Dalam tradisi akademik panggilan untuk pendidik dengan sebutan guru merupakan sebuah bentuk penghormatan. Tapi, bagaimana bila yang dipanggil guru itu justeru mereka yang fakir ilmu atau ketiadaan ilmu tapi didaulat sebagai guru?
Itulah yang saya alami selama beberapa bulan terakhir sejak perkenalan pertama saya dengan seorang tokoh, ulama, dan Pimpinan Pondok Pesantren Alkhariaat Ambon KH.Ustad Ikram Ibrahim, Lc, jebolan Universitas Islam Madinah, Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, dan Universitas Bochum yang membidani studi orientalisme, Jerman, itu.
Panggilan sebagai guru tentu membuat saya nervous. Ada perasaan kaku.
Agar komunikasi tetap berjalan rileks saya terpaksa harus memanggil beliau dengan panggilan yang tepat sebagai Tuan Guru.
Kalau guru di sini dikonotasikan sebagai orang yang memberikan ajaran ilmu kepada orang lain atau orang yang ditiru dan digurui, maka dalam terminologi bahasa Indonesia Tuan Guru bisa dimaknai sebagai orang yang dimuliakan.
Sehari menjelang digelarnya Silaturahmi Keluarga dan Alumni Alkhairaat Ambon bertema: Merajut Hubungan Kekeluargaan, Menuai Barkah, saya memang diundang oleh Tuan Guru sebagai tamu, bertempat di Ruangan Outdoor Badan Pengembangan Sumber Daya Maluku, (BPSDM), Minggu kemarin, (27/8/23).
Ada tujuh pembicara yang diundang tampil memberikan testimoni tentang Pondok Pesantren Alkhairaat. Mereka adalah para alumni santri H. Sayid Muzakkir Assgaff, dan H.Fachry Alkatiri.
Juga ada akademisi Unpatti Said Lestaluhu, S.Sos., M.Si. (orang tua alumni), birokrat Lantara Habir, S.Pd., M.Pd. (orang tua alumni), akademisi Unpatti Dr. Maryam Sangadji, SE., ME (orang tua alumni), akademisi Unpatti Dr. Safrudin Bustam Layn, M.Si (orang tua alumni), dan akademisi Unpatti Dr. Adriani Bandjar.
Saya bukanlah orang tua alumni atau keluarga besar Alkhairaat. Juga secara keilmuwan dan akademik tidak pernah mondok di lembaga pendidikan Alkhairaat. Karena itu rasanya mati akal kalau beliau memanggil saya guru.
Nama Ustad Ikram Ibrahim memang sudah lama saya kenal. Sejak jauh hari. Kenalannya waktu itu hanya sepintas. Sekadar tahu saja kalau beliau adalah juru dakwah asal Kota Ternate yang telah menetap lama di Kota Ambon yang pada zamannya termasuk sedikit di antara dai jebolan Timur Tengah.
Meski di ujung nama kami memiliki kesamaan: Ibrahim, namun sesungguhnya kami berbeda. Baik dari sisi genetik maupun sosiologis kedaerahan.
Tuan Guru kita ini berasal dari Ternate. Saya sendiri berasal dari ujung utara di sebuah distrik di Pulau Halmahera bernama Galela.
Dari segi usia juga terlampau beda. Jarak dengan beliau cukup jauh. Kalau usia beliau kini 73 tahun berarti selisi dengan saya 17 tahun.
Itu dari segi umur. Dari segi ilmu, apalagi. Bedanya antara langit dan dasar sumur.
Ya, itulah salah satu kelebihan yang dimiliki seorang ustad bergelar Kiyai Haji Ikram Ibrahim, Lc.
Ia tidak lain Pimpinan Pondok Pesantren Alkhairaat yang berlokasi di Kawasan Kota Jawa, Ambon, itu.
Dari tangan beliau bersama istri tercinta Hj.Evi Thalib setelah memimpin Alkhairaat Ambon memasuki usia ke 35 tahun telah menorehkan siswa berprestasi di Maluku. Berbagai lomba nasional dan internasional termasuk kejuaran MIPA telah ditorehkan Pondok Pesantren Alkhairaat Ambon.
Hubungan antara guru dengan murid oleh Ustad Sayid Muzakir Assagaff yang tampil menjadi pembicara pada ajang silaturahmi sesama alumni dan keluarga alumni Alkhairaat Ambon kemarin itu disebutkan bahwa dalam konteks keilmuan ia melihat pola hubungan itu sebagai rahim keilmuan.
