25 Tahun Lalu yang Kelam

  • Bagikan

Malam itu pukul 20.30 WIT saya mendapat kabar dari Jakarta via telepon dari Koordinator Liputan (Korlip) Majalah FORUM KEADILAN Mas L.R.Baskoro.

Dari balik teleponnya, Mas Bas –biasa kami sapa– mengabarkan kalau di Kota Ambon sejak siang hingga sore itu, Selasa 19 Januari 1999, bertepatan Hari Raya Idul Fitri telah terjadi keributan di seputaran kota.

Kabar itu ia peroleh melalui berita khas TVRI Nasional malamnya. Sebagai penanggung jawab halaman daerah di majalah yang saat itu diasuh oleh Bang Karni Ilyas itu, Mas Bas tentu harus memonitor setiap peristiwa yang berkembang di seluruh pelosok. Sekecil apapun kabar itu menjadi tanggung jawab beliau yang harus dilaporkan untuk dimuat di Majalah Forum Keadilan.

Selain sehari-hari sebagai Redaktur Pelaksana Suara Maluku dan Koresponden Majalah Forum Keadilan, saya juga adalah Kontributor Koran Jawa Pos dan Koran Republika.

Saya yang sebelumnya sudah mendengar kabar huru-hara malam itu segera bergegas mengecek ulang informasi tersebut. Meski tempat tinggal saya di pinggiran kota lebih 14 KM di Desa Nania, tak ada alasan bagi saya untuk tidak ketinggalan mengikuti kabar tersebut.

Sebagai seorang stangger di Majalah Forum Keadilan untuk wilayah Ambon/Maluku kita tentu harus tanggap setiap penugasan. Jika sudah ada perintah semacam itu berarti informasi tersebut menjadi penting. Tak boleh terlewatkan.

Saya pun mengontak sana-sini untuk memastikan perkembangan peristiwa kelabu di hari nan fitri itu. Dalam kondisi itu saya tentu menghindari resiko tak mungkin malam itu harus turun ke pusat kota. Saya selalu mengemban pesan para guru saya di dunia kewartawanan: “Sehebat apapun suatu peristiwa, nyawa lebih utama dari sebuah berita.”

Walau demikian saya terus memantau. Saat itu belum ada internet. Belum ada smartphone. Satu-satunya telepon seluler yang saya andalkan adalah Ericson.

Kala itu, Ericson termasuk barang langka. Belum semua orang bisa memilikinya. Saya sendiri termasuk beruntung memiliki telepon seluler itu. Hadiah dari tempat kerja saya di Harian Suara Maluku.

Inilah telepon seluler yang dikendalikan oleh sebuah perusahan seluler raksasa yang baru saja membuka kantor cabangnya di Kota Ambon Manise bernama Metrosel Seluler, itu.

Dengan Ericson inilah saya bisa berhalo-halo kemana pun. Sebaliknya, saya pun bisa menerima telepon balik dari manapun. Entah dari sahabat atau koresponden asing. Baik yang datang dari Jakarta, Surabaya, Makassar, Singapura, atau Australia untuk mengecek peristiwa keributan itu.

Hingga larut malam telepon terus berdering. Saya tak bisa lagi tidur malam itu. Melaporkan perkembangan Kota Ambon ke Mas Bas menunggu kabar terakhir karena harus mengejar deadline malam itu.

Pagi pun tiba. Sebelum beranjak dari rumah, saya lebih dulu mengecek gambaran perkembangan terakhir di pusat kota terkait suasananya seperti apa berikut situasi di lapangan juga bagaimana kondisi di jalanan. Apakah memungkinkan saya bisa tembus ke pusat kota. Apakah tidak ada rintangan misalnya jalan diblokir atau angkot dilarang beroperasi dll.

Saya pun mengontak Pak H.M.Tahir Saimima. Ia kebetulan tinggal di wilayah Galunggung. Dari cerita beliau saya mendapat gambaran kondisi kota tak lagi bersahabat.

“Mad eh, kondisi Ambon so seng bae. Api sudah mengepul di Pasar Mardika. So seng aman lae,” ujar politisi yang juga Wakil Ketua DPRD Maluku dari PPP dengan intonasi Saparua-nya yang kental, itu.

