Supaya Israel Terhormat

  • Bagikan

Serangan membabi-buta Israel atas Jalur Gaza yang telah menewaskan lebih 11.000 warga tidak berdosa tak akan membuat perjuangan rakyat Palestina meredup. Sebaliknya justeru menurunkan reputasi Israel dan negara-negara barat AS dan Eropa semakin terpojok.

Itu salah satu kesimpulan yang saya tangkap dalam percakapan bersama pakar soal Timur Tengah yang juga Penasehat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) bernama Dr.Smith Alhadar di Jakarta, Minggu malam, (19/11/23).

Dr. Smith Alhadar adalah satu di antara sekian intelektual yang saat ini banyak dimintai tanggapan seputar perang terbaru Israel-Palestina yang telah berlangsung lebih sebulan itu.

Di beberapa laman Youtube, misalnya, ada sekian banyak dialog Dr.Smith Alhadar yang beredar menyangkut tanggapan beliau soal konflik di sana.

Di edisi terbaru di Koran Kompas, dalam Rubrik Opini, Jumat, 17 Nopember 2023, ia juga menulis soal yang sama di halaman 7 berjudul: Momentum Perdamaian Israel-Palestina.

Pria berusia 64 tahun kelahiran Kota Ternate ini termasuk sosok langka yang bergelut dalam dunia intelektual yang banyak bersentuhan soal internasional. Beberapa tahun sebelumnya ia juga pernah melakukan studi menyangkut perdamaian konflik komunal di beberapa tempat di Maluku Utara dan Poso.

Dalam beberapa buku kumpulan tulisan terkait Resolusi Konflik di Maluku sebuah Bunga Rampai edisi 2003 Dr.Smith Alhadar juga pernah menjadi salah satu tim penulis buku.

Ia bersama beberapa tokoh Maluku seperti Prof Dr Thamrin Amal Tomagola termasuk bagian dari tokoh Maluku yang ikut memberikan kontribusi pemikiran terkait resolusi konflik.

Putera Maluku Utara itu melihat perang Israel-Palestina mestinya harus diakhiri. Sebab sampai kapanpun Israel tidak akan memenangkan pertarungan ini.

Akar masalahnya karena ini soal penjajahan Israel yang secara sepihak telah menduduki tanah orang. Supaya Israel dihormati di tengah bangsa-bangsa Arab maka Israel di bawah PM Benyamin Netanyahu ini haruslah berdamai dengan Palestina dengan cara kembali ke Resolusi PBB.

“Kalau upaya damai ini tidak dilakukan maka bukan saja Israel tapi Amerika dan Eropa yang selama ini berada di belakang Israel akan semakin terkucil di tengah tekanan dunia internasional atas kekejaman Israel saat ini,” ujarnya.

Menyangkut konflik di Timur Tengah ada yang harus diingatkan dan memberikan pelajaran pada kita bahwa sampai kapankan pun konflik Palestina-Israel tidak akan berakhir sepanjang tidak dikembalikannya hak-hak kemerdekaan bangsa Palestina.

“Supaya Israel merasa hidup terhormat dan tidur mereka tenang maka mereka harus kembali ke Resolusi PBB dan mengakui kemerdekaan Palestina. Bila ini tidak mereka sadari Israel akan terus terpuruk di tengah lautan bangsa Arab,” ujarnya.

Saat ini boleh jadi Hamas dengan segala kekuatannya memilih bertahan. Dengan alat perang yang dibuat seadanya mereka bisa mampu mengecoh intilijen dan militer Israel ketika mengirim rudal pada serangan pertama 7 Oktober 2023.

Serangan Hamas ini selain menunjukkan kepiawaian mereka juga sekaligus telah mempermalukan Israel di mata dunia. Serangan Hamas yang menewaskan ratusan warga Israel hari itu selain sebagai bentuk tekanan atas penjajahan Israel dan meminta dunia internasional menyangkut kemerdekaan Palestina, juga sekaligus telah mematahkan mitos kepiawaian intelijen dan militer Israel dengan Mozad yang oleh dunia selama ini diakui tercanggih itu ternyata tidak ada apa-apanya di hadapan para milisi.

