Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Jogokariyan, Jogya, ternyata memiliki banyak keunikan. Di samping dikenal sebagai masjid bersaldo kas “Nol Persen” keunikan lainnya yakni memberikan uang saku kepada musafir atau ibnu sabil yang dalam perjalanan tapi tidak memiliki bekal atau biaya untuk kembali ke daerahnya.
Tentu kriteria atau syarat untuk mereka ini disesuaikan berdasarkan ketentuan. Syarat ini penting agar tidak dimanfaatkan oleh mereka yang sengaja memperoleh keuntungan dari dana-dana zakat yang dikelola masjid.
Itu salah satu kelebihan pengelolaan Masjid Jogokariyan sampai orang yang terlantar karena kehabisan uang atau bekal pun ikut ditangani.
Impian saya mengunjungi masjid ekonik di Kota Jogyakarta itu terjawab sudah setelah melihat langsung masjid ini. Tidak cukup hanya mendengar cerita sukses pengelolaan masjid yang telah menjadi role mode di Tanah Air yang dipimpin Ketua Dewan Syuro Takmir KH.Muhammad Jazir, ASP, itu.
Saya memang memanfaatkan waktu selama empat hari berada di Kota Jogya untuk mendatangi masjid ini setelah sehari sebelumnya menghadiri acara wisuda anak saya, Kamis, (26/10/23).
Begitu tiba setelah berangkat dari penginapan saya langsung salat jamaah taakhir di masjid ini. Bagi mereka yang sedang musafir atau dalam perjalanan seperti saya yang datang nun di Pulau Ambon berlaku hukum ruksah. Bahasa ilmiahnya “kompensasi”.
Yakni keringanan menggabungkan dua salat pada satu waktu yang sama yakni mengerjakan salat duhur digabung ke waktu asar. Itulah disebut jamaah taakhir.
Atau bisa pula sebaliknya. Menarik waktu salat asar pada saat waktu duhur atau biasa disebut jamaah takdim.
Yang saya lakukan sore itu adalah jamaah taakhir karena belum sempat menunaikan salat duhur dan baru dikerjakan pada waktu asar atau jamaah taakhir.
Kunjungan saya ke masjid ini tadinya ingin bertemu pimpinan KH.Muhammad Jazir, ASP. Sebelum ini, dua tahun lalu, saya memang pernah bertemu dan mewawancarai KH.Jazir di Ambon.
Kedatangan Kiyai Jazir saat itu menjadi pembicara bertema: Pelatihan Manajemen Masjid yang diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Maluku di Ambon, Sabtu, (6/11/21).
Ketika itu di hadapan sang kiyai saya berniat suatu waktu jika berkunjung ke Jogya saya akan mampir ke Masjid Jogokariyan.
Namun kerinduan berjumpa dengan sang kiyai tidak tersampaikan hari itu karena saat yang sama Kiyai Jazir telah berangkat ke Kalimantan.
Usai salat jamaah taakhir saya pun mencoba menemui pengurus masjid. Dan, oleh pengelola masjid yang lain mereka sarankan saya untuk menemui orang “dekat” kiyai yakni Enggar Hariyopan Galih.
Ia tidak lain Kepala Biro Manajemen Masjid Jogokariyan. Dialah yang punya “kewenangan” memberikan keterangan bilamana Kiyai Jazir tidak berada di tempat.
“Maaf Pak Kiyai sedang ke Banjarmasin. Beliau ada mengisi acara di sana,” ujar Pak Galih.
Soal cerita sukses dan gambaran tentang masjid ini sudah pernah saya peroleh dari tangan pertama sang kiyai ketika di Ambon itu.
Di hadapan para takmir masjid, sang kiyai ini mengurai secara detail soal kekuatan dan kelemahan dalam pengelolaan manajemen masjid.
Termasuk kisah dan pengalaman sang kiyai dalam memimpin Masjid Jogokariyan yang kini telah menjadi role mode itu (Baca: Rakyat Maluku, 6/11/21).
Pada kunjungan kali pertama ini, selain memanfaatkan waktu salat jamaah taakhir, saya juga menggunakan kesempatan berkeliling melihat-lihat dari dekat masjid tersebut.
Ukurannya tidak terlalu besar dan berlantai tiga. Lokasinya di pinggir jalan berada sekitar 3 Km ke arah timur dari titik nol Kota Jogyakarta. Atau ke arah kanan bila menuju ke Jalan Panembahan Senopati.
Setelah melewati SMPN 2 Yogyakarta kita akan tiba di sebuah perempatan kemudian belok ke arah kanan lagi di perempatan tersebut dan terus ikuti jalan hingga melewati Pojok Beteng Wetan lalu masuk ke Jalan Parangtritis.
Setelah itu belok lagi ke arah kanan di sebuah pertigaan yang berada tepat sebelum SPBU, kemudian terus hingga menemukan Masjid Jogokariyan yang terletak di sebelah kiri jalan dari arah kedatangan.
Konstruksi gedungnya seperti masjid umumnya. Selain berfungsi sebagai tempat ibadah, di sayap depan masjid ini juga berfungsi sebagai Islamic Center. Pusat kegiatan dan dakwah Islam.
Di pinggir jalan terlihat gerobak-gerobak UMKM yang selama ini ikut dibiayai melalui dana bantuan masjid tampak berjejer.
