasele dituntut enam tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan dan dibebankan uang pengganti Rp 251.768.400. Dan terdakwa L. Erwin Laiyan dituntut enam tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan dan dibebankan uang pengganti sebesar Rp 351.313.500.
“Perbuatan enam terdakwa terbukti secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi penggunaan anggaran perjalanan dinas pada BPKAD KKT tahun 2020 dengan total sebesar Rp 6.682.072.402 dari nilai anggaran perjalanan dinas yang dicairkan sebesar Rp 9 miliar, sebagaimana laporan hasil audit Inspektorat Daerah Kepulauan Tanimbar,” ungkap Komardin.
Namun dalam amar putusan Pengadilan Tipikor pada PN Ambon yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Haris Tewa didampingi dua hakim anggota pada Senin, 19 Februari 2024, terdakwa Jonas Batlayeri hanya dijatuhi hukuman pidana penjara selama lima tahun dan membayar uang pengganti Rp 5 miliar.
Sementara kelima terdakwa lainnya, lanjut Komardin, yakni Maria Goretti Batlayeri, Kristina Sermatang, K. Yoan Oratmangun, Liberata Malirmasele, dan Letarius Erwin Laiyan, masing-masing dihukum pidana penjara satu tahun dan enam bulan.
“Dan uang pengganti yang sebelumnya dituntut JPU, semuanya telah dibebankan kepada terdakwa Jonas Batlayeri sebagai orang yang memerintahkan, sehingga terjadi perbuatan tindak pidana korupsi tersebut,” bebernya.
Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) KKT, Gunawan Sumarsono, mengatakan, anggaran SPPD dalam daerah dan luar daerah pada BPKAD KKT senilai Rp 9 miliar itu, terserap habis 100 persen. Padahal, saat itu dunia dan Indonesia khususnya sementara dilanda pandemi Covid-19 yang menyebabkan semua jalur transportasi ditutup dan dibatasi, serta pemberlakukan Work From Home (WFH).
Dari hasil penyidikan, lanjut Gunawan, terdapat tiga modus yang dijalankan para tersangka dengan satu komando. Pertama, SPPD diterbitkan tetapi orangnya tidak melaksanakan perjalanan dinas. Bahkan, ada yang tidak menerima SPPD namun namanya tercatat. Sementara anggaran SPPD tetap dicairkan.
Kedua, menerima anggaran SPPD namun hanya sebagian yang melaksanakan perjalanan dinas, dimana sisa anggaran SPPD tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dan ketiga, menaikkan atau mark up harga tiket pesawat dari Saumlaki – Ambon.
“Jadi, mereka menerima SPPD tetapi SPPD yang dibayarkan melebihi dari standarnya. Misalkan tiket pesawat dari Saumlaki – Ambon Rp 1.600.000, tetapi harga tiketnya diganti dengan nominal lebih, jadi ada mark up atau angkanya dipalsukan dan dibuat lebih tinggi,” beber Gunawan. (RIO)