Menghadapi situasi politik 2024 mengharuskan kita untuk selalu happy tidak perlu merasa cemas. Sebab tidak menutup kemungkinan ada upaya untuk mempolitisir kecemasan masyarakat pada ruang-ruang publik dan seolah-olah ada sesuatu yang harus dikhawatirkan.
Padahal dinamika politik kita hari ini telah memberikan harapan positif di tengah isu-isu berbau sektarian yang sengaja diciptakan melalui apa yang disebut politik identitas dll.
Itu salah satu kesimpulan percakapan saya bersama salah seorang akademisi IAIN Ambon DR.Saidin Ernaz, Sabtu malam, (30/9/23).
DR.Saidin Ernaz adalah dosen yang mengkhususkan studi S3 untuk Kajian Agama, Lintas Budaya, Sosial dan Politik pada UGM Jogya.
Untuk melengkapi studinya itu DR.Saidin Ernaz mengambil program Post Doktoral di Universitas Leiden Belanda. Adapun S1 di IAIN Bandung dan S2 untuk Ilmu Politik diraih di UI Jakarta.
Di IAIN Ambon ia adalah dosen untuk mata kuliah Sosiologi dan Politik Islam, juga Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LP2M).
Sebagai ilmuwan, DR.Saidin Ernaz tidak ketinggalan mengikuti perkembangan dinamika politik nasional dan daerah.
Dari pengamatannya ia melihat perkembangan politik kontempoter Tanah Air saat ini harus disikapi dengan pikiran dan hati terbuka. Tidak boleh terkooptasi pada satu pandangan, tapi harus dilihat dari spektrum yang luas.
Politik kita saat ini tidak lagi terpola berdasarkan nasionalisme, agama, dan suku tapi sudah menyatu pada satu tatanan demokrasi yang terbuka. Yakni sebuah koalisi politik yang tidak lagi dibangun atas dasar ideologi, tapi lebih pada kepentingan pragmatis berdasarkan kalkulasi idealnya: menang-kalah.
Itulah mengapa dalam politik ada dua “cacat-bawaan” demokrasi yang sering kita jumpai. Yakni pertama adanya kepentingan kontestasi berbeda. Bila ini tidak dikelola dengan baik bisa menimbulkan kontraproduktif.
Karena adanya kepentingan politik yang tidak sama itu menimbulkan konflik diikuti oleh kepentingan pihak ketiga karena mereka ingin mempertahankan status quo. Bagi mereka ini selalu saja ada cara untuk mereproduksi konflik seperti menciptakan kecemasan di masyarakat.
Kedua, karena proses demokratisasi elektoral itu berbiaya tinggi (hight cost) maka semua potensi baik legal maupun ilegal kerab dihalalkan. Misalnya adanya potensi money politic yang menuntut kita harus lawan.
Untuk mobilisasi Pemilu 2019 lalu, misalnya, uang yang digelontorkan negara saat itu mencapai Rp 20 Triliun. Bayangkan kalau terjadi dua putaran. Entah Pilpres 2024 berapa biaya yang harus dihabiskan.
Karena berbiaya tinggi (hight cost) maka kewajiban kita memilih pemimpin haruslah benar-benar mereka yang punya ekspektasinya diandalkan.
“Karena itu menjadi kewajiban kita untuk mengkritisi setiap visi-misi mereka karena demokrasi menjamin hal itu,” ujarnya.
Supaya demokrasi kita bernilai produktif dan substantif, kita harus membangun diskursus-diskursus politik yang produktif agar kelak lahir pemimpin-pemimpin berkualitas.
Hari ini kita telah saksikan tidak ada lagi partai yang mengandalkan ideologi politik sebagai tujuan utama. Kita lihat partai nasionalis bernama PDIP, misalnya. Partai yang mengusung Capres Gandjar Pranowo itu melalui Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) telah membuat salah satu partai berbasis Islam yakni PPP ikut menjadi bagian dari koalisi.
Juga ada Partai Gerindra yang mengusung Capres Prabowo Subianto telah membentuk Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan menjalin koalisi partai berbasis Islam seperti PBB, dan PAN.
Atau Partai Nasdem yang menjagokan Anies Rasyid Baswedan – Muhaimin Iskandar sebagai Capres-Cawapres dengan membangun aliansi baru bersama partai berbasis Islam PKB, PKS, dan Partai Ummat yang menyatu pada Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
Dari tiga partai utama membentuk koalisi kandidat Capres ini menandakan telah terjadi pergeseran dalam dinamika politik kontemporer kita saat ini.
