Ini kali ketiga saya mengikuti kajian bulanan yang diselenggarakan oleh Alkhairaat. Tema kali ini tentang: Harta dan Anak, Antara Nikmat dan Ujian.
Saya sengaja diundang oleh sang ketua yayasan Ustad KH.Ikram Ibrahim, Lc. Tempat kajian di Aula Madrasah Tsanawiyah Alkhairaat di sayap kanan jalan poros menuju Bandara Pattimura, Kota Jawa, Ambon, Minggu, (3/12/23).
Pematerinya Ustad Fachri Husni Alkatiri, Lc, M.Si. Ia tidak lain alumni Universitas Madinah, yang sebelumnya mantan Wabup Kabupaten Seram Bagian Timur, itu.
Mengawali materinya Ustad Fachri menyoal seputar harta dan anak sebagai ujian.
Mengutip Al-Quran Surah Assyu’ara Ayat 87-88-89 dalam doa Nabi Ibrahim kepada Allah itu banyak disebutkan: “Ya Allah janganlah Engkau jadikan sesuatu yang hina (aib) yang memalukan pada hari dimana semua manusia dibangkitkan. Hari dimana tidak lagi bermanfaat harta dan anak-anak kita kecuali orang-orang yang datang menemui Allah dengan hati yang suci. Hati yang bersih.”
Sebagai manusia dan orang tua kita tentu selalu diperhadapkan pada dua hal ini: anak dan harta.
Begitu pentingnya anak dan harta sampai Allah menggunakan dua kata ini selalu bersesuaian. Untuk harta, misalnya. Di sini Allah menggunakan kata Al-Maal, sedangkan untuk anak dipakai kata Al-Banun.
Dari dua kata ini sering Allah menempatkan kata Al-Maal diletakkan di belakang. Atau sebaliknya kata Al-Banun di depan.
Di kalangan ulama muncul anggapan mengapa dua kata ini Allah selalu tempatkan pada posisi berbeda tentu ada maksudnya.
Misalnya pada ayat di atas Allah menyebutkan harta dulu baru anak. Atau pada ayat lain Allah katakan: “Inna ma amwalukum wa awladukum fitnah.”
Artinya: “Sesungguhnya harta kalian dan anak-anak kalian adalah ujian.” Kata fitnah di sini artinya ujian atau cobaan.
Jadi, di sini Allah sebutkan harta dulu baru anak. Atau sebaliknya anak dulu baru harta sebagaimana pada Surah Ali Imran Ayat 14.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak.”
Dari pandangan mufasirin di sini Allah menyebutkan ujian itu diawali dari harta dulu barulah anak. Mengapa? “Karena, sebelum kita punya anak lahir ke dunia yang dimiliki seorang pasangan harus lebih punya harta. Kan orang menikah awalnya harus punya harta,” kata Ustad Fachry.
Harta itu apa saja? “Pakaian yang kita gunakan, makanan yang kita nikmati atau apa saja yang berlebihan yang Allah berikan kepada kita lalu kita sedekahkan ke jalan Allah dan mendahului kepemilikan terhadap anak adalah harta,” ujarnya.
Bahkan jauh sebelum kita punya anak yang menjadi syarat dari sebuah perkawinan maka kita harus lebih dulu punya kemampuan harta yang cukup.
Di kalangan ulama menyebutkan kalau harta semua orang punya, sementara anak tidak semua orang bisa memilikinya. Ada orang Allah mentaqdirkan dari hidup sampai meninggal tidak dikasih anak. Bahkan ada yang sampai wafat pun tidak pernah menikah
Di sini disebutkan jika harta mendahului dari sisi ujian. Sebaliknya, ketika Allah SWT berbicara soal ujian dari sisi cinta kepada keduanya atas harta dan anak maka Allah lebih mendahulukan cinta kepada anak ketimbang harta.
Sebab kalau disuruh memilih lebih dulu mana: harta atau anak pasti kita memilih anak. Dan, demi anak berapa pun harta yang kita miliki siap untuk kita korbankan.
Dalam kehidupan anak dan harta tidak akan pernah lepas dari hidup dan mati kita. Dan, semua itu sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran masing-masing dengan ujiannya. Untuk mengukur seberapa besar kadar kebaikan amal usaha kita di dunia dan akhirat kita kerab mendapat ujian.
Sebagaimana namanya ujian kita tentu akan diperhadapkan pada banyaknya pilihan. Ujian itu bisa bersifat senang atau susah. Pertanyaan-pertanyaan yang kerab muncul dalam ujian kehidupan yang kita hadapi di dunia saat ini boleh jadi ada yang mudah dan gampang.