Sebagai contoh sosok Ustad Ikram Ibrahim yang menjadi gurunya itu merupakan figur yang memiliki ketersambungan ilmunya dengan Guru Tua Alkhairaat di Palu bernama Alhabib Idrus Bin Salim Aljufri karena pernah mengecap pendidikan di Pondok Pesantren Alkhairaat di sana.
Secara genetik Ustad Ikram Ibrahim tidak punya hubungan langsung dari garis keturunan tapi secara keilmuan ia punya rahim keilmuan dengan Guru Tua itu.
Kalau dilihat secara geografis mengapa Ustad Ikram Ibrahim yang tinggal jauh di Ternate mau datang ke Ambon mengajar. Itu karena ada keterpanggilan ilmu.
Dari segi usia mestinya ia sudah harus istrahat, tapi karena keterpanggilan ilmu ia seolah tak mau absen atau “pensiun” untuk terus berbagi ilmu dengan muridnya.
Ilmu itu harus dibagikan kepada siapapun. Sebab di sana ada kebaikan yang harus diajarkan dan disampaikan. Itulah disebut rahim keilmuan.
Ustad Ikram adalah seorang ulama yang lebih 25 tahun lalu menjadi mubaliq. Ia sering menjadi khatib mengisi khotbah Jumat dan kajian Keislaman setiap akhir pekan di Masjid Raya Al-Fatah, Ambon. Itu Dulu.
Walau sudah lama saya tahu, tapi secara fisik saya baru bersentuhan dengannya beberapa bulan lalu. Itu terjadi setelah ia diberikan nama dan nomor telepon saya oleh sahabat saya di seberang nun di Ternate bernama Habib Alwi Alhadar.
Dari situ kita pun saling kontak. Beberapa kali kami berjumpa. Banyak hal dibicarakan termasuk cerita sukses sejarah perjalanan Yayasan Alkhairaat Ambon yang kemarin menggelar haul ke-35 di Kota Ambon.
Sejak itu percakapan saya dan Tuan Guru berjalan intens. Saya yang fakir dari sisi keilmuan tentu merasa mindir dipanggil guru oleh Tuan Guru Ustad Ikram Ibrahim itu. Apalagi dari sisi nasab keilmuan, pola hubungan, dan adab keilmuan saya selama ini bukan dibentuk dari lembaga pendidikan Alkhairaat yang selama ini diketahui memiliki reputasi di bidang pendidikan Islam yang dibanggakan.
Tapi, ada salah satu kelebihan setelah sekian kali berinteraksi dengan Tuan Guru kita ini adalah sikap tawaduh (rendah hati) baik dari pola hubungan antara siswa maupun dengan orang tua.
Ia terlihat terbuka, familiar, dan tidak terkesan arogan. Itu pula yang diakui oleh dua bekas muridnya yang kini mereka telah berhasil menjadi orang penting sebagai politisi dan mantan birokrat di Maluku yang pernah menduduki posisi Wakil Ketua DPRD Provinsi Maluku yakni H. Sayid Muzakkir Assagaff dan mantan Wakil Bupati Kabupaten Seram Bagian Timur H.Fachry Alkatiri.
“Alhamdulillah berkat ilmu dari guru Ustad Ikram Ibrahim kami bisa seperti ini. Dari beliau karakter kami terbentuk. Dari beliau pula kami bangga bisa belajar bahasa Arab dan studi ke Madinah. Impian dan cita-cita kami menjadi ustad akhirnya terwujud setelah bertemu dan belajar dengan beliau,” ujar Ustad Fachry di hadapan ratusan undangan itu.
Pola adab hubungan keilmuan ini ternyata juga telah dibangun oleh guru-guru kita dulu. Dalam konteks ini sikap tawaduh juga sudah dicontohkan yang oleh Ustad Gaf –panggilan akrab Ustad Sayid Muzakkir Assagaff– disebut sebagai rahim keilmuan itu.
Sosok itu bisa kita lihat pada hubungan keilmuan yang telah diperlihatkan Guru Tua Alhabib Idrus Bin Salim Aljufri dengan Alhabib Hasyim Bin Muhammad Albaar yang diberi gelar Matuang Kota Malibuku di Ternate.
Dalam manaqib (riwayat) yang saya baca dan ditulis oleh seorang cicitnya bernama Habib Muhammad Syaikhan Bin Ahmad Albaar dalam rangka haul ke-49 Alhabib Hasyim Bin Muhammad Albaar 28 Juli 2023 lalu pernah dalam suatu kunjungannya ke Kota Ternate Guru Tua Salim Aljufri tahun 1968, diceritakan Habib Hasyim menerima empat kali kunjungan pendiri Alkhairat Guru Tua Salim Aljufri.
