Sebuah festival bernuansa keagamaan dipadu dengan nilai-nilai seni dan kebudayaan bernuansa kearifan lokal Maluku akan digelar Sabtu besok (24/2/24). Temanya: Festival Al-Fatah.
Nama tema festival ini tentu tidak jauh dari tempat digelarnya acara ini yakni Masjid Raya Al-Fatah. Al-Fatah adalah nama sebuah masjid kebanggaan yang menjadi pusat peribadatan muslim Kota Ambon.
Selama sepekan areal parkir dan aula masjid ini bakal diisi kegiatan antara lain pameran manuskrip seni dan kebudayaan Islam, fashion busana muslim, serta diikuti diskusi dari para pakar: sejarawan, sosiolog, dan teolog.
Menurut Ketua Pelaksana Festival Al-Fatah DR.H.Hasbollah Toisuta, M.Ag, Festival Al-Fatah ini tergolong baru. Jauh sebelumnya meskipun pernah digelar namun nuansanya tentu berbeda.
Saat berjumpa di Masjid Raya Al-Fatah, DR.Hasbollah Toisuta sedang dalam persiapan untuk sebuah wawancara dengan TVRI. Saya pun memanfaatkan waktu untuk mewawancarainya.
Ia mengatakan, festival ini kelak menjadi agenda tahunan dan nantinya Masjid Raya Al-Fatah sebagai etalase dan pusat kebudayaan Islam di Maluku.
DR.H. Hasbollah Toisuta tidak lain adalah mantan Rektor IAIN Ambon selama ini dikenal sebagai sosok intelektual muslim Maluku yang mengedepankan gagasan egalitarisme.
Sebagai penggagas festival DR.Hasbollah dkk tadinya merasa terpanggil untuk memikirkan pentingnya pemberdayaan masjid selain sebagai pusat ibadah dalam artian salat, tapi masjid juga harus menjadi pusat peradaban dan pendidikan.
Setelah muncul ide ini ia pun menyampaikan hal ini kepada Ketua Yayasan Masjid Raya Al-Fatah Ambon DR.H.Hadi Basalamah, M.Ag.
“Dari sini kami sepakat untuk menggelar kegiatan ini dan nantinya Festival Al-Fatah bisa menjadi icon wisata religi di Kota Ambon sebagai agenda tahunan,” ujarnya.
Akan tampil menjadi pembicara pada seminar dan diskusi adalah mantan Rektor UIN Jogya Prof DR. Amin Abdulah membawakan materi tentang Kebudayaan dan Islam, DR. Isac Latul Dekan Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga membawakan topik: Relasi Agama-Agama di Maluku, Sosiolog yang juga mantan Rektor UNPATTI Ambon Prof DR Mus Huliselan membawakan judul: Budaya Salam Sarane di Maluku.
Sedangkan DR. Syahrir Muhammad yang juga dikenal sebagai Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Timur yang juga dosen UNKHAIR Ternate membawakan materi tentang: Perkelingkahan Antara Agama-Agama dan Nasionalisme di Maluku.
Nama Masjid Raya Al-Fatah tentu sudah dikenal luas, karena itu perlu ada terobosan untuk memfungsikan agar peran masjid lebih fungsional selain sebagai pusat peribadatan juga harus diberdayakan menjadi pusat sejarah, peradaban, dan pemberdayaan umat.
Sejak masa Nabi Muhammad SAW, masjid memiliki fungsi dan memainkan pesan
multi aspek kehidupan. Masjid tidak semata untuk kepentingan ibadah salat.
Sesuai konteksnya, masjid pada saat itu misalnya menjadi pusat dari seluruh aktifitas umat, yaitu sebagai pusat pendidikan dan pembinaan, pelatihan militer, diplomasi, dan tempat bermusyawarah.
Dan, Masjid Nabawi di Madinah bisa menjadi contoh sejak hijrahnya nabi dari Makkah ke Madinah masjid ini telah menjadi pusat peribadatan, dakwah, dan pendidikan juga untuk menyusun strategis perang. Dari masjid ini pula hanya dalam tempo 22 tahun Nabi Muhammad berhasil menguasai 1/3 wilayah Timur dan Barat.
Sejarah membuktikan masjid menjadi sentra untuk membangun, mengembangkan, dan memperkuat tata keadaban (perbaikan budi perkerti) dan tata peradaban (perbaikan kehidupan) umat Islam.
Masjid menjadi satu-satunya bangunan yang menyediakan dan memberikan pelayanan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan, tidak saja umat Islam, tapi juga umat-umat lain yang hidup dan menjalani kehidupannya di lingkungan dimana Nabi SAW dan umatnya berada, bertumbuh, dan berkembang.