Selain untuk sarana dakwah, di masjid ini juga ada kamar penginapan gratis yang diperuntukkan untuk mereka para musafir yang kesulitan keuangan atau tidak punya penginapan.
Untuk mereka yang kesulitan keuangan dan tempat tinggal selama dalam perjalanan tidak perlu kemana-mana cukup ke Masjid Jogokariyan Anda akan diberi uang saku plus nginap gratis di tempat yang sudah disiapkan.
Itulah kelebihan masjid yang satu ini. Namanya tidak saja dikenal sebagai masjid dengan saldo kas “Nol Persen”, tapi juga menjadi wadah bagi para ibnu sabil atau musafir yang kehabisan uang dan tempat tinggal.
“Apakah setiap hari para musafir atau ibnu sabil selalu meminta bantuan?,” tanya saya.
“Iya,” jawab Pak Galih.
Saking seringnya mereka datang meminta surat keterangan pada petugas kepolisian sampai muncul ungkapan:
“Kami (polisi) hanya memberikan surat keterangan. Tapi kalau Anda minta uang saku jangan ke kami. Tapi silakan datang ke Masjid Jogokariyan. Di sana ada uang saku,” ujar Pak Galih, tertawa.
Untuk mengukur kadar kejujuran para ibnu sabil atau musafir itu, pengelola Masjid Jogokariyan punya standar penilaian. Karena sesuai ketentuan para musafir hanya diberikan kompensasi tiga hari saja untuk menginap di tempat yang telah disediakan.
Biasanya pihak masjid selalu menguji pada hari pertama saja. Apakah mereka benar-benar bagian dari musafir atau ibnu sabil yang kehabisan uang dan bekal. Ataukah mereka hanya memanfaatkan kesempatan saja mendapatkan uang saku.
Kalau mereka datang dan melaporkan kesulitan dalam perjalanan, besoknya pihaknya langsung membawa mereka ke terminal.
“Tiket dan biaya makannya langsung kami belikan dari dana zakat dan infak. Semua biaya yang timbul kami anggarkan hingga mereka tiba di kampungnya menggunakan bus dengan selamat,” ujarnya.
Karena terkait dengan dana umat maka pengelolaan pun harus dilakukan dengan kehati-hatian. Sebaliknya, terhadap mereka para musafir dan ibnu sabil yang benar-benar kesulitan keuangan dan biaya tiket untuk kembali ke kampung halaman juga harus berlaku jujur.
“Jadi, kami harus hati-hati. Karena ini menyangkut pengelolaan dana umat maka semua harus transparan. Kita harus sama-sama menjaga amanah ini,” ujarnya.
Masjid Jogokariyan tidak saja melahirkan role mode bagaimana pengelolaan manajemen masjid yang baik.
Dalam buku berjudul: Abah Fanni Rahman, Dari Masjid Jogokariyan ke Masjidil Aqsa, 2021, di halaman 38-39 terungkap bahwa di Kampung Jogokariyan jauh sebelumnya telah melahirkan para aktivis dan tokoh pergerakan yang diawali oleh sekelompok Pengajian Anak-anak Jogokariyan (PAJ) yang didirikan jauh sebelum masjid ini ada tahun 1964.
Dalam perkembangannya atas izin Kiyai Jazir nama PAJ kemudian diubah menjadi HAMAS atau Himpunan Anak-Anak Masjid.
Dari nama HAMAS ini, ujar Kiyai Jazir, dalam testimoni pada buku ini untuk mengenang wafatnya salah satu tokoh aktivis dan pendakwah yang juga Ketua HAMAS Masjid Jogokariyan Ustad Abah Fanni Rahman (2/8/21), menggambarkan semangat dan orientasi jihad dari seorang tokoh aktivis yang telah dilahirkan dari Masjid Jogokariyan.
Dari tangan Kiyai Jazir ia menantang mereka yang menjadi pengurus HAMAS harus berprestasi tidak saja di sekolah tapi juga di bangku perguruan tinggi.
Dan, terbukti mereka ini tidak saja menjadi mahasiswa yang sukses tapi juga aktivis kampus dan tokoh penggerak di perguruan-perguruan tinggi favorit di Jogya.
Mereka telah membuktikan menjadi pejuang dalam berbagai pergerakan sejak era reformasi. Juga menjadi relawan penanganan konflik sosial, aktif dalam pembangunan masjid dan pondok pesantren, hingga menjadi tokoh aktivis untuk Palestina, Rohingya, Uyghur, Yaman, dan Suriah.
Semua kemampuan itu diasa di Masjid Jogokariyan. “Mereka ini telah mengubah image bahwa masjid tidak berisi remaja kaleng-kaleng, tetapi justeru memiliki kualitas. Bahkan banyak yang menjadi doktor yang berhasil di dunia akademik,” ujar Kiyai Jazir.
Dari Masjid Jogokariyan kita bisa menangkap bahwa masjid tidak sekadar sebagai wahana ibadah, tapi juga menjadi wadah untuk pemberdayaan. Baik dalam konteks sosial kemanusiaan seperti penanganan uang saku untuk musafir atau ibnu sabil, tapi juga dalam artian kemampuan membangun sumberdaya manusia dan menjadi aktivis yang tangguh baik individu maupun kelompok.(*)