RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Sebanyak enam terdakwa dugaan korupsi penggunaan anggaran perjalanan dinas pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) tahun anggaran 2020, siap untuk diadili.
Sebab, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) KKT telah melimpahkan berkas perkaranya ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Ambon untuk disidangkan, Senin, 2 Oktober 2023.
Enam terdakwa itu, Kepala BPKAD tahun 2020 Jonas Batlayeri, Sekretaris BPKAD tahun 2020 Maria Goreti Batlayeri, Bendahara Pengeluaran BPKAD tahun 2020 Kristina Sermatang, Kabid Perbendaharaan BPKAD tahun 2020 Yoan Oratmangun, Kabid Akuntansi dan Pelaporan BPKAD tahun 2020 Liberata Malirmasele, dan Kabid Aset BPKAD tahun 2020 Erwin Laiyan.
“Dan Selanjutnya tim JPU menunggu penetapan hari sidang dari Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Ambon,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) dan Humas Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku, Wahyudi Kareba, kepada media ini di kantornya.
Dikatakan Wahyudi, keenam orang tersebut ditetapkan tersangka karena diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 6.682.072.402 dari total nilai anggaran SPPD yang dicairkan sebesar Rp 9 miliar, sebagaimana laporan hasil audit Inspektorat Daerah Kepulauan Tanimbar.
“Jadi, enam orang terdakwa ini merupakan para pejabat yang paling berperan menggunakan uang negara tersebut,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, anggaran SPPD dalam daerah dan luar daerah pada BPKAD KKT senilai Rp 9 miliar itu, terserap habis 100 persen. Padahal, saat itu dunia dan Indonesia khususnya sementara dilanda pandemi Covid-19 yang menyebabkan semua jalur transportasi ditutup dan dibatasi, serta pemberlakukan Work From Home (WFH).
Dari hasil penyidikan, lanjut Wahyudi, terdapat tiga modus yang dijalankan para tersangka dengan satu komando.
Pertama, SPPD diterbitkan tetapi orangnya tidak melaksanakan perjalanan dinas. Bahkan, ada yang tidak menerima SPPD namun namanya tercatat. Sementara anggaran SPPD tetap dicairkan.
Kedua, menerima anggaran SPPD namun hanya sebagian yang melaksanakan perjalanan dinas, dimana sisa anggaran SPPD tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dan ketiga, menaikkan atau mark up harga tiket pesawat dari Saumlaki – Ambon.
“Jadi, mereka menerima SPPD tetapi SPPD yang dibayarkan melebihi dari standarnya. Misalkan tiket pesawat dari Saumlaki – Ambon Rp 1.600.000, tetapi harga tiketnya diganti dengan nominal lebih, jadi ada mark up atau angkanya dipalsukan dan dibuat lebih tinggi,” beber Wahyudi. (RIO)