Saya pun mencoba mengontak sohib saya Joko Susilo. Koresponden Koran Suara Karya yang tinggal di Perumnas Poka. Ia juga melaporkan hal yang sama dan segera merapat ke Nania. Dengan motor bututnya kami berdua ke pusat kota mengitari Teluk Ambon.

Di sepanjang jalan sudah terlihat warga berkerumun. Sampai di Galala kami terpaksa putar haluan kembali lagi ke arah Nania karena jalan di Galala tepatnya di depan mesin pembangkit PLN Galala sudah ditutup.

Dengan mengitari Teluk Ambon sampailah kami di Pangkalan Speedboat Wayame. Kali ini kami memilih jalan alternatif menyewa speedboat. Saat itu, seluruh armada sudah sepi. Hanya tinggal beberapa buah saja. Kami pun patungan mencarter speedboad menuju pusat kota tepatnya ke Dermaga Pelabuhan Kecil, Ambon.

Walau diliputi rasa was-was kami akhirnya tiba di seberang sambil melihat kondisi di lapangan. Saya juga ke pusat awal mula perkelahian pemalakan antara si Salim dan Yopie di ujung Terminal Angkot Batumerah hingga mengundang huru-hara, itu.

Sepanjang mata memandang suasananya menyesakkan dada. Pasar Mardika dan toko-toko ludes.

Saat itu saya mencoba mengontak bos kami General Manager (GM) Suara Maluku Pak Elly Sutrahitu untuk memastikan penerbitan koran keesokan harinya. Tidak banyak ucapan yang keluar darinya. Ia hanya sempat memesan untuk berhati-hati saat meliput.

Pak Elly yang tinggal di Galala tak bisa berkata banyak. Beberapa saat kemudian isi bateri hp saya habis. Percakapan kami pun terhenti. Cas hp saya tak sempat dibawa karena keburu ke kota.

Pak Elly saat itu sempat melaporkan kondisi terakhir dari seberang sana setelah ia menyaksikan dari tempat tinggalnya nun di Galala bahwa di Benteng Karang di Kawasan Jazirah Leihitu sudah terlihat api mengepul. Tak berselang lama rumah mertua — tempat saya bersama anak dan istri yang selama ini menetap di Desa Nania itu– juga mengalami nasib yang sama.

Dua hari saya terjebak tak bisa kembali ke rumah. Sempat bermalam dan tidur di Asrama Polairud di Kawasan Lateri bersama pengungsi lainnya yang malam itu mengamankan diri di asrama.

Sore itu saya dan Joko memang menumpang kapal Polairud sekalian mencari alternatif untuk mengamankan diri mengingat kondisi lampu di sebagian kota yang padam karena kebakaran dan tak memungkinkan kami berlindung di daratan.

Kami akhirnya mengambil keputusan naik ke kapal setelah mendapat izin dari Komandan Polairud Pak Sibuea yang sore itu ikut mengawal Pasukan Polairud Polda Maluku.

Sore itu kapal Polairud yang tambat di Pelabuhan Kecil terlihat sedang membawa pasukan. Setelah berada di geladak kapal, saya baru tahu kalau di dalamnya juga ikut bersama para pendeta yang baru saja mengikuti acara di Gereja Lateri untuk dikawal ke Liliboy — sebuah kampung di seberang di ujung barat Pulau Ambon.

Sekembalinya dari Liliboy tinggal saya sendiri. Sobat saya Joko Susilo malam itu sudah lebih dulu turun di Wayame di Pangkalan Pertamina bersama sebagian pasukan Polairud. Rasa was-was saya semakin menjadi setelah ditinggal sahabat Joko.

Beruntung ada seorang ABK bernama Hasan. Saya pun memperkenalkan diri. Rasa takut pun hilang setelah dia mengaku adalah putera Ternate. Sekampung dengan saya. Dia pun berbaik hati memberikan makanan nasi dan mie instan Supermie.

Semalam tidur di Asrama Polairud Lateri hati saya tidak tenang sampai pagi. Di seberang sana api terlihat mengepul di mana-mana. Termasuk di Nania. Rasa takut pun bercampur. Di luar sana mobil aparat lalulalang dengan bunyi sirine mengangkut para pengungsi.

