RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Ditengah gencar-gencarnya pemerintah melakukan program yang menggebrak sektor pariwisata di Maluku dengan tujuan menarik kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara, namun tak ayal job sebagai pemandu wisata masih cukup sepi.
Hal itu dibenarkan Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Maluku, Aditya S. Retraubun, kepada media ini di Ambon, Selasa, 12 Desember 2023.
Aditya mengaku sangat menyayangkan demand atau penawaran yang rendah dari industri pariwisata di Maluku. Padahal, HPI yang mempunyai sembilan DPC di kabupaten/ kota telah melaksanakan agenda pelatihan. Dimana, setiap pelatihan diikuti mulai dari 20 sampai dengan 100 orang.
“Hanya saja setelah pelatihan ternyata demand dari pasarnya rendah, makanya sedikit-sedikit mereka mulai berbelok arah. Ngapain jadi pemandu wisata kalau nyatanya tidak dapat benefit dari situ. Karena penghasilan kami murni dari job-job tour,” ungkap Aditya.
Dia mencontohkan, di Maluku terdapat 100 pemandu wisata namun tamunya hanya ada 10 orang, jadi yang akan dipakai hanya 10 pemandu wisata, sedangkan 90 pemandu wisata lainnya terpaksa menganggur.
“Orang-orang nganggur ini punya kebutuhan yang harus terpenuhi, kalau misalnya dia menunggu job dari tour tapi tidak kunjung ada maka otomatis mereka akan berfikir cari kerja lain,” keluhnya.
Dikatakan Aditya, PR bersama adalah bagaimana supaya bisa meningkatkan demand untuk pariwisata, agar produktivitas pemandu pariwisata itu meningkat maka industri pariwisata mesti dikembangkan untuk adanya demand pariwisata. Maka orang-orang akan tertarik.
“Menurut saya pemerintah sudah berusaha maksimal untuk meningkatkan demand pariwisata atau kunjungan wisata, namun memang Maluku punya tantangan tersendiri terkait kunjungan wisatawan,” akuinya.
Misalnya dari jarak saja, ketika seorang wisatawan datang ke Jakarta dan diberi pilihan mau jalan ke Bali atau ke Maluku terus ditanya ke Bali berapa lama perjalanan, ke Bali satu jam, ke Maluku tiga jam. Hal ini sudah menjadi poin minus satu untuk Maluku.
Yang kedua, lanjut Aditya, terkait biaya ke Bali Rp 700 ribu dan ke Maluku Rp 1,5 juta. Dan sampai ke Bali bisa keliling-keliling, sedangkan sampai ke Maluku harus mempertimbangkan jadwal kapal, konektivitas wilayah, cuaca, biaya penginapan dan sebagainya.
“Tentu ini menjadi PR bagi kita semua, bukan cuma tugas kami sebagai praktisi, dari dinas terkait, untuk urusan pariwisata memang harus keroyokan semua lini harus bisa untuk bekerja sama,” tambah dia.
Sementara itu, Ketua DPD Perhimpunan Hotal dan Restoran Indonesia (PRHI) Maluku, Temmy Barlola juga menguliti soal penyerapan tenaga kerja di industri yang kapabel di Maluku. Ia mengakui tantangan paling berat adalah ketersediaan industri dibarengi juga mindset dan diikuti dengan etika yang perlu banyak pembinaan.
“Yang perlu disiapkan oleh pemerintah maupun swasta adalah penyiapan industri kerja dengan upah yang baik. Saat ini rata-rata orang memilih sebagai PNS karena struktur upah di perusahaan-perusahaan begitu tinggi. Ini menjadi catatan bagi pemerintah dan swasta agar mempersiapkan industri kerja di berbagai bidang dengan struktur upah yang baik bisa menggeser mindset tadi,” pungkasnya. (SSL/ RIO)