RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Bila mengikuti penjelasan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto bahwa salah satu risiko tertinggi menghadapi Pemilu 2024 dalam kontestasi politik yakni munculnya friksi politik koalisi pemerintah. Ancaman itu tentu mengharuskan kita punya kepekaan yang tinggi membaca semua potensi konflik.
Dari pengetahuan tim Lemhannas itu diketahui terjadinya friksi politik antarkoalisi pemerintah jauh lebih besar bila dibandingkan dengan faktor keamanan. Hal itu diakui setelah lembaga yang dipimpinnya itu mengkaji resiko-resiko yang kemungkinan akan terjadi menyambut pesta politik lima tahunan mendatang.
Mengutip Kamus Bahasa Indonesia yang banyak digunakan dalam karya sastra menyebutkan, kata lain dari friksi sendiri adalah pertentangan, antagonisme, bentrokan, konflik atau perselisihan.
Seperti dikutip Rakyat Maluku, (4/9/23), Andi Widjajanto tidak menjelaskan kemungkinan resiko apa saja yang terjadi akibat friksi di tubuh koalisi pemerintah itu.
Karena sifatnya tertutup Andi Widjajanto tentu tidak bisa menjelaskan secara detail konsekuensi tersebut. Ia hanya mengatakan ada risiko friksi politik koalisi pemerintah terkait dengan penyelenggaraan pemilu, digital demokrasi terkait media sosial, dan risiko pelibatan asing.
Dari banyak fenomena yang terjadi selama ini kemungkinan yang bisa melatarbelakangi terjadinya potensi konflik itu menurut Andi Widjajanto mencakup risiko global dan nasional baik dari sisi politik dan ekonomi, risiko Papua, hingga risiko di bidang demokrasi.
Kemungkinan resistensi akan semakin tinggi saat kita memasuki tahap pencalonan menjelang pertengahan Oktober dan tahap kampanye di akhir Oktober awal November. Diperkirakan risikonya di akhir Desember-Januari itu akan berada di skor 4-5.
Karena sifatnya mitigasi atau pencegahan kita tentu berharap memasuki ajang politik 2024 nanti konsolidasi demokrasi antarkoalisi pemerintahan harus berjalan matang tanpa diikuti oleh kekerasan politik hingga harus menimbulkan resistensi di masyarakat segala.
Mengutip Andi Widjajanto di atas salah satu resiko terkait Papua tentu harus digarisbawahi. Sampai sejauh ini isu-isu kekerasan terutama di Indonesia Timur soal separatisme bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM) memang belum tampak.
Yang terjadi saat ini justeru sentimen antarsuku yang telah menghadap-hadapkan antara suku Melayu di Barat Indonesia melalui kasus Pulau Rempang di Batam dengan pihak istana yang sampai sekarang masih kencang disuarakan.
Langkah pemerintah di bawah rezim Jokowi untuk merelokasi penduduk setempat atas nama investasi terkait akan dibangunnya pabrik kaca terbesar di dunia oleh investor Cina itu telah melahirkan perlawanan kencang oleh masyarakat di mana-mana atas nama suku dan kesultanan Melayu.
Kasus Rempang dan Papua setidaknya telah memberi peringatan pada kita untuk selalu mewaspadai resiko konflik yang akan timbul menyusul semakin dekatnya Pemilu 2024, itu. Kita tentu tidak menginginkan situasi keamanan bangsa kita terganggu untuk menjadikan sentimen antarsuku Melayu dan isu soal separatisme seperti OPM di Papua sebagai alat agitasi untuk mempetakonflikkan sentimen antara masyarakat dengan pemerintah.
Terkait isu resiko soal Papua ataupun resiko lain seperti sentimen perkelahian antarpemuda kemudian diikuti dengan membawa-bawa nama suku yang kerab kita jumpai di beberapa tempat terutama di daerah pertambangan yang kini dikuasai investor asing hingga menimbulkan gesekan di masyarakat sejak dini harus kita antisipasi.
Aparat keamanan tentu harus lebih sensitif menghadapi kemungkinan tersebut. Kita berharap aparat keamanan mesti lebih siap bertindak bukan seperti —meminjam istilah Pakar Hukum Unpatti Prof DR John Lokollo (Alm) mobil pemadam kebakaran— baru bergerak setelah terjadi peristiwa.
Kita di Maluku juga harus lebih sensitif sebab banyak potensi konflik kadang bisa memicu sentimen antarkampung baik terkait soal batas tanah, miras, atau perkelahian antarpemuda.
Tidak sedikit di antara saudara kita banyak yang menjadi korban baik harta benda maupun jiwa hanya gara-gara minuman keras. Konflik yang tadinya antarpribadi kemudian dibawa-bawa menjadi konflik antarsuku yang juga bisa berpotensi menjadi SARA.
