RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Sebanyak tujuh kepala daerah di Indonesia, salah satunya Gubernur Maluku Murad Ismail, menguji secara materiil aturan masa jabatan bagi kepala daerah yang merupakan hasil pemilihan tahun 2018, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor: 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI.
Dalam sidang perdana Perkara Nomor: 143/PUU-XXI/2023 yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu, 15 November 2023, ketujuh pimpinan daerah ini mendalilkan Pasal 201 ayat (5) UU RI Nomor: 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Dimana, Pasal 201 ayat (5) itu menyebutkan bahwa “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.
Meski hasil pemilihan tahun 2018, namun Murad Ismail dan Barnabas N. Orno resmi dilantik oleh Presiden RI Joko Widodo sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku pada April 2019. Sehingga, masa jabatan kepala daerah selama lima tahun seharusnya berakhir juga pada April 2024 mendatang,
Dan bukan berakhir pada 31 Desember 2023 sebagaimana edaran surat Kementerian Menteri Dalam Negeri (Kemendagri) terbaru tertanggal 31 Oktober 2023 Nomor: 100.2.1.3/7374/OTDA yang ditandatangani langsung Plh Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, La Ode Ahmad P Bolombo.
Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H, mengatakan, secara hukum permohonan tersebut merupakan hak konstitusional setiap orang sebagai warga negara yang harus dihormati dan diapresiasi. Apalagi, konstitusi menjamin hal itu.
“Saya berpendapat bahwa Pak Gubernur Maluku Murad Ismail melakukan perlawanan secara legal konstitusionalnya, ini merupakan sesuatu yang sangat baik dan terhormat, ini adalah mekanisme yang disediakan oleh hukum untuk melakukan koreksi terhadap tata norma hukum yang dianggap belum memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum,” akuinya, kepada media ini di Ambon, Kamis, 16 November 2023.
Terkait dengan pengajuan judicial review terhadap Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada, kata Fahri, secara teknis hukum sebenarnya upaya permohonan ini diajukan dalam rangka mencari kepastian hukum sebagai konsekuensi adanya semacam “kekosongan norma” pada pasal tersebut.
Sehingga diharapkan agar MK dapat memberikan tafsir konstitusional yang final tentang akhir masa jabatan para pemohon selaku kepala daerah yang terpilih pada tahun 2018, namun baru dilantik pada tahun 2019 di bulan yang berbeda-beda, sehingga masa jabatan mereka terpangkas mulai dari dua bulan sampai dengan enam bulan.
“Hal tersebut berdampak pada masa jabatan para pemohon menjadi tidak utuh selama lima tahun. Sementara dalam ketentuan norma Pasal 162 ayat (1) dan (2) UU Pilkada secara jelas menyebutkan kepala daerah memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak pelantikan,” urainya.
“Dengan demikian jika pemohon meminta MK untuk menafsirkan secara konstitusional berdasarkan konstruksi norma pasal tersebut, menurut hemat saya adalah sangat reasonable!dan tentunya mempunyai basis argumentasi yang logis,” tambah Fahri.
Dia menjelaskan, dampak dari memperpendek masa jabatan kepala daerah tersebut, maka tentunya potensial melanggar hak konstitusional para pemohon, yaitu diduga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, di mana warga negara mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
“Serta potensial terkategori mengabaikan hak konstitusional para pemohon, sebagaimana diatur dalam pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” jelas Advokat senior itu.
Untuk diketahui, selain Gubernur Maluku Murad Ismail, enam kepala daerah lainnya yang sama-sama menguji secara materiil aturan masa jabatan ke MK, yakni Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Walikota Bogor Bima Arya, Wakil Walikota Bogor Dedie Rachim, Walikota Gorontalo Marten Taha, Walikota Padang Hendri Septa, dan Walikota Tarakan Khairul. (RIO)