“Bahkan dalam ujian itu terkadang ada pernyataan yang mudah tapi menjebak. Tergantung Sang Pemberi Ujian. Dalam hidup ini sejak awal haruslah kita selalu tanamkan dalam pikiran bahwa kita akan selalu diperhadapkan yang namanya ujian dari Allah SWT,” ujarnya.
Itulah mengapa dalam soal harta begitu penting Allah SWT menekankan karena di sana ada hak orang-orang peminta-minta dan kaum miskin. Tidak semua orang miskin menjadi peminta-minta dan mereka ini ada yang tidak mau menampakkan kemiskinan walau mereka miskin. Itu karena faktor malu hati atau dalam bahasa agama disebut al-mahrum.
Ada orang memang miskin tapi tidak mau kelihatan miskin. Mereka ini punya sedikit rasa harga diri tinggi.
Jadi, bilamana ada peminta-minta datang ke rumah kita dan kita tahu dia miskin jangan kita hardik. Itu tidak boleh. Dan, jangan pula semua harta kita itu diberikan kepada peminta-minta, tapi sebagian haruslah kita sisihkan kepada mereka yang memilih tidak meminta-minta tapi sebenarnya miskin.
“Tugas kita mencari tahu mereka ini, karena Allah mengatakan terhadap mereka ini yakni miskin dan meminta-minta dan miskin tapi tidak meminta-minta ada hak-hak mereka,” ujarnya.
Sikap orang miskin ini tidak beda jauh pula dengan orang kaya. Kalau ada orang miskin yang tidak mau ketahuan miskinnya, orang kaya pun sama saja. Ada orang kaya tapi pura-pura tidak mau menampakkan kekayaannya.
Terhadap orang kaya seperti ini boleh jadi dia tidak mau menonjolkan harta dan kekayaannya karena ia tidak mau memamerkan hartanya. Boleh jadi pula ia memilih mendermakan hartanya diam-diam.
“Tapi sebaliknya bisa saja, dia takut tak mau didatangi oleh orang lain untuk meminta-minta kepadanya. Sehingga walau kelihatan kaya tapi ia menampak dirinya sebagai orang miskin. Semoga kita terhindar dari sifat semacam ini,” ujarnya.
Lalu dimana Allah menyebutkan harta dan anak itu ujian? Di surah Al-Kahfi Ayat 46 disebutkan: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Di antara sesuatu yang tersisa dari kebaikan harta dan anak sebagai bekal kita di akhirat nanti tidak ada yang lain kecuali amal ibadah.
Nabi Muhammad SAW katakan: “Anak dan harta yang akan menemani mereka yang wafat hanya sampai di liang lahat. Yang antar kita sampai di kuburan hanya tiga: Al-Ahlul (anak dan sanak keluarga), Al-Maluu (harta), dan Al-Amal (amal ibadah). Begitu mayat kita ditimbun dengan tanah maka hanya dua yang kembali yakni Al-Ahlul dan Al-Maluu. Kecuali amal ibadah ia akan kekal bersama jenazah,” ujarnya.
Itulah mengapa soal anak dan harta ini begitu detail disebutkan oleh Allah SWT. Ini semua Allah ingatkan agar kita harus tahu urusan harta dan anak-anak kita ini sampai dimana.
Lalu bagaimana hubungan suami-istri dalam soal ini? Pada kondisi tertentu kita sering mendengar ungkapan kasih sayang keduanya untuk tetap “sehidup-semati” dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Ungkapan ini dari segi makna tidak salah, tapi fakta yang terjadi tidak demikian. Sama juga anak pun harta. Semua yang telah menjadi jenazah hanya bisa ditemani sampai di kuburan saja. Begitupun suami-istri.
Kalimat-kalimat indah “sehidup-semati” pasangan suami-istri pada hakikatnya hanyalah pemanis dan pada kenyataan tidak demikian.
“Secinta-cinta suami atau istri kepada pasangannya ia tidak bisa berdua di alam kubur. Karena itu dalam hubungan cinta dan kasih sayang suami-istri kita dianjurkan untuk tidak berlebihan. Cinta suami kepada istri boleh tapi tidak sampai melampaui batas. Sebaliknya, cinta istri kepada suaminya boleh tapi jangan berlebihan,” ujarnya.
Jadi, hakekatnya anak dan harta itu adalah ujian. Dia indah tapi sekaligus juga cobaan. Harta kita haruslah dimanfaatkan ke jalan yang benar, juga anak-anak kita haruslah berhasil dididik menjadi orang yang baik sehingga bermanfaat setelah orang tuanya meninggal dunia.
Karena itu jangan sampai ujian atas anak dan harta kita ini tidak lolos karena faktor kelalaian. Maka dengan melakukan pendekatan yang baik dan benar atas anak-anak kita dan harta — semoga kelak kita akan keluar sebagai pemenang dan menjadi mulia di hadapan Yang Maha Kuasa setelah kematian.(*)