Tak lama kemudian ada sebuah mobil angkot merah Lin Wayame memasuki asrama Polairud memuat sejumlah pengungsi yang dikawal seorang petugas tentara. Saya mendekat ke sopir dan sang tentara pun memberi izin untuk menumpang ke Nania.

Setelah diizinkan saya pun akhirnya bisa bergabung dengan pengungsi lain hingga kemudian berjumpa dengan sang istri, anak, dan mertua di Asrama Tentara Kompi A Waiheru. Mereka sehari sebelumnya memang sudah lebih dulu mengamankan diri mengungsi setelah desa kami dilanda prahara sore itu.

Di sepanjang jalan menuju Kompi A Waiheru terlihat jalan-jalan sudah diblokir. Puing-puing rumah dan mobil-mobil angkot dan bus berserakan dimana-mana dengan kondisi yang sangat memilukan.

Gambar-gambar liputan yang saya abadikan selama seharian meliput di pusat kota juga puing rumah mertua di Nania itu sempat dimuat di Majalah Forum Keadilan.

Di rubrik Forum Redaksi itulah Redaksi Majalah Forum Keadilan membuat kisah liputan saya lengkap dengan judul: Kabar Duka dari Ambon. Sudah lama majalah ini saya cari barulah ketemu.

Di edisi ini, Majalah Forum Keadilan memuat secara detail laporan huru-hara Ambon dengan judul: Provokator Menjahili Negeri.

Di edisi kedua, di majalah yang sama juga memuat wawancara khusus saya dengan Gubernur Maluku DR.M.Saleh Latuconsina berjudul: Seorang Insinyur di “Pulau” Rusuh.

Di sini Pak Leh –panggilan akrab Saleh Latuconsina– menguraikan secara gamblang tentang kondisi kerusuhan dan segala rentetannya dari peristiwa sebelumnya seperti huru-hara di Jakarta, Ketapang, dan Timtim yang bersamaan dengan perubahan iklim politik di pusat kekuasaan seiring runtuhnya rezim Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa di bawah kekuasaan Presiden Soeharto itu.

Di edisi ini Pak Leh juga mengomentari secara lugas berikut desakan banyak pihak baik mereka yang ada di Ambon ataupun yang menetap di Jakarta yang ingin mendesak doktor teknik jebolan Universitas Marsailes Prancis itu mundur dari jabatan sebagai gubernur karena dinilai gagal meredam konflik.

Namun Pak Leh bergeming. Di tengah banyak pejabat yang memilih mengungsi ke kota lain berikut ancaman di tengah dentuman bom dan sniper yang membidik rumah jabatannya, Pak Leh dan istrinya Aisyah Latuconsina tetap memilih bertahan di Rumah Dinas Gubernur Mangga Dua.

Bahkan di saat detik-detik Kantor Gubernur Maluku di Jalan Pattimura dibakar pun Pak Leh tidak bergeser dari ruang kerjanya.

“Ica (Aisyah Latuconsina, pen), peluru itu punya mata. Kita tidak boleh keluar dari rumah dinas karena kita tak mau dicap sebagai pengkhianat. Kalau Tuhan berkehendak kita harus mati di tempat ini itu berarti sudah takdir. Tapi kalau kita mengungsi berarti kita tidak setia pada tugas dan tanggung jawab,” ujarnya.

Penampilannya yang kalem itu tidak membuat posisinya sebagai gubernur goyang, sebaliknya di tengah tekanan yang datang dari banyak pihak baik pusat dan daerah — membuat sikapnya yang tenang itu berhasil mengantarkan penyelesaian konflik Maluku bisa berujung pada meja perundingan yang menghasilkan Perjanjian Damai di Malino, Februari 2002.

Kita doakan semoga kondisi kelam 25 tahun silam yang terjadi di Ambon/Maluku ini berakhir sampai di sini.

Dan, juga untuk wilayah lain di Tanah Air kita semua tentu berkewajiban menjaga dan memelihara negeri kita tercinta agar terhindar dari segala prahara dan malapetaka.

  • Bagikan

Exit mobile version