RAKYATMALUKU.FAJAR.CP.ID — MAKASSAR, — Pj Gubernur Sulsel Bahtiar pada tanggal 9 Oktober 2023 mengeluarkan surat edaran kepada para bupati se-Sulsel terkait prioritas penggunaan dana desa tahun 2024.
Dalam surat edaran bernomor 412.2/11938/DPMP tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2024 di Sulawesi Selatan tersebut disebutkan bahwa untuk mengakselerasi penajaman program prioritas Pemprov Sulsel untuk penggentaran kemiskinan, penanganan stunting (gizi buruk) serta ketahanan dan kedaulatan pangan serta pengendalian inflasi, maka Pemprov Sulsel memprogramkan pemanfaatan lahan tidur sekitar 2 juta hektar dengan target 500.000 hektar untuk mengembangkan Budi daya pisang.
Uniknya, anggaran yang dialokasikan untuk program ini diambil dari anggaran desa. Nilainya pun tidak tanggung-tanggung yakni sebesar 40 persen dari pagu anggaran dana desa.
Kebijakan ini sontak menimbulkan berbagai sorotan bahkan kritikan baik dari publik maupun para kepala desa. Pasalnya, anggaran desa yang besarannya sudah diturunkan itu malah dipakai untuk sesuatu yang belum jelas mekanisme pelaksanaannya serta hasilnya yang masih sangat diragukan.
Seorang kepala desa yang tak ingin disebut namanya menilai kebijakan ini seperti dirancang dengan sangat terburu-buru serta tidak melalui kajian komprehensif.
“Bayangkan, ada 2 juta hektar lahan tidur dengan 500.000 hektar tanaman pisang bakal dibudidayakan. Ini tidak main main-main”, ujarnya.
“Lalu kemana hasil panen pisang itu bakal dipasarkan? Apakah Pemrov sudah memikirkan itu? Apalagi buah pisang ini tidak seperti beras yang bisa tahan lama. Ini hanya beberapa hari buah pisang itu pasti busuk dan terbuang percuma”, tambahnya.
Di samping itu, yang lebih ironis lagi, alokasi anggaran yang diambil melalui anggaran desa.
“Padahal dana desa saat ini besarannya semakin menurun dan selama ini kami bersama Pemkab telah membuat rencana peruntukan yang telah matang dan melalui jenjang musyawarah warga mulai dari tingkat dusun hingga kabupaten. Kebijakan ini membuat semua rencana itu berantakan”, tandasnya.
“Jadi saya minta Pak Gub untuk memikirkan kembali model kebijakan ini karena dari pengalaman kami di lapangan program seperti ini bukan hanya macet dan mubazir, tapi juga cenderung diselewengkan”, katanya.
Apalagi, dalam proyek ini, kita petani lah yang harus menanggung biaya bibit, perawatannya, membeli pupuk serta mengubah pola kerja kami selama ini”, ujarnya. *