Kontribusi ekonomi maritim terhadap PDB diproyeksikan naik dari 6,4 persen pada tahun 2015 menjadi 12,5 persen pada tahun 2045 (BAPPENAS, 2019). Untuk menjawab ambisi ini pihak yang berkepentingan seringkali mengangkat isu tentang Ekonomi Biru atau sering disebut dengan Ekonomi Kelautan.
Ide dari Ekonomi Biru pertama kali muncul pada Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan yang diadakan di Rio de Janeiro pada tahun 2012 (UNCTAD, 2014). World Bank (2017) menjelaskan Ekonomi Biru sebagai cara memanfaatkan sumber daya kelautan untuk meningkatkan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan, tanpa merusak lingkungan. Serupa, menurut BAPPENAS (2023) Ekonomi Biru adalah konsep yang menekankan pentingnya pemanfaatan kekayaan laut dengan cara yang bertanggung jawab. Memanfaatkan sumber daya laut untuk meningkatkan ekonomi dan menciptakan pekerjaan, namun tetap memastikan bahwa lingkungan laut tetap baik.
Pendekatan ekonomi biru mendorong untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi, ekologi, dan sosial. Dengan cara ini, dapat memastikan bahwa pembangunan di sektor kelautan dilakukan dengan pertimbangan berbagai aspek, tanpa mengorbankan aspek lainnya.
World Bank (2019) menyebutkan Indonesia memiliki potensi Ekonomi Biru yang sangat besar dengan estimasi nilai tahunan mencapai lebih dari USD 280 miliar. Dua sektor yang dominan dalam perekonomian yang terkait dengan kelautan adalah pembangunan infrstruktur laut dan industri manufaktur. Salah satu aset berharga Indonesia di sektor kelautan adalah terumbu karang. Banyak wisatawan tertarik dengan sektor pariwisata ini dan memberikan kontribusi sekitar USD 3 miliar setiap tahunnya. Hal ini menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dengan kekayaan terumbu karang yang luar biasa. Selain itu, industri perikanan tangkap Indonesia juga menunjukkan performa yang mengesankan. Pada tahun 2018, sektor ini mencatat surplus perdagangan sebesar USD 4,12 miliar, menandakan bahwa produk perikanan Indonesia sangat diminati di pasar global.
Sebagai contoh pengembangan Ekonomi Biru oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan (2022) sedang mengembangkan program penangkapan ikan yang terkontrol di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Selain itu, akan ada upaya khusus untuk mengembangkan budidaya perikanan dengan fokus pada komoditas yang ditujukan untuk ekspor, seperti udang, lobster, kepiting, dan rumput laut.
Namun, pengembangan Ekonomi Biru lebih dari budidaya perikanan. Sektor Ekonomi Biru Indonesia meliputi penangkapan ikan, pengolahan hasil laut, kegiatan pelabuhan dan pengiriman, pembuatan dan perbaikan kapal, pengeboran minyak dan gas di perairan dangkal, industri kelautan, pariwisata di pantai, layanan bisnis terkait laut, penelitian dan pendidikan tentang laut, serta kegiatan pengerukan (BAPPENAS, 2021). Luasnya jangkauan sektor Ekonomi Biru perlu menjadi perhatian, karena rancangan peta jalan dan implementasi berdampak bagi banyak orang.
Voyer et al. (2018) menyebutkan bahwa Ekonomi Biru menghadapi dua hal. Di satu sisi, ada peluang besar untuk pertumbuhan dan pembangunan di sektor kelautan. Namun, di sisi lain, ada area-area laut yang sangat rentan dan membutuhkan perlindungan khusus. Dengan kata lain, sambil mengeksplorasi potensi ekonomi dari laut, tetap perlu adanya kesadaran akan risikonya. Ini menciptakan konflik antara keinginan untuk memanfaatkan sumber daya laut dan kebutuhan untuk melindunginya.
Konsep ekonomi biru memang bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dengan cara yang berkelanjutan. Namun, jangan sampai alih-alih meningkatkan pertumbuhan ekonomi malah berdampak negatif bagi linkungan dan komunitas. Oleh karena itu, sedari awal perlu untuk mengidentifikasi beberapa tantangan yang patut diperhatikan.
Pertama, mendorong pemanfaatan sumber daya laut secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem dan berdampak negatif pada keberlanjutan sumber daya kelautan di masa depan.
Kedua, berpotensi mengabaikan hak dan kepentingan masyarakat lokal yang tinggal di daerah pesisir. Banyak dari komunitas ini memiliki hak tradisional atas tanah dan sumber daya kelautan, serta memiliki pengetahuan mendalam tentang lingkungan dan cara-cara tradisional dalam mengelolanya. Namun, dalam upaya memajukan proyek-proyek besar, hak dan pengetahuan ini seringkali tidak diberikan perhatian yang cukup. Hal ini tidak hanya dapat menyebabkan konflik, tetapi juga kehilangan peluang untuk memanfaatkan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumber daya kelautan yang lebih berkelanjutan dan efektif.
Ketiga, menjadikan sumber daya kelautan sebagai barang komersial. Ini bisa berarti menjual atau memonetisasi data tentang laut dan menjual akses ke daerah yang kaya akan keanekaragaman hayati. Sumber daya ini, seharusnya dihargai sebagai warisan bersama dan dinikmati oleh semua masyarakat Indonesia, bisa jadi hanya diakses oleh mereka yang mampu membayar. Hal ini dapat mengakibatkan ketidaksetaraan dalam pemanfaatan sumber daya dan berpotensi menghilangkan hak-hak tradisional masyarakat pesisir.
Keempat, adanya kecenderungan untuk menerapkan strategi atau solusi yang bersifat generik, yang sering disebut sebagai one fit for all. Pendekatan semacam ini mungkin tidak memperhitungkan variasi kebutuhan, tantangan, dan karakteristik unik dari setiap wilayah atau komunitas. Misalnya, apa yang efektif di daerah pesisir dengan ekosistem mangrove mungkin tidak efektif untuk daerah dengan terumbu karang.
Adanya berbagai tantangan bukan berarti menjadi penghalang potensi besar yang ada, namun dapat menjadi katalisator inovatif bagi kesejahteraan rakyat banyak, terutama masyarakat miskin pesisir yang seringkali terabaikan.(*)
Oleh : Bagas Kurniawan (Wasekjen PB HMI/Mahasiswa Doktoral SB IPB)