Ia adalah sosok langka. Meski di tengah gempuran kemajuan dan pragmatisme kehidupan yang menggeliat saat ini, kita masih punya sosok seniman yang tetap konsisten menekuni dunia seni-budaya.
Di antara para pekerja seni-budaya yang sedikit itu ada namanya Pak Said Magrib. Ia adalah satu di antara pekerja seni di Kota Ambon dan merupakan motor penggeraknya di bawah Yayasan Bengkel Seni Ambon.
Sejak muda Pak Said Magrib telah menekuni sebagai pekerja seni puluhan tahun lalu semenjak ia menempuh pendidikan di Sekolah Pendidikan Seni Menengah Pertama Ambon.
Sejak sekolah ini ditutup pada 1988 nama lembaga pendidikan seni di kota ini tidak lagi terdengar. Walau lembaga pendidikan ini tak lagi berkiprah, namun semangat menghidupkan dunia seni-budaya melalui tangan dingin seorang Pak Said Magrib tidak pernah redup.
Setamat dari sekolah seni Ambon ia pun memilih merantau ke Pulau Jawa dan bergabung dengan lembaga-lembaga pendidikan seni dan budaya di sana.
Sejumlah pekerja seni dan tokoh budayawan seperti WS.Rendra tidak luput menjadi tempat berguru oleh putera Pulau Banda itu.
Sejak aktif sebagai pekerja seni ia pun memilih nama pengganti Said Magrib sebagai nama baku di kalangan sesama seniman dengan panggilan: Diaz Dosa. “Itu nama pena saya. Diaz Dosa adalah sebutan untuk sesama seniman,” ujarnya.
Setelah lama merantau dan mengadu nasib di Pulau Jawa ia pun kembali ke Ambon. Namun ketekunan dan semangat menghidupkan dunia seni-budaya tidak pernah luntur.
Di waktu muda Diaz Dosa memang telah aktif di Sanggar Seni Senino (Sana Sini Oke) Silale, dan Sanggar Yamuyaka (Yang Muda Yang Berkarya).
Pada zamannya di Ambon ada sejumlah sanggar seni seperti grup seni binaan almarhum Taha Patiiha bernama Grup Kasidah Yamuyaka.
Ada pula Grup Kasidah Moderen Al-Munir, dan Grup Musik Gambus Al-Muluk yang diprakarsai Abuya Bahaweres, Gabil Attamimi, Moksen, dan Efendy Patty.
Kota yang banyak melahirkan para musisi top itu tetap menjadikan seorang Diaz Dosa melalui Sanggar Bengkel Seni Ambon terus menuangkan bakat dan minatnya di jalur seni dan budaya.
Melalui yayasan yang dibidaninya bernama Yayasan Bengkel Seni Embun Ambon yang didirikan pada 2004 itu dia terus mengembangkan sayap menghidupkan sanggar seni di kota ini.
Tidak sampai di situ. Pria kelahiran Kota Dobo 25 Mei 1966 itu selain menjadi founder pada yayasannya ia juga aktif menjadi guru freelance mengajar mata pelajaran yang sama untuk para siswa/siswi pada sejumlah sekolah di Kota Ambon.
Hari itu, saya sengaja mengantarkan anak saya mengikuti ajang festival seni-budaya. Saya pun menyaksikan dan melihat dari dekat keseriusan dari seorang Diaz Dosa ketika sedang mementaskan tim seni-budaya dari SMA Negeri 11 Ambon di ajang festival seni-budaya pada sekolah yang dipimpin Kepsek Drs. La Ima Kampono, M.Pd, di Aula Kantor ATR/BPN, Ambon, Sabtu, (17/2/24).
Diaz Dosa tentu bukan orang baru. Sejak tahun 2017 saya pernah bersama dirinya dalam sebuah tim penilai pada ajang Siwalima Award yang diselenggarakan oleh Pemrov Maluku pada masa pemerintahan Gubernur Maluku Said Assagaff.
Ajang Siwalima Award yang diadakan dan diprakarsai oleh tokoh muda Maluku Barkah Pattimahu itu dalam rangka mencari putra-putri terbaik Maluku yang telah berjasa di bidangnya baik di pemerintahan, swasta, tokoh agama, tokoh masyarakat, pengelola industri rumah tangga, pendidik, budayawan, wartawan, dll.
Selain Barkah Pattimahu saat itu sebagai ketua tim penyelenggara juga ada Prof. DR. Nus J.Sapteno, SH, MH. Guru Besar yang sehari-hari dikenal sebagai Rektor Unpatti itu dipercaya sebagai Ketua Tim Dewan Juri.
Untuk merekomendasikan para tokoh sebagai penerima Siwalima Award tersebut ditunjuklah sejumlah tim penilai. Saya sendiri mewakili wartawan, sedangkan Pak Said Magrib mewakili pekerja seni.