“Kepiawaian intelijen dan militer Israel itu hebat. Iran yang jauh saja bisa mereka mencium setiap gerakan. Serangan rudal tanggal 7 Oktober hari itu membuktikan Israel tidak boleh mencoba-coba dengan Hamas,” ujarnya.

Saat ini boleh jadi Israel memiliki kecanggihan militer yang didukung oleh negara-negara sekutu Barat yakni Amerika dan Eropa sehingga mereka bisa melakukan apa saja di atas tanah Palestina.

Lagian selama ini kita ketahui sikap politik luar negeri rezim pemerintahan Amerika Serikat dan Eropa terhadap Palestina dan dunia Islam idom ditto. Sama saja.

Tidak saja di bawah rezim Joe Biden dari Partai Demokrat yang kini mendukung Israel yang telah menewaskan ribuan orang itu.

Sebelumnya kondisi yang sama atas Israel di bawah rezim Donald Trump dari Partai Republik ternyata juga tidak kalah jauh. Kita masih ingat keputusan Donald Trumph mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel selain memicu ketidakstabilan politik di kawasan Timur Tengah, suasana keamanan juga sempat tegang setelah tentara Zionis Israel dengan keji melakukan penyerangan ke Masjid Al-Aqsa saat mana kaum muslimin sedang melaksanakan salat dalam suasana Ramadan.

Mereka yang bersimpati pada perjuangan Palestina melihat ulah kejam tentara Zionis Israel atas muslim Palestina di Masjidil Aqsa di bulan Ramadan itu dianggap sebagai perbuatan keji dan tindakan zalim serta tidak berperikemanusiaan.

Tidak kalah jauh dengan Donald Trump, di bawah rezim Barack Obama dari Partai Demokrat dan rezim George Bush dari Partai Republik sikap pemerintah Amerika Serikat saat itu juga sama saja.

Kala itu usai dilantik sebagai presiden 20 Januari 2009 banyak yang berharap Barack Obama bisa memulihkan ketegangan antara dunia Islam dengan Barat setelah Amerika Serikat di tangan rezim George Bush menghancurkan Iraq dan Libya melalui apa yang disebut dengan Operasi Gurun Pasir.

Campur tangan Amerika Serikat di Timur Tengah itu berujung dihukum gantungnya Presiden Iraq Saddam Husein dan dibunuhnya Presiden Libya Muammar Khadafi.

Untuk menormalisasikan hubungan Timur-Barat pasca George Bush itu seminggu setelah dilantik Barack Obama dengan gagah melakukan lawatan ke luar negeri yakni Mesir.

Agenda kunjungan pertama dilakukan di pusat peradaban Islam di Timur Tengah tepatnya di Kampus Universitas Al-Azhar, Kairo. Di hadapan civitas akademika di kampus ternama itu si anak “Menteng Jakarta” ini disambut gembira.

Dunia seolah menanggapi dengan penuh gegap gempita terhadap mantan senator dari Kota Illionis, Chicago, itu.

Ia disambut penuh antusias saat berbicara tentang pentingnya menormalisasikan kembali hubungan dunia Islam dan Barat setelah sebelumnya di tangan rezim presiden George Bush menimbulkan perpecahan yang dilakukan Amerika Serikat untuk menyerang dan menghancurkan negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah.

Sayang langkah Barack Obama itu hanya lips service. Di tangan presiden kulit hitam pertama itu justeru hubungan dunia Islam dan Barat bukannya meredup.

Di tangan rezim Barack Obama, Amerika Serikat lagi-lagi menyisakan luka dan dendam mendalam bagi dunia Islam atas negara Afghanistan melalui perang melawan terorisme hingga memicu sentimen anti Islam dimana-mana ditandai oleh penangkapan Osama Bin Laden.

Sentimen itu memicu reaksi dunia Islam setelah rezim Barak Obama menangkap kemudian menenggelamkan musuh utama Amerika Serikat yang dicap sebagai teroris bernama Osama Bin Laden di Samudera Atlantik 2 Mei 2011.

Sepeninggal Amerika Serikat di tanah Afghanistan Agustus 2001 setelah gagal melakukan operasi terorisme kini negeri itu tidak terdengar lagi adanya prahara pertumpahan darah.