Menyangkut politik yang dibangun berdasarkan sentimen kelompok atau agama memang tidak bisa dihindari. Secara politik yang menggunakan sentimen agama (baca: Islam) diakui sangat diperhitungkan, meski kini tidak lagi dipertentangkan menggunakan pendekatan lama berdasarkan kategorisasi Islam, nasionalis, militer, Jawa dan luar Jawa.
Melihat kenyataan sistem demokrasi politik kita hari ini intensitas politik menggunakan isu-isu identitas dan agama sudah jauh lebih berkurang. Dulu, tahun 1955 sistem politik kita yang multipartai sangatlah menonjolkan identitas menggunakan Islam sebagai ideologi politik, tapi dalam perkembangan kemudian situasi itu semakin mencair.
Maklum kondisi sistem perpolitikan dan demokrasi saat itu baru mengalami proses transformasi dari sebuah demokrasi terpimpin ke sistem politik demokrasi terbuka. Saat ini kategorisasi politik yang kerab menghadap-hadapkan politik berdasarkan ideologi Islam, nasionalis, militer, Jawa dan luar Jawa semakin menemukan equilibrium.
Deideologisasi saat ini tidak lepas seiring membaiknya iklim politik Tanah Air yang semakin fungsional. Itu berbeda ketika era Orde Lama dan Orde Baru. Jadi kalau saat ini ada isu yang dihembuskan membawa-bawa politik identitas tidak perlu dikhawatirkan sebab berdasarkan fakta sosial tidak sedramatik sebagaimana yang sengaja dicemaskan.
Seiring berkembangnya intelektualitas pemikiran di kalangan civil society –maka makin ke sini identitas politik kita berdasarkan ideologi politik itu– justeru terus mengalami penyatuan antara kekuatan-kekuatan partai dalam suatu equilibrium politik yang tadinya kerab berhadap-hadapan justeru kini berada pada suatu kondisi yang seimbang di antara partai politik yang berbeda itu.
Untuk melawan upaya-upaya yang sengaja menciptakan kecemasan terkait sentimen politik identitas, tidak ada cara lain kecuali kita harus menciptakan chalengger (penantang) dengan membuat kontra isu yang lebih substantif ketimbang yang bersifat retorika dengan mengetengahkan isu-isu bersifat sentimen itu.
Untuk menciptakan equilibrium politik yang seimbang dan terhindar dari kecemasan menciptakan sentimen kelompok, agama, atau suku para aktor politik dan publik harus terus diberi edukasi agar demokrasi kita tidak dirusak oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat yang tidak produktif.
Dalam suatu kajian tentang perkembangan politik di Kawasan Tanah Melayu di Jogyakarta baru-baru ini ada pengakuan menarik dari salah seorang guru besar politik dan Dekan Pengkajian Islam dari Universitas Kebangsaan Nasional Malaysia Prof. DR. Sumavaria Long terkait perkembangan terkini politik Tanah Air.
Bila kita bandingkan dengan Malaysia isu-isu demokrasi politik di Indonesia jauh lebih maju dan mapan. Malaysia sendiri sudah memasuki setengah abad namun persoalan politik dan demokrasi kontemporer mereka masih berkutat pada hal-hal yang bersifat retorika seperti sentimen kultural antara pribumi, Melayu, dan Cina.
Mahaguru ini mengaku bangga pada perkembangan politik di Indonesia karena sistem demokrasi kita lebih unggul dan telah melampaui sekat-sekat kelompok. Di Indonesia tidak ada lagi gesekan yang bersentuhan dengan sentimen kultural tapi lebih pada menyoal hal-hal substantif mencakup pembangunan bangsa untuk perubahan.
“Dibanding Indonesia, di Malaysia isu-isu politik mereka masih berkutat atau bergelut pada konflik kultural antara pribumi, Melayu, dan Cina,” ujarnya.
Menghadapi situasi politik 2024 yang semakin dekat ini ajakan DR.Saidin Ernaz ini patut kita sikapi dengan penuh kearifan agar demokrasi kita bernilai produktif dan substantif, bukan sekadar demokrasi yang hanya dilihat secara prosedural sebagai ajang pesta lima tahunan saja.
Salah satu kearifan itu yakni perlu kita menjaga kondisi sosial dan ruang-ruang publik kita dari upaya untuk membenturkan antarsesama dengan cara-cara menciptakan kecemasan.
Karena ongkos politik untuk pesta Pemilu lima tahunan itu terlalu mahal maka kita tidak boleh salah dalam memilih pemimpin. Dan, sosok pemimpin yang kelak kita lahirkan haruslah figur yang benar-benar membawa kemaslahatan untuk bangsa dan Tanah Air.(*)