Di antara wartawan penerima Siwalima Award adalah Pemred Harian Suara Maluku Novi Pinontoan. Sang wartawan senior Maluku ini pada 2004 diakui pernah mengikuti Studi Banding Media dan Konflik di Philipina, juga studi jurnalistik untuk tingkat nasional dan regional.
Karena ketekunannya di dunia pers, Bung Novi Pinontoan dinilai berhak menerima penghargaan untuk kategori putra-putri Maluku terbaik selama berkarier di bidang jurnalistik pada ajang itu.
Saat menerima penghargaan di hadapan undangan dan pejabat Bung Novi Pinontoan mengatakan kalau penghargaan yang diberikan tersebut bukan kemenangan dia sebagai pribadi, tapi kemenangannya bagi dunia pers di Maluku.
Dan, salah satu bentuk penghargaan Pemrov Maluku itu ditandai oleh ditunjuknya Kota Ambon sebagai tempat diselenggarakannya Hari Pers Nasional (HPN) tanggal 9 Februari 2017.
Sejak terlibat bersama pada tim Siwalima Award itu, saya tadinya mengira Diaz Dosa adalah orang Bali atau Jawa.
Perkiraan saya itu ternyata meleset. Belakangan baru saya tahu ia adalah putera terbaik berasal dari Bandaneira, Pulau Banda, Maluku.
Itu karena penampilannya pada acara-acara pertemuan hingga digelarnya malam penganugerahan Siwalima Award di Hotel Natsepa, Ambon, malam itu, ia selalu tampil ikonik menggunakan blankon di kepalanya. Belakangan kebiasaan itu ternyata sudah menjadi ciri khasnya.
Pulau Banda merupakan tanah asal ayahnya, sedangkan ibunya berasal dari Kepulauan Aru. Banda yang merupakan tanah asalnya itu selama ini dikenal sebagai tempat yang juga telah melahirkan tokoh nasional dan anak angkat Bung Hatta yang juga menekuni sejarah dan kebudayaan bernama Des Alwi (Alm).
Dalam karier di bidang seni-budaya dan teater beberapa karya telah ditorehkan oleh suami dari Ibu Santi Musa itu. “Sudah banyak tidak bisa dihitung,” ujarnya.
Yang pasti pada era Walikota Ambon Jopi Papilaja tahun 2004 ia pernah memenangkan Juara I Poster Perdamaian. “Saya juga pernah memenangkan Juara I Desain Batik Ambon pada era Walikota Richard Louhenapessy,” ujarnya.
Melalui Bengkel Seni Embun yang dibidaninya Diaz Dosa juga memenangkan Juara I Sembilan Kategori Pemeran Teater Terbaik.
Bersama sesama rekan seniman lainnya Rudi Fofid, Zairin Salampessy dll. mereka pernah dianugerahi sebagai tim terbaik dalam pementasan teater bertema: Genosida di Banda.
Ia juga pernah meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik dalam pementasan teater berjudul: Funut Molmoli. Yakni sebuah kisah kehidupan berbau mitos dalam kehidupan masyarakat Maluku Barat Daya (MBD) yang ditampilkan di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Ia juga peraih teater terbaik bertema: Invitasi Teater Nasional dalam Rangka 1 Tahun Meninggalnya W.S.Rendra di Taman Budaya Surabaya.
Juga sebagai peraih penghargaan dari Lembaga Kantor Bahasa Maluku sebagai: Pegiat Sastra Maluku untuk Penulis Cerita dan Drama Terbaik.
Di usia 57 tahun ini ayah dari tiga anak: Yudha, Sasa, dan Kania ini tetap memiliki semangat dalam memajukan seni-budaya di Maluku. Kedepan ia menginginkan ada generasi di Maluku terus menghidupkan dunia seni dan budaya di daerah ini.
Ia tetap bangga sebab di balik usaha dan kerja keras di bidang seni-budaya itu kini mengalir darah seni ke anaknya bernama Yudha.
“Anak saya Yudha itu mengalir darah seni dari saya. Sebagai penyanyi ia juga pelukis. Kalau Anda buka di laman Youtube pada kanal: Yudhamoch di sana Anda akan temukan link musik anak saya,” ujarnya.
Di tengah langkanya para pekerja seni-budaya di daerah ini kita tentu patut berbangga masih punya orang seperti Diaz Dosa.
Walau dihadapkan pada keterbatasan fasilitas dan dukungan finansial dalam mempresentasikan dunia seni dan teater tapi ia bisa mau berbagi ilmunya.
Semoga karya dan prestasinya itu kelak membuahkan hasil membangun generasi muda kita di Maluku untuk terus mau mencintai dan menekuni dunia seni-budaya di daerah ini.(*)