Penulis : Silmi Sirati Suailo, S,Pd
Mahasiswa PPG Prajabatan 2024, Universitas Negeri Yogyakarta
DILEMA civitas akademika di tingkat satuan pendidikan masih menjadi PR besar bagi pemangku kepentingan di era keterbukaan saat ini, penggunaan kurikulum yang kian berganti menjadi sorotan semua pihak baik guru, orang tua, hingga para siswa. Tak ayal pertanyaan-pun muncul di benak setiap orang, apakah implementasi Kurikulum Merdeka Belajar dibutuhkan generasi Alpha saat ini?.
Secara regulasi, memang pertanyaan tersebut sudah terjawab dengan pemberlakuan Kurikulum Merdeka Belajar oleh Kemendikbud Ristek sejak tahun 2022/2023 lalu. Sayangnya pemerataan kurikulum Merdeka ini masih sebatas pada sekolah-sekolah tertentu yang dalam tanda kutip sudah lengkap dari sisi sarana prasarana (Sarpras) pendukung maupun kompetensi pendidiknya .
Minggu (04/02/2024), problematika itu akhirnya dikomentari oleh salah seorang mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan gelombang 1 tahun 2024 asal Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), sebut saja Sisi.
Ia mengaku, ketika menjadi mahasiswa S1 dan melaksanakan program Kampus Mengajar (KM-Batch 1) tahun 2021 pada satuan pendidikan sekolah dasar (SD) di Ambon, pihak sekolah masih menggunakan kurikulum 2013 (K-13). Pada waktu itu, masih menggunakan model pembelajaran teacher-center. Sehingga para siswa hanya menerima apa yang diajarkan oleh guru, kadang-kadang para siswa juga diberikan projek oleh guru mata pelajaran.
Padahal menurutnya, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan, baik pendidikan formal maupun nonformal untuk mencapai aktualisasi dirinya.
Oleh sebab itu, ia beranggapan bahwa konsep Pendidikan Indonesia yang sejak dahulu digaungkan oleh Ki Hajar Dewantara (KHD) mesti diimpelementasikan di era saat ini. Bagi dia, relevansi pemikiran KHD sejalan dengan kurikulum Merdeka Belajar karena siswa diberi ruang untuk belajar secara merdeka dan adanya Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
“Sayangnya, pada saat saya bersekolah konteks pendidikan Indonesia saat itu masih menggunakan kurikulum KTSP. Kemudian saat ini masih didominsi oleh kurikulum 2013 (K-13), berdasarkan standar kelulusan kompetensi kelulusan (Permendikbud No. 20 tahun 2016), dan standar isi (Permendikbud No. 21 tahun 2016) maka ada 14 prinsip pembelajaran yang dituangkan dalam standar proses (Permendikbud No. 22 tahun 2016), sehingga wajib diketahui dan dilaksanakan guru dalam implementasi kurikulum 2013. Hakikatnya secara implisit hampir memiliki persamaan dengan Kurikulum Merdeka Belajar, dimana siswa yang harus lebih aktif dalam pembelajaran,” ulasnya.
Seajalan dengan itu kata dia, kekuatan pemikiran KHD tentang proses pembelajaran sesuai dengan kodrat (alam dan zaman) dimana menyesuaikan dengan sosio kultural para siswa. Konsep pendidikan menurut KHD adalah pendidikan yang holistik, dimana murid atau peserta didik dibentuk menjadi insan yang berkembang secara utuh meliputi olah rasio, olah rasa, olah jiwa dan olah raga melalui proses pembelajaran dan lainnya yang berpusat pada murid dan dilaksanakan dalam suasana penuh makna.
Sisi yang berasal dari Maluku itu juga menceritakan bagaimana sosio kultur di Maluku sejalan dengan konsep pendidikan KHD. Sosio kultural masyarakat Maluku dominan sikap gotong royong, kebersamaan, dan toleransi yang sarat dengan kerendahan hati dan sikap ramah-tamah masyarakatnya. Adapula moto yang sering digaungkan masyarakat dalam forum-forum formal maupun informal diantaranya, “Ale Rasa Beta Rasa”, “Potong di Kuku Rasa di Daging”, “Sagu Salempeng di Patah Dua”, dan sebagainya. Moto tersebut menggambarkan bagaimana hubungan masyarakat yang bersatu dan tidak terpecah-belah.
“Maka dari itu, konteksualisasi nilai-nilai budaya lokal (Maluku) relevan untuk dijadikan penguatan karakter peserta didik sebagai individu sekaligus sebagai anggota masyarakat. Sebagaimana latar belakang budaya dari peserta didik tersebutlah, maka proses pembelajaran yang runtut dan menyesuaikan dengan materi yang relevan,” urainya.
Ia pun berpesan, sebagai calog guru masa depan sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar dengan proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan disesuaikan dengan perkembangan digital saat ini.
“Tugas kami juga mendorong dan memotivasi peserta didik untuk saling menjadi pribadi yang baik, jika ada salah satu warga sekolah yang mengalami kekurangan atau musibah maka harus membiasakan anak memiliki jiwa solidarias yang tinggi,”tutupnya. (***)