Pun konflik yang tadinya menjadi persoalan pribadi di kampung tapi oleh kelompok-kelompok kepentingan boleh jadi melalui tangan-tangan tersembunyi dibawa ke kota hingga kemudian merembes menjadi konflik antarsuku dan kelompok.
Menghadapi Pemilu 2024 kita tentu harus sensitif konflik. Terkait isu-isu baik berupa resiko Papua menyangkut separatisme sebagaimana yang menjadi catatan tim Lemhannas harus menjadi catatan untuk kita semua, tanpa kecuali di Maluku yang menjadi momok yakni isu separatisme Republik Maluku Selatan (RMS).
Jika di Pulau Rempang konflik soal sentimen suku Melayu telah merembes ke mana-mana dan telah menguras begitu bayak energi, bisa jadi sebentar nanti menjelang Pilpres 2024 di tempat lain akan ada isu serupa dengan bentuk dan pola berbeda. Pemicunya bisa soal batas tanah, separatisme OPM, RMS, miras, juga sentimen karena berbeda pilihan politik.
Terkait resiko Papua sebagaimana yang disinyalir Lemhannas itu alangkah baiknya kita kutipkan surat yang bersifat ajakan damai dari salah seorang tokoh kesultanan dari Provinsi Maluku Utara yakni Sultan Tidore H.Husain Sjah untuk saudara-saudaranya di Tanah Papua dan Papua Barat, itu.
Surat Sultan Tidore ini pernah beredar pertengahan Agustus 2019 saat terjadi konflik akibat penyerangan kelompok separatisme OPM hingga menimbulkan korban jiwa dan harta benda.
Kita tahu dalam sejarah, sebelum Indonesia merdeka Papua adalah merupakan daerah di bawah Kesultanan Tidore.
Meskipun surat Sultan Tidore ini ditujukan untuk sudaranya di tanah Papua namun di tengah kita menghadapi ancaman yang kerab menghadap-hadapkan konflik antarmasyarakat dengan pemerintah melalui tangan-tangan tersembunyi yang boleh jadi mereka adalah para komprador asing yang sengaja memecah-belah solidaritas dan toleransi bisa menjadi catatan penting untuk kita semua. Berikut kutipannya:
Kepada Yth:
Saudara Saudara Saya di Tanah Papua dan Papua Barat.
Bersama ini dari Tanah Kesultanan Tidore, saya menyampaikan salam persaudaraan yang tulus dari lubuk hati yang terdalam, dengan harapan basudara semua selalu dalam Lindungan Kasih Sayang Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Melalui surat singkat ini saya hendak menyampaikan bahwa ikatan persaudaraan antara Papua dengan Kami, Tidore, Ternate Bacan dan Jailolo serta Maluku Kie Raha dan Maluku adalah Persaudaraan SEJATI yang terbangun berabad-abad lamanya tanpa memandang perbedaan ras dan agama.
Dalam perkataan lain, solidaritas dan toleransi begitu sangat terjaga dengan indah dan tertata baik. Dan oleh karena itu saya menaruh harapan yg sangat besar agar jalinan persaudaraan ini jangan sampai terkoyak.
Atas nama kemanusiaan berikanlah jaminan rasa aman dan tepiskanlah semua rasa takut yang ada di hati saudara- saudaramu dari manapun mereka berasal yang saat ini yang tidak menentu nasibnya di tempat mereka berlindung di tanah kalian.
Jagalah saudara-saudaramu dari segala marah bahaya sebagaimana kami menjaga harkat dan martabat saudaramu di tanah kami Maluku dan Maluku Utara.
Kami tak ingin ada yang patah dan terluka dalam bingkai persaudaraan ini.
Kami ingin mata kami dan mata kalian serta mata siapapun untuk menjadikan DAMAI ITU INDAH.
Dari Saudaramu,
HUSAIN SJAH
SULTAN TIDORE
Menghadapi iklim politik kekuasaan dengan aneka kepentingan itu kita tetap menjaga kekompakan, solidaritas, dan semangat toleransi. Siapapun kelak menjadi pemimpin kita berharap mereka harus menjadi panutan atau tokoh yang tampil sebagai pemersatu bangsa. Pemimpin yang bisa menjadi pengayom bukan menjadi bagian dari kepentingan oligarki untuk mempertahankan status quo dan mengabaikan kedaulatan rakyat dan Tanah Air.
Kasus Pulau Rempang telah memberi pelajaran kepada kita memasuki tahun politik 2024 isu-isu soal keadilan terutama wilayah-wilayah yang kini tanah mereka sedang dikuasai kepentingan para oligarki atas nama investasi termasuk di Tanah Papua harus terus diperjuangkan baik saat ini dan akan datang.
Dan, guna menghindari gesekan kita tentu harus sensitif konflik, membaca setiap realitas politik jangan sampai atas nama investasi kita menjadi bagian dari korban akibat permainan oleh segelintir elite-elite kekuasaan melalui tangan-tangan tersembunyi.(*)