RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Gubernur Maluku Murad Ismail dan Wakil Gunermur Barnabas N Orno batal dicopot pada akhir Desember 2023 ini.
Kedua mereka tak harus meninggalkan jabatannya di penghujung tahun ini setelah Mahkama Konstitusi mengabulkan gugatan gubernur Maluku itu yang diajukan bersama enam kepala daerah lain yaitu Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto; Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto; Wakil Wali Kota Bogor Dedie Rachmin; Wali Kota Gorontalo Marten Taha; Wali Kota Padang Hendri Septa; dan Wali Kota Tarakan Khairul.
Mereka mengajukan uji materiil Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada Nomor 10/2016 yang mengatur kepala daerah hasil pemilihan 2018 menjabat sampai 2023. Alasannya, meski dipilih lewat Pilkada 2018, para pemohon baru dilantik pada 2019.
Penelusuran media ini dari situs resmi Mahkama Konstitusi, saat sidang putusan MK Kamis, 21 Desember 2023, hakim MK mengabulkan sebagian uji materi Pasal 201 ayat (5) Undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada Serentak.
Sebelumnya, pasal tersebut, mewajibkan seluruh kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada 2018 untuk mengakhiri masa jabatannya maksimal 31 Desember 2023.
Padahal, sebanyak 171 pasang kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2018 ternyata baru dilantik pada 2019. Hal ini membuat mereka sebenarnya belum penuh menjabat selama 5 tahun seperti amanat Pasal 162 ayat (1) dan (2) UU Pilkada Serentak.
“Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah dalil yang dapat dibenarkan,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang putusan, kemarin.
Mahkamah kemudian mengubah frasa pada pasal tersebut dengan mengelompokkan kepala daerah hasil Pilkada 2018 menjadi dua. Kelompok pertama adalah pasangan kepala daerah yang langsung dilantik pada tahun yang sama.
Kelompok ini memang harus mengakhiri masa jabatannya maksimal akhir Desember 2023. Pemerintah kemudian akan mengisi kekosongan jabatan kepala daerah oleh penjabat (Pj) yang bertugas hingga pelaksanaan Pilkada Serentak 2024.
Sedangkan kelompok kedua adalah kepala daerah hasil Pilkada 2018 yang baru dilantik pada 2019. Menurut Saldi, seluruh kepala daerah ini harus menjabat selama lima tahun atau hingga tembus 2024. Akan tetapi, tak boleh sampai satu bulan sebelum pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak.
“Yang pelantikan 2019 memegang jabatan selama 5 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati satu bulan sebelum diselenggarakan pilkada serentak tahun 2024,” kata Saldi.
Hingga saat ini, Pilkada Serentak masih tercatat akan digelar pada November 2024. Meski demikian, DPR dan KPU kabarnya akan mempercepat proses pemungutan suara hingga September 2024 dengan dalih ingin pelaksanaan pelantikan kepala daerah terpilih pada tahun yang sama.
Berarti, seluruh kepala daerah hasil Pilkada 2018 bisa menjabat lima tahun maksimal hingga Agustus 2024, atau satu bulan sebelum pencoblosan Pilkada Serentak.
Untuk diketahui Murad Ismail dan Barnabas Orno dilantik pada 24 April 2019. Itu berarti masa jabatan mereka baru akan berakhir pada 24 April 2024, sebelum Pilkada serentak dilaksanakan.
Sementara itu, Ketua Tim Hukum Pemerintah Provinsi Maluku Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. dalam rilisnya yang diterima media ini tadi malam menyampaikan bahwa Gubernur Maluku Murad Ismail dan beberapa kepala Daerah mengajukan uji materiil Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada Nomor 10/2016 yang mengatur kepala daerah hasil pemilihan 2018 menjabat sampai 2023 ke Mahkamah Konstitusi RI, argumentasi konstitusionalnya adalah meski dipilih lewat Pilkada 2018, para pemohon baru dilantik pada 2019, dengan demikian secara faktual ketentuan norma Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 adalah bertentangan dengan UUD 1945, sehingga MK dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa norma pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah dalil yang dapat dibenarkan secara hukum.
Fahri Bachmid merujuk pada pertimbangan hukum MK, yang mana ditegaskan bahwa, sepanjang berkenaan dengan perhitungan masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati hari pemungutan suara serentak nasional tahun 2024, menurut Mahkamah hal tersebut tidak dapat dipenuhi mengingat diperlukan waktu yang cukup untuk menunjuk penjabat kepala daerah sehingga tidak terjadi kekosongan jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah yang berdasarkan penalaran yang wajar dan dipandang cukup, yaitu 1 (satu) bulan sebelum hari “H” pemungutan suara serentak secara nasional yang diberlakukan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang masa jabatannya melewati hari pemungutan suara serentak dilakukan tahun 2024.
Fahri Bachmid menekankan bahwa bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum 1 (satu) bulan menjelang pemungutan suara serentak tahun 2024, seperti Gubernur Maluku Murad Ismail, maka masa jabatannya berakhir 5 (lima) tahun sejak pelantikan.
Dengan demikian, Mahkamah dalam amar putusan a quo menyatakan ketentuan norma Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 adalah inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023, dan bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 termasuk Gubernur Maluku Murad Ismail akan memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024.
Afirmasi ini diperlukan untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak secara nasional pada tahun 2024.
Fahri Bachmid menegaskan bahwa MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa ketentuan norma Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 telah ternyata menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan memberikan perlakuan berbeda dihadapan hukum sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon, dengan mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian, serta menyatakan Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang semula menyatakan “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023″, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 termasuk Gubernur Maluku Murad Ismail memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024.”
Sehingga, lanjut dia, norma Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota selengkapnya menjadi menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024.
Dengan demikian, menurut Fahri Bachmid, Gubernur Maluku akan memegang jabatan gubernur selama lima (5) tahun penuh, sampai dengan bulan April tahun 2024, dan secara konstitusional itu adalah suatu perintah hukum yang telah clear.
Ia berpendapat bahwa produk putusan MK adalah “erga omnes” dan telah sejalan dengan ketentuan norma Pasal 10 ayat (1) UU No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi, putusan MK bersifat final, yaitu putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, sifat final dalam putusan MK dalam UU MK mencakup kekuatan hukum mengikat, secara teoritik dan normatif Kekuatan mengikat putusan MK sejatinya tidak lepas hanya pada kedua belah pihak yang bersangkutan, melainkan semua badan pemerintahan, lembaga negara, dan semua orang harus tunduk pada putusan MK tersebut, Setiap hak atau kewajiban yang bersifat “erga omnes” dapat dilaksanakan dan ditegakkan terhadap setiap orang atau lembaga, Putusan MK yang bersifat final dan mengikat dengan kata lain tidak ada upaya hukum lain sesuai perintah norma Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu langsung memperoleh kekuatan hukum, maka putusan MK memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan, secara konstitusional putusan MK mempunyai efek keberlakuannya yang bersifat prospektif ke depan “forward looking” bukan berlaku ke belakang “backward looking”.
”Dengan demikian putusan MK terkait dengan masa jabatan gubernur Maluku ini bersifat self executing, artinya langsung berlaku dan tidak membutuhkan pengaturan lebih lanjut, tetapi putusan MK ini langsung berlaku,” tutup Fahri Bachmid. (**)