Ambang batas presidential threshold untuk partai pengusung pasangan calon pada setiap pemilihan presiden (Pilpres) sebanyak 20 persen selain membuat terjadinya polarisasi partai dan membentuk perilaku pemilih yang merosot, iklim politik semacam ini juga berpotensi melahirkan terjadinya persekongkolan dan politik transaksional.
Adalah pengamat politik yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Fisipol Unpatti Ambon Said Lestaluhu, M.Si, saat dihubungi kemarin menilai fenomena polarisasi politik akibat kebebasan politik Tanah Air kita saat ini ibarat “racun” di tengah sistem demokrasi kita yang liberal dan kerap mengedepankan politik transaksional. Prinsip politik yang serba pragmatis, saling menjegal, mengintip dan menekan seolah dianggap hal biasa.
Seperti diketahui, dalam pelaksanaan Pilpres secara langsung di Indonesia saat ini dikenal istilah ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Menurut Kompaspedia, presidential threshold adalah syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau persentase raihan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Mengutip pendapat mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie dalam diskusi daring ICMI yang disiarkan secara streaming, Jumat malam, (11/8/23), apa yang dipertontonkan pada kita sekarang ini jelas tontonan kurang sehat. Sebab semuanya pragmatis dan transaksional.
“Menentukan koalisi susahnya bukan main. Semuanya saling kasak-kusuk, saling intip. Sehingga capres-cawapresnya itu tidak sejati, pemimpin dan koalisi yang pragmatis saja,” katanya.
Jika ambang batas ini ditiadakan maka semua partai politik tentu bisa memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan capres-cawapresnya, tanpa harus memusingkan koalisi dengan partai lain.
Bagaimana dengan partai politik yang tidak mencapai angka ambang batas itu? Mereka yang tidak meraih 20 persen suara terpaksa harus melakukan bergaining politik, jika tidak ingin kehilangan popularitas meskipun untuk menempati posisi itu harus diikuti oleh ongkos politik yang mahal.
Itulah yang membuat untuk membentuk koalisi di antara pendukung dan elite partai pokitik bisa saling menjegal, mengintip, dan saling menekan. Ini juga menjadi bola liar bagi para faksi-faksi di kalangan elite partai untuk saling berebutan.
Kasus terbaru bisa ditelaah pada Ketua DPP Golkar yang juga adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto terkait pemeriksaannya di Kejagung RI sebagai saksi atas kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya, termasuk minyak goreng periode 2021-2022, Senin, (24/7/23), lalu.
Dari informasi yang beredar beberapa saat setelah Airlangga Hartarto dipanggil, tanpa angin dan hujan tiba-tiba muncul statemen oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Jenderal (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang mengaku siap menjadi Ketua Umum Partai Golkar.
Tudingan adanya persengkokolan untuk mendepak Airlangga Hartarto dari kursi Ketua DPP Partai Golkar menyeruak di dunia maya karena ketidakpastian partai berlambang pohon beringin yang belum juga memberikan dukungan Capres 2024.
Ini bukan kali pertama. Sebelum Partai Golkar “diobok-obok”, jauh sebelumnya dengan menggunakan tangan penguasa yang tidak lain Ketua KSP Jenderal Moeldoko kita juga pernah menyaksikan hal yang sama terjadi pada kasus “pembegalan” Partai Demokrat.
Apa yang menimpa Partai Golkar saat ini dan “pembegalan” Partai Demokrat sebelumnya membuktikan bahwa perilaku menyimpang dari elite penguasa dan elite partai politik yang terjadi itu karena proses demokratisasi di kalangan elite dan institusi partai politik kita belum matang.
Belum adanya kepastian atas dukungan sang Capres kala itu selain membuat Partai Golkar berada di persimpangan jalan, sikap itu juga membuat mereka yang berkepentingan baik secara politik dan bisnis terpaksa harus melakukan upaya-upaya terselubung untuk meredam mereka yang tidak sejalan.
Partai politik, menurut Said Lestaluhu, merupakan pilar utama demokrasi. Untuk meraih kantong-kantong suara dan pengaruh politik memaksa mereka harus menguasai partai politik walau dengan cara-cara kasar.
Jika hari ini kita temukan banyak elite-elite politik kita di pusat-pusat kekuasaan saling menjegal dan mengintip bukan tidak mungkin karena semua itu telah dipengaruhi oleh faktor ambisi dalam konteks politik, bisnis dan oligarki.
Kita bisa saksikan hari ini bagaimana perilaku penguasa kita dalam menguasai pilar-pilar kekuasaan. Misalnya Partai Demokrat dengan kasus “pembegalan” melalui tangan penguasa Jenderal Moeldoko. Dan, terbaru kasus diobok-oboknya Partai Golkar untuk menjegal sang Ketua Airlangga Hartarto itu. Entah oleh siapa.
“Pilar utama demokrasi itu ya partai politik. Siapa yang menguasai partai politik dia akan menguasai dukungan suara,” ujar Said Lestaluhu.
Kewenangan partai itu sesungguhnya ada di tangan pengurus partai. Kalau kemudian kita temukan ada faksionalisasi antarpengurus partai maka itu suatu hal yang lazim terjadi.
Persoalan faksionalisasi itu lebih berkaitan dengan masalah like and dislike yakni soal suka dan tidak suka. Itulah mengapa jika kemudian kita temukan ada capres, cawapres, anggota legislatif, dan kepala daerah yang diajukan menjadi pemimpin, kita tidak bisa menjamin apakah sosok yang dimaksud punya kemampuan dan kematangan dalam mengelola kepemimpinan karena itu tadi adanya faktor like and dislike.
Sistem demokrasi kita yang liberal itu telah memungkinkan setiap orang punya kebebasan yang sama. Jadi, atas nama kebebasan demokrasi dan popularitas jika ada seorang artis yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif ia punya hak suara yang sama walau dari sisi kapasitas yang bersangkutan tidak punya latar belakangan untuk dibanggakan.
“Jadi atas nama demokrasi dan kebebasan, hak suara seorang tukang becak sama dengan hak suara seorang professor di lingkungan akademik,” ujarnya.
Salah satu indikator yang dipakai dalam perilaku politik masyarakat kita itu selalu saja tolok ukurnya karena faktor ekonomi yang berada di bawah garis kemiskinan. Karena itu hak suara seorang tukang becak kurang lebih sama dengan hak suara seorang guru besar di kampus.
Dan, mengutip Said Lestaluhu, tak bisa dipungkiri bilamana itu yang menjadi tolok ukur dalam meraih angka 20 persen ambang batas suara diikuti oleh parameter ekonomi masyarakat kita yang miskin sangat memungkinkan terjadinya politik transaksional dan berujung pada suap.
Pluralitas bangsa kita terlalu rumit sehingga harus tercermin dalam kelembagaan multipartai ini. Tapi jangan karena alasan presidential threshold kita batasi Capres harus 2-3.
Selain berpotensi menimbulkan peluang kecurangan, boleh jadi dengan sistem ambang batas ini di kalangan elite politik kita justeru mereka saling membinasakan atau mentersangkakan terhadap oposisi padahal ia boleh jadi adalah calon terbaik untuk R1.(*)