- Arman Kalean, M.Pd | Ketua DPD KNPI Maluku | Dosen IAIN Ambon
Kecerdasan Buatan (artificial intelligence), bukan hanya menggeser aktivitas perdagangan dari dunia nyata ke dunia maya, tapi juga menggeser kebiasaan belajar mengajar offline ke online. Apalagi pada saat pandemi Covid 19 baru-baru lalu, keadaan tersebut pada akhirnya memaksa para Guru untuk lekas melakukan upgrade (peningkatan) terhadap sejumlah strategi belajar mengajar, baik dari cara mengajar maupun cara evaluasi.
Kehadiran Mas Menteri Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan di era Presiden Jokowi Jilid II, yang menggabungkan kembali tata kelola Perguruan Tinggi ke dalam satu rumah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek), telah berusaha menyeragamkan kembali ide Kurikulum Tunggal Meskipun kata banyak pengamat, Kurikulum kita hanya berganti Baju, tapi badannya tetap itu-itu saja.
Ide Besar dari “Merdeka Belajar” mulai terasa dampaknya pada Pendidikan di tingkat Sekolah, terlebih oleh Guru-guru usia Muda yang direkrut masuk sebagai Guru Penggerak, disusul berbagai platform Merdeka Mengajar. Kemudahan kriteria Sekolah, dari yang akan menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar pun, tampaknya tidak ada syarat yang istimewa, seperti pada awal-awal ide penyeragaman ini digaungkan. Barangkali, hal ini bertujuan agar Sekolah-sekolah lekas melakukan transformasi menuju Sekolah Merdeka Belajar.
Kesemua ide besar itu, landasan pijaknya adalah kemajuan teknologi yang kian pesat. Maka itu, Guru TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) yang sebelumnya khawatir karena mata pelajaran mereka dihapus, saat ini mulai diberlakukan lagi, dan formasi Guru TIK kembali diterima. Bukan hanya untuk kebutuhan Sekolah-sekolah Kejuruan saja, tapi juga di sekolah umum.
Dinamika Guru di Indonesia belakangan ini, rupanya telah mengarahkan Guru untuk benar-benar aktif sebagai Pengajar semata, yang sekedar bertransformasi dari cara mengajar minus teknologi kepada cara mengajar sarat penggunaan alat-alat Teknologi. Yang pasti, Pemerintah melalui Pakar yang menyetujui ide besar tersebut, akan membela mati-matian dengan berdalih bahwa adanya “Profil Pelajar Pancasila”, cukup sebagai garantor utama membumikan semangat Gotong royong, penciri perilaku kebangsaan kita.
Padahal, yang tampak dari pemerintahan kita kali ini adalah belum terselesaikannya Revolusi Mental secara masif. Hal itu ditandai dengan laju logika infrastruktur secara besar-besaran, yang tidak dibarengi dengan laju logika budaya kerja. Tentu budaya kerja yang dimaksud adalah kompetisi komunal bukan persaingan individual, dengan cara kooperasi atau kooperatif, atau dalam istilah kita yakni semangat Gotong royong tadi.
Di sinilah titik tekan Dasar-dasar Pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara (1937) saat membedakan Pendidikan dan Pengajaran sebagai dua hal yang berbeda. Ki Hajar dalam Bunga Rampai Pendidikan yang dibukukan Tahun 1961, mengatakan bahwa Pengajaran (onderwijs) adalah kecakapan kemerdekaan lahiriyah saja, sementara Pendidikan (opvoeding) merupakan kecakapan kemerdekaan batiniyah.
Dan, bila diperhatikan secara cermat, Tokoh-tokoh Nasional Kita pada masa lalu, rata-rata pernah mengambil peran sebagai Guru untuk memberantas Buta Huruf. Sukarno, A.M. Sangadji, dan Tokoh-tokoh lainnya, pernah ada di posisi ini. Tentu saja spirit yang sejalan dengan Paulo Freire, Bapak Pendidikan Kritis dari Brazil. Tokoh Kita tersebut, telah jauh hari pada awal Abad 19 mempraksiskan Pendidikan untuk Kaum Tertindas, yang oleh Karto Hadi Soebroto, dkk (1912) juga sudah mengorganisir Guru ke dalam Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), sebagai cikal bakal Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sejak 25 November 1945. Namun, seiring waktu, baru pada Tahun 1994 Hari Guru Nasional (HGN), resmi diteken oleh Presiden Suharto dan diperingati setiap tahun pada Tanggal yang sama dengan hari ulang tahun PGRI.
Guru pada zaman Kolonial terlatih sebagai Cendekia. Mereka melek Politik, punya kesedaran kritis, dan secara otodidak terlatih melakukan riset mandiri, tentu dengan segala macam keterbatasan pada saat itu. Seperti yang telah diulas secara lugas oleh Joe. L. Kinchelo dalam bukunya yang disadur dengan judul “Guru Sebagai Peneliti”, yang secara spesifik memandu Guru melakukan penelitian kualitatif. Jadi, aspek sosiologi pendidikan juga tak ketinggalan disasar oleh para Guru kita, kala itu.
Bukan seperti sekarang, Guru hanya dibatasi pada kewajiban membuat Penelitian Tindakan Kelas (PTK) bila hendak naik pangkat. Sementara itu, para Pakar seperti Prof. DR. S. Nasution, MA., menulis dalam bukunya “Sosiologi Pendidikan” menyatakan, kalau Sosiologi Pendidikan terkesan baru di Indonesia.