Tadinya banyak yang berharap setelah dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Amerika Serikat, (20/1/21), Presiden Joe Biden dan Wapres Kamala Harris bisa membuat kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat untuk membantu menengahi perang atas serangan Israel terhadap warga Palestina yang telah dilakukan diluar batas kemanusiaan itu.

Sayang ketidak keberpihakan Amerika Serikat kali ini melalui rezim Joe Biden membuat dunia kembali mempertanyakan keberpihakan Amerika Serikat yang selama ini diakui sebagai pentolan HAM dan demokrasi itu.

Sebagai demokrat sejati di tengah begitu banyak demonstrasi dan tekanan serta desakan dunia bahkan sampai ke Gedung Putih di Washington tempat dimana Joe Biden berkantor untuk menghentikan penjajahan Zionis Israel atas tanah Palestina, Presiden Joe Biden mestinya harus berperan menyuarakan kepada dunia untuk ikut mendorong dan menghentikan perang di tanah tempat dimana tiga agama Samawi itu berdiri: Yahudi, Kristen, dan Islam, itu.

Sebagai seorang Katolik yang taat, di tangan rezim Joe Biden ia mestinya bisa mengambil peran penting untuk membantu menyuarakan atas penghentian penjajahan Israel di tanah Palestina. Karena di dunia ini hanya tinggal Palestina saja yang diduduki oleh penjajah Zionis Israel yang sudah memasuki lebih 70 tahun.

Demi kemanusiaan, langkah baik Joe Biden membantu untuk penyelesaian perang di tanah para nabi ini kelak akan tercatat sebagai sejarah walau karena itu ia harus kalah pada Pemilu yang akan digelar tahun depan.

Lagian perang Israel-Palestina jelas-jelas tidaklah seimbang karena yang dihadapi Palestina adalah mereka yang tertindas di atas penindasan oleh Israel. Dan, yang mereka hadapi ini bukan militer tapi justeru melawan milisi yang dari sisi kecanggihan teknologi perang tidak ada apa-apanya.

Dr.Smith Alhadar mengajak dan mengingatkan rezim Israel dan juga kita semua untuk tahu bahwa kita tidak boleh lupa belajar pada sejarah. Sebab sejarah itu selalu berjalan dinamis.

Saat ini boleh jadi Israel yang hidup di tengah lautan tanah Arab itu bisa melakukan apa saja karena disokong Amerika dan Eropa.

Dulu, sejarah juga mencatat Bizantium, Romawi, dan Babilonia itu termasuk rezim kuat yang tidak bisa dikalahkan. Tapi sejarah pula mencatat setelah datangnya Islam negeri-negeri ini berhasil ditaklukkan setelah mendapat serangan.

Saat ini dari sisi kecanggihan teknologi militer dan intelijen di negeri-negeri Arab masih lemah sehingga mereka tidak bisa melakukan apa saja. Tapi seiring berjalannya sejarah suatu waktu bila kondisi berubah situasi itu bisa saja berbalik sehingga membuat orang-orang yang tadinya teraniaya akan balik melakukan balasan yang sama.

“Itulah sejarah. Mereka yang selama ini hidup dalam ketakutan suatu saat akan balik melakukan balasan yang sama, juga bisa lebih dari itu. Apalagi ini soal hak-hak mereka yang dirampas. Dan, Israel tahu bahwa tanah yang diduduki itu tanah orang,” ujarnya.

Saat yang sama Israel yang selama ini sudah hidup tenang mestinya harus memilih berdamai, bukan lagi merampas dan memperluas wilayah kekuasaan di atas tanah yang didudukinya itu.

Jika itu tidak disadari oleh Israel bukan tidak mungkin selamanya mereka akan terancam dan mereka tidak akan hidup tenang. Mengutip Dr.Smith Alhadar di atas, tidak ada jalan lain supaya Israel merasa terhormat dan hidup damai di tengah dunia Islam mereka ini harus mendukung kemerdekaan Palestina.

Sebab boleh jadi sejarah kelak akan mencatat mereka yang selama ini merasa teraniaya akan berbalik mengembalikan luka bangsa Arab juga luka dunia Islam atas kekejaman Israel yang telah merampas hak-hak dan membunuh rakyat Palestina yang tidak berdosa itu.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version