Ketika kabar kedatangan Alhabib Idrus Bin Salim Aljufri —sebelum beliau kembali ke Kota Palu— sampai kepada Al Habib Hasyim Bin Muhammad Albaar. Namun saat itu beliau dalam keadaan sakit sehingga dengan kerendahan hatinya beliau mengutus beberapa orang keluarganya yakni putri beliau Hubabah Syarifah Khodijah Binti Hasyim Albaar dan Hubabah Syarifah Nur Binti Hasyim Albaar serta cucu beliau yakni Syarifah Nony Binti Ali Syuaib untuk meminta maaf kepada Alhabib Salim Aljufri karena tidak bisa menemuinya.
Ketika mendengar pesan tersebut Guru Tua Salim Aljufri mengatakan, “Bukan Habib Hasyim yang harus mendatangi saya tetapi sayalah yang harus mendatangi Habib Hasyim,” kata Guru Tua itu.
Maka datanglah Guru Tua itu mengunjungi Alhabib Hasyim Bin Muhammad Albaar yang kerap disapa dengan Tuan Hasyim atau Matuang Kota Malibuku itu.
Setelah berbincang dengan Alhabib Hasyim Idrus mengatakan: “Sungguh Ternate tidak memerlukan ajaran dan ilmu Alkhairaat karena sudah cukup bagi masyarakat Ternate ajaran dan ilmu Alhabib Hasyim Albaar, saya hanya akan mendirikan madrasah atau sekolahnya saja di Kota Ternate,” ujarnya.
Dengan Alhabib Hasyim Albaar secara gentik saya tentu tidak punya pertalian nasab, tapi dari sisi sosiologis moyang kami punya pertalian sejarah dengan orang tua dan anak-anak para habaib mereka di kampung kami nun di Dagasuli, Kecamatan Kepulauan Loloda bernama Matuang Ololamoko Habib Muhammad Bin Abdurahman Bin Hasyim Albaar.
Dari catatan nasab moyang kami yang ditulis ulama besar mufti Kesultanan Ternate di Loloda Kepulauan bernama Matuang Ololamoko itu adalah tokoh yang meng-Islamkan moyang kami di sana baik di Kepulauan Loloda maupun di daratan Pulau Halmahera. Dagasuli adalah basis sang habib dan anak turunannya mengajarkan ilmu untuk moyang-moyang kami.
Ibarat nasab dalam keluarga, ilmu pun punya rahim keilmuan. Menurut Ustad Ikram Ibrahim ujung dari rahim keilmuan itu yakni silaturahmi. “Kalau anak dan orang tua silaturahmi itu biasa. Tapi kalau silaturahmi antara guru dengan orang tua itu yang luar biasa,” ujar Ustad Ikram.
Setelah 35 tahun bersama sang istri tercinta membina pondok pesantren dari tadinya dimulai di sebuah Posyandu di Air Salobar Ambon hingga punya madrasah di Kawasan Kota Jawa Ambon tentu bukan hal mudah.
“Kalau bukan karena rahim keilmuan saya sudah memilih menjadi PNS. Kok ada mahasiswa jebolan Madinah, Mesir, dan Jerman mau melamar bekerja di Posyandu. Tapi, itulah hidup. Harus punya pilihan,” ujarnya.
Setelah menjatuhkan pilihan kepada sang kekasih Ibu Evi Thalib ia pun harus tinggalkan Ternate dan memilih Ambon sebagai lahan pengabdian mengamalkan ilmu dan kebaikan untuk orang banyak.
“Pulang dari Jerman saya pun langsung buang jangkar di Ambon untuk berdakwah meneruskan cita-cita Guru Tua kami di Kota Palu Alhabib Salim Aljufri. Alhamdulillah semua berjalan baik. Di usia 35 tahun Alkhairaat Ambon terus memacu diri untuk berkembang,” ujarnya.
Dan, di tangan Tuan Guru Ikram Ibrahim kini telah lahir banyak generasi berprestasi. Mereka itu kini sedang kuliah dan mondok di sejumlah pondok pesantren ternama di Tanah Air.
Semoga kelak lahir “guru-guru” yang lain untuk meneruskan rahim keilmuan sebagaimana yang telah dipelopori oleh Tuan Guru kita Ustad Ikram Ibrahim di Pondok Pesantren Alkhairaat Ambon, itu.