Dalam perjalannnya, satu demi satu fungsi dan peran masjid itu melewati proses
berkembang yang signifikan dan kemudian terdistribusi dan bertransformasi secara
proporsional ke dalam bentuk lembaga-lembaga yang dalam konteks kehidupan moderen hari ini dikelola secara lebih berfokus pada bidang-bidang tertentu seperti lembaga pendidikan, lembaga kemiliteran dan kepolisian, lembaga politik, dan lembaga perwakilan rakyat, dan lain sebagainya.
Lembaga-lembaga ini akan terus mengalami perkembangan seturut perubahan zaman yang menuntut adanya respon tertentu sebagai jawabannya.
Nama Masjid Al-Fatah merupakan pemberian dari Presiden RI Soekarno sebagai rasa syukur atas pembebasan Irian Barat 1957. Al-Fatah dalam bahasa Arab artinya kemenangan.
Dari jauh kelihatan ada empat menara berdiri kokoh di sayap kiri dan kanan masjid kebanggaan warga muslim Kota Ambon, itu.
Dari empat menara itu satu diantaranya merupakan menara pemberian Sultan Bima. Menara hadiah Sultan Bima ini letaknya terpisah tidak mengikuti bangunan masjid.
Masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi dalam kurun waktu terakhir. Renovasi terbesar dilakukan sejak masa pemerintahan Presiden SBY.
Kini areal parkir juga telah diperluas diikuti penambahan lampu-lampu hias menambah keindahan masjid.
Di antara yang mengalami renovasi termasuk keempat menara tersebut yang terlihat megah.
Setahu saya, selain Masjid Raya Al-Fatah Ambon menara serupa yang merupakan pemberian Sultan Bima juga diberikan untuk Masjid Raya Makassar.
Selain Masjid Raya Al-Fatah di sayap kanan masjid ini juga terdapat masjid bersejarah Kota Ambon namanya Masjid Jami.
Letaknya hanya selangkah dengan masjid Al-Fatah, Masjid Jami merupakan masjid tertua di kota ini.
Dalam sejarah disebutkan, pada masa Perang Dunia II Kota Ambon sempat dibom oleh sekutu Jepang hingga memusnakan sebagian besar rumah-rumah penduduk dan gedung-gedung.
Sejumlah masjid walaupun tidak ada yang musnah kena bom saat itu tetapi semuanya mengalami kerusakan berat. Sesudah kemerdekaan masjid-masjid kemudian diperbaiki dan dibangun kembali.
Dan kala itu, Masjid Jami tidak dapat lagi menampung jamaah salat Jumat yang semakin bertambah sehingga sebagian jamah terpaksa harus salat di jalan raya depan Masjid Jami.
Saat itulah terpikirkan Masjid Jami perlu diperbesar namun kemudian terkendala oleh luas tanahnya yang tidak memungkinkan.
Dari segi estetika Masjid Jami juga dinilai sudah ketinggalan jaman. Di sisi lain pelebaran Jalan Sultan Babullah memerlukan pembongkaran lahan yang berada tepat di depan Masjid Jami.
Sejak itulah ide pembangunan Masjid Raya Al-Fatah dimulai. Dan, ketika kunjungan Perdana Menteri H.Ir Djuanda pada tahun 1957 ke Ambon gagasan itu pun disampaikan oleh tokoh dan masyarakat Islam Maluku tentang pembangunan sebuah Masjid Jami yang baru.
Ide itu pun berlanjut. Ir. Djuanda langsung menyanggupi niat baik itu. Tapi lagi-lagi keinginan tersebut mengalami kendala terkait soal tanah.
Namun persoalan itu tidak berlangsung lama setelah Penguasa Perang Daerah Letkol Herman Piters dengan surat keputusan tertanggal 10 Juli 1962 No. KKP 18/Peperda Maluku/7/1962 menunjuk dan menetapkan areal tanah dengan cara memperluas tanah Masjid Jami Ambon sehingga menjadi kurang lebih 2,2 hektar.
Dan berdasarkan rekomendasi itulah maka oleh panitia ditugaskan melalui Biro Perancang PT Sendi Bangunan di Jakarta Pimpinan Ir. A.R Suhud bekas Menteri Perindustrian Republik Indonesia untuk merancang blueprint dan anggaran belanja pembangunan Masjid Raya Al-Fatah Ambon dengan proyeksi seluas 5.400 meter persegi dengan daya tampung 9000 jamaah.
Kini, masjid yang berada di jantung Kota Ambon itu nampak berdiri kokoh dengan ornamennya yang cantik.
Langkah yang dilakukan DR.Hasbollah Toisuta dkk menjadikan Festival Al-Fatah ini tentu patut mendapat apresiasi. Kedepan, tugas para pengurus masjid tentu harus menjadikan masjid sebagai bagian penting dari upaya memecahkan problema umat.
Menjadikan masjid secara fungsional selain sebagai pusat peribadatan, tapi juga sebagai wahana membangun peradaban dan pemberdayaan umat harus terus digalakkan.
Dan, Festival Al-Fatah yang dimulai tahun ini semoga bisa menular ke tempat lain.(*)