RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Penetapan peraturan daerah (Perda) adat di sejumlah kabupaten/ kota di Provinsi Maluku, belum juga menemui titik terangan. Padahal, masyarakat telah mempersiapkan diri untuk merayakan pesta demokrasi yang akan digelar pada Februari dan November 2024 mendatang.
Menanggapi hal itu, Dosen Fakuktas Hukum Unpatti, Jemmy J. Pietersz, kepada media ini, Kamis, 28 September 2023, mengatakan, setiap daerah harus memiliki produk hukum milik daerah dan produk hukum lokal baik di tingkat desa atau negeri.
“Hal itu harus menuansakan sesuai dengan kepentingan kita, karena tentu itu menjadi arah pembangunan yang feedback-nya kepada kita, yaitu kita harus menyusun produk hukum yang sesuai dengan kepentingan kita. Karena kita ada dalam responsif kepentingan progresif masyarakat, maka kita ada dalam kepentingan,” ungkapnya.
Menurutnya, bicara soal Indonesia maju, maka Indonesia maju itu klaim negara sebagai negara nusantara. Kalau negara nusantara maka dominannya adalah aspek kepulauan.
“Maka tentu ruang lingkup produk hukum yang akan dihasilkan akan mengarah kepada ruang lingkup kepulauan,” terangnya.
Sementara itu, Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) asal Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Wahid Laitupa, mengatakan, soal penataan masyarakat hukum adat menjadi satu prihatin bersama.
“Lantaran dari masa bupati hingga pergantian Pj Bupati yang kesekian kalinya, Ranperda penataan desa adat sampai saat ini belum dilakukan. Padahal sesungguhnya itu amanat UUD 1945 hasil amandemen Pasal 18 a dan b. Isi dari Pasal 18 b belum direalisasi maksimal,” ujar Anggota Komisi II DPRD Maluku itu.
Dijelaskan, DPRD Maluku mempunyai Perda No. 14 tahun 2005 yang sudah diganti dengan Perda No. 16 tahun 2019 tentang Penataan Desa Adat. Dimana, sampai saat ini Perda provinsi sebagai perda payung sudah ada, namun untuk kabupaten lain belum ada.
“Hanya Kota Tual dan Kota Ambon yang sudah ada, yang lain belum. Permasalahan yang mendasar ialah ketika proses perda adat tidak ditata dengan baik maka masyarakat adat yang di wilayah-wilayah itu mempengaruhi hak-hak adat yang ada pada wilayah tertentu,” jelasnya.
“Misalnya, hutan lindung dan tapal batas. Tentu program nasional pemerintah yang berkaitan dengan persoalan hutan lindung dan lain-lain akan terjadi,” tambah wakil rakyat itu.
Ketua Wilayah PAN Maluku itu juga mempertanyakan perencanaan hutan lindung oleh balai kehutanan sampai di bibir pantai dekat wilayah pemukiman, penetapan wilayah itu dasarnya apa? Apakah ada rekomendasi dari pemerintah negeri?. Menurutnya, bukan berarti masyarakat adat tidak mendukung program nasional tapi harus ada batas-batas.
“Mestinya harus ada kolaborasi bersama minimal ada rekomendasi dari pemerintah negeri untuk bagaimana wilayah mana yang menjadi hutan lindung dan wilayah mana yang menjadi sentra produksi untuk masyarakat. Saatnya pemerintah harus mempercepat penetapan Perda Adat agar kebijakan nasional dan lokal tidak bersinggungan,” pungkas legislator itu. (SSL/ RIO)