Lain di Amerika Serikat, anda akan sangat gampang menemukan riset-riset yang membedakan hasil belajar antara kaum pinggiran Kulit Hitam dan Anak-anak yang dianggap keluarga mampu dari Kulit Putih. Begitu juga hasil belajar antara Laki-laki dan Perempuan, untuk membantah klaim bahwa hanya Laki-laki yang pintar Logika Matematis, misalnya. Atau, anda dapat melihat berbagai riset mendalam soal korelasi penghasilan keluarga dengan hasil belajar Siswa.
Untuk itu, perlu diingatkan kembali kepada Guru Generasi Milenial dan Calon Guru Generasi Z, yang sementara menempuh jenjang perkualian pada berbagai Lembaga Perguruan Tinggi Tenaga Kependidikan (LPTK), agar mampu mencuri kesempatan memelajari berbagai doktrin Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Paulo Freire, dan Tokoh-tokoh Pendidikan Kritis lainya, baik pendekatan Filosofisnya, maupun secara Teoretis.
Guru sebagai Cendekia
Berlanjut dari catatan di atas, maksud dari Guru sebagai Cendekia selain sebagai refleksi, juga berfungsi menaikkan motivasi alat baca. Agaknya, fenomena sosok Youtuber yang mancatut nama sebagai “Guru Gembul” cukup menaikkan pula ekspektasi Guru sebagai sosok Cendekia, setidaknya. Sesuai akuannya pada beberapa kesempatan, Ia pernah aktif mengajar sebagai Guru PKn.
Topik yang disentil Guru Gembul memang beragam, dari Filsafat, Politik, Genetik, hingga konflik Israel dan Palestina. Guru Gembul terlihat tanpa jeda saat mengusung argumentasinya, bagai Pakar yang sudah terbiasa bergelut dengan tema yang dibicangkan. Semoga derajat intelektualitas dari Guru Gembul ini bukan seperti yang dibilang Tom Nichols dalam bukunya berjudul “Matinya Kepakaran (The Death of Expertise)”.
Yang pasti, kehadiran Guru Gembul membawa harapan dan rindu kita pada makna Mahasiswa dan Guru di masa-masa lampau, dimana Mahasiswa kalau mereka sedang di lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) biasanya harus serba bisa. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi, misalnya, harus bisa sewaktu-waktu diminta untuk membetulkan intalasi listrik di Masjid yang mengalami korsleting.
Begitupun Guru pada era lalu, sekalipun Guru Biologi, Ia harus siap sedia bila diminta membawa hikmah pernikahan. Tak peduli Ia adalah alumni Fakultas Tarbiyah atau Fakultas di Kampus Umum, harus selalu siap. Yang demikian itu, disebabkan karena gambaran Guru di dalam alam pikir masyarakat adalah benar-benar sosok yang dapat digugu dan ditiru, yang memiliki segala kearifan, yang mampu membicarakan segala pengetahuan positif. Pendek kata, Guru merupakan sosok yang multi bisa.
Guru dan Pilpres 2024
Rasanya, belum terlihat keseriusan dari para kontestan pada Pilpres 2024 mendatang, untuk membicarakan secara gamblang tentang problem Guru di Indonesia. Terlepas dari Netralitas ASN, sebagai Dosen ASN di Kampus Negeri, saya telah membaca Visi Misi ketiga Calon Presiden dan Wakil Presiden, baru pasangan Ganjar dan Mahfud saja yang dengan bertahap memberi literasi serius mengenai Pembangunan Manusia Indonesia, termasuk membunyikan “Pendidikan yang Berkualitas dan Merata” pada halaman 18.
Semoga ini bukan akhir dari segala wacana dominan, sebab di Indonesia biasanya kalau jarang diangkat di Media Mainstream atau Media Populer, suatu persoalan, termasuk problem tentang Guru, jangan harap mampu menembus wacana pengarusutamaan pada perhelatan Pilpres 2024 kali ini. Meskipun masih ada ruang-ruang Kampanye guna mengangkat masalah Pendidikan dan Guru, kita tetap mencoba terus menjadi pemberi peringatan kepada Tim-tim Kampanye dan Thin Tank pada para Kandidat, untuk membunyikannya saat masa kampanye mendatang.
Ragam persoalan Guru dan Pendidikan mestinya menjadi diskursus dominan pada tiap kali Pemilu, apalagi Pilpres. Beberapa reformasi Organisasi Guru dan reposisi Guru perlu dipertegas secara terukur. Misalnya, pada Pilpres sebelumnya justeru wacana Guru datang dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), bukan dari PGRI. Hal itu mungkin dikarenakan FSGI membawa sejumlah persoalan Guru Kontrak atau Guru Honorer.
Belum lagi kemunculan Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang sangat antusias mendukung akselerasi Merdeka Belajar melalui diseminasi tentang kecakapan digital untuk para Guru saat pandemi tempo hari. Lagi-lagi, bukan PGRI. Apakah hal ini dapat berarti PGRI mulai dianggap ornamen perjuangan di era kolonial, yang kurang lebih sama dengan Taman Siswa, diiyakan sebagai kekayaan masa lalu tapi tidak dianggap kuat untuk bertahan pada masa yang akan datang.
Bagaimanapun, PGRI dan Taman Siswa adalah organisasi yang dijadikan rujukan utama memupuk spirit kemerdekaan dari penjajahan asing. Organisasi-organisasi tersebut, jangan dibiarkan sebagai artefak sosial semata, melainkan diberi suplemen regulasi, digitalisasi dan perlakuan khusus lainnya, supaya mereka kembali menjadi Pelopor Pendidikan Ideal dan Pelopor Guru Ideal. Hal tersebut bertujuan untuk Generasi Z dan Post Z kedepan, selalu melek sejarah dan juga bangga dengan keberadaan wadah